01 Agustus 2010

Menginjakkan kaki di Ambon

Ini adalah malam ketiga saya menginap di Ambon. Bagian dari pengalaman pertama saya berkunjung ke kota ini. Ini kota yang baru beberapa tahun lalu tercabik oleh kerusuhan mengerikan. Ini juga kota yang berabad sebelumnya terkemuka di antara para penjajah pencari rempah-rempah.

Ambon, ibukota Maluku, berada bukan di pulau terbesar. Pulau terbesar di kawasan ini adalah Seram, di sebelah utara Ambon. Dari bandara, posisi pusat kota Ambon sebenarnya dekat kalau ditempuh lurus lewat laut. Namun karena posisi pantai yang mengelilingi Teluk Ambon seperti huruf U, maka jalan darat menjadi jauh.

Jalan raya ini ukurannya cukup lebar. Mobil bisa bersimpangan dan ngebut dengan mudah. Konon jalan ini baru saja diperlebar untuk menyambut acara Sail Banda. Saya dengar dari sorang pejabat bahwa ada miliaran rupiah proyek PU yang dialokasikan untuk Maluku terkait dengan penggelaran Sail Banda.

Perlu waktu lebih dari 40 menit perjalanan tanpa macet dari Bandara hingga kota Ambon. Sepanjang jalan rasanya saya jarang sekali menemukan mobil sedan. Mobil yang dibuat sebelum tahun 2000-an juga jarang. Paling-paling kijang kotak model lama. Esoknya baru saya lihat ada sedan Timor. Mobil yang dominan di sini adalah Innova dan Avanza. Sebagian besar mobil buatan setelah tahun 2000. Populasi sedan agaknya memang tidak banyak.

Saya belum banyak melihat-lihat sudut kota Ambon ini. Sisa-sisa kerusuhan hebat beberapa tahun lalu katanya sebagian besar sudah hilang. Yang masih tersisa justru bekas keributan Piala Dunia yang baru lalu. Bulan lalu itu. Saya masih bisa melihat bekas rumah yang dibakar oleh pendukung salah satu tim.

Pemandu kami yang setia mengantar kami ke berbagai penjuru dengan Kijang Innovanya, bercerita tentang serunya dukung-mendukung selama perhelatan besar sepakbola tersebut. Dalam Piala Dunia itu, banyak warga yang membela tim Belanda, tetapi banyak juga yang memihak lawan-lawan Belanda.

Beberapa bagian kota ini tampak ramai dan bahkan macet. Namun muncul juga kesan semrawut. Banyak becak dan ojek di Ambon ini.

Di belakang hotel tempat saya menginap ada masjid. Tiap menjelang maghrib masjid itu menyetel kaset murattal yang tampaknya akrab dengan yang bisa kita dengan di Jawa. Saya lupa itu suara qori siapa (mungkin Ustadz Al-Matrud atau Al-Ghamidi? Yang jelas bukan As-Sudais/Suraim maupun Mahmud Khalil Al-Khusori)

Saya sempat ikut sholat Jumat di sini. Di sebuah sekolah di pinggir laut. Ah, saya lupa tidak mencatat nama sekolah itu beserta lokasi persisnya. Padahal baru saja Menteri Kelautan dan Perikanan, Pak Fadel Muhamad yang alumni Teknik Fisika ITB itu, meresmikan acara tanam bakau di sekolah itu. (saya baca di koran lokal, nama tempatnya Tanjung Martha Alfons, Teluk Ambon)

Khatib mengingatkan tentang hati yang mengeras karena banyak dosa. Tentang kaum yang dihancurkan karena terang-terangan melakukan dosa. Sebelum sholat kami sempat makan siang di atas keramba. Posisinya sekitar 50 meter dari pantai, harus naik perahu yang ditarik dengan tambang untuk datang dan meninggalkan keramba itu. Jumatan ini dimulai sudah mendekati jam satu siang waktu Maluku (saat itu di Jakarta baru jam 11 siang)

Masih beberapa malam lagi saya insya Allah menginap di sini. Sampai puncak acara Sail Banda yang (rencananya) akan dihadiri Presiden SBY ini berakhir. Saya belum menemukan barang yang konon khas Maluku, yaitu minyak kayu putih.

Meskipun judulnya liputan Sail Banda, kayaknya saya tidak akan berkesempatan mengunjungi Pulau Banda Neira yang dikenal sebagai tempat pembuangan Bung Hatta dan Sjahrir. Konon butuh waktu 7 jam dengan kapal untuk sampai ke sana. Pulang pergi berarti sehari penuh.

Maluku ini dekat tetapi jauh. dekat karena satu negeri. Hanya berjarak dua jam dari Jakarta (Maksudnya berselisih waktu dua jam. Kalau di Jakarta jam 8 maka di Maluku sudah jam 10). Maluku terasa jauh karena untuk terbang ke sana membutuhkan waktu yang sama atau bahkan lebih lama daripada ke Hong Kong. Saya berangkat naik Sriwijaya Air, transit dulu di Makassar. Perlu waktu lebih dari lima jam perjalanan.

Cerita lebih detil dan berbau berita tentang perjalanan ke Maluku tentu saja akan saya buat untuk koran tempat saya bekerja, yaitu Bisnis Indonesia. Sayangnya, Internet di sini terasa sulit. Wi-Fi kurang lancar. Sinyal handphone juga sering SOS. Kadang ada tulisan EDGE tetapi untuk mengakses Internet sulit.

Semoga warga Maluku ini semakin makmur dan sejahtera. Jauh dari bencana dan malapetaka.

*) Karena ada masalah dengan Internet, ada jeda waktu lumayan antara tulisan ini saya buat dan saya upload.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

k4w00t4o02 p9g81g3i64 u4l40k5d50 w9b60p8x80 o0t03z7i08 k2s56w7m70