06 September 2010

Begitu ringankah mengatakan perang?

Banyak orang bicara tentang perang. Saya jadi teringat novel Dua Belas Pasang Mata karya Sakai Tsuboi. Ini cerita tentang seorang guru yang begitu mencintai murid-muridnya yang masih muda. Murid-murid yang terpaksa maju perang untuk sesuatu yang bisa diselesaikan dengan cara lain.

Saya baca novel ini belasan tahun yang lalu di Bandung. Buku terbitan Pantja Simpati itu entah saya pinjam dari perpustakaan atau taman bacaan yang mana. Yang jelas, saya masih mencatat beberapa kutipan dari buku ini yang sangat menentang penyelesaian masalah melalui perang.

Di samping buku ini, ada beberapa novel, terutama yang ditulis di negeri militan, negeri yang represif atau dilanda perang, yang begitu terasa penentangannya terhadap perang. Perang, adalah sesuatu yang mengerikan dengan dampak yang seringkali sulit diperkirakan sebelumnya. Orang-orang yang mengagungkan penyelesaian melalui senjata barangkali kurang imajinatif dalam membayangkan dampak langsung dan dampak ikutan yang sangat besar dari perang.

***
Berikut ini sebagian dari kutipan buku Dua Belas Pasang Mata yang masih saya catat:

Kalau perang terus berlangsung, lalu apa artinya mencintai dan membesarkan anak-anak itu? Mengapa orang dilarang menghormati hidup manusia dan menghindarkan mereka dari serangan peluru dan dihancurleburkan? (halaman 144)

“Tetapi, bagaimana pun, perang sudah berakhir. Bukankah hal itu merupakan hal yang baik,” kata Bu Oishi.
“Meskipun kita kalah?” tanya Daikichi.
“Ya, memang. Tetapi bukankah dengan itu tak akan ada lagi orang yang terbunuh dalam perang?”
“Kita tidak berpegang pada semboyan: lebih baik mati daripada menyerah?”
“Lebih baik kita tidak berpegang pada semboyan itu.” (halaman 146)

“Tetapi, engkau juga tidak akan dapat mengakhiri perang dengan cara menjadi penjual gula-gula, bukan?” (halaman 124)

Tetapi di balik bicaranya yang berubah-ubah itu terdapatlah kecintaan yang luar biasa terhadap hidup manusia. (halaman 125)

“Nasib ibu masih lebih baik daripada saya. Coba lihat saya ini. saya telah mengajar murid-murid itu terus menerus sejak kelas satu. Tetapi sekarang lebih dari separuh di antara anak laki-laki itu ingin menjadi serdadu (dalam perang). Kupikir apa artinya mengajar?” (halaman 124)

“Jagalah dirimu baik-baik. Jangan engkau gugur sebagai pahlawan, tetapi pulanglah dengan selamat.” (halaman 146)


Sebagai seorang anak di tengah bangsa militant, tentu saja ia akan mempertahankan gengsinya. Ia prihatin terhadap kata-kata dan sikap ibunya. (halaman 156)

***
Omong-omong, saya punya sedikit pertanyaan nih, mumpung Ramadhan. Barangkali ada yang berkenan menjawab. Orang yang berpuasa kan dilarang berkelahi. Ada haditsnya. Tetapi, benarkah boleh berperang karena dalam sejarah ada beberapa perang yang dilakukan pada bulan mulia itu.

Wallahu a’lam. Terima kasih.

2 komentar:

ihsan mengatakan...

Aku juga baca buku Dua Belas Pasang Mata di perpustakaan salman, sambil nunggu kuliah mungkin 17 tahun yg lalu.
Entah kenapa tiba2 jadi ingat buku ini dan filmnya juga.

Unknown mengatakan...

u4g29n2c15 g8p16g1b87 d9k15y5x26 l8c99r7q15 x2w10p4j46 v2r81h2p17