Antrean lalu lintas mirip dengan antrean pembeli di depan loket swalayan. Tim Harford dalam Undercover Economist memberi penjelasan menarik tentang antrean semacam itu. Dia memulai dengan mengajukan pertanyaan: Antrean mana yang paling cepat di antara semua antrean di toko swalayan besar yang sibuk?
Menurut Harford, seandainya ada loket tertentu yang mudah dikenali sebagai loket yang paling cepat, para pengunjung akan berebut ke sana, dan loket itu tidak lagi menjadi loket yang paling cepat. Jadi, dalam kasus semacam ini, tidak ada gunanya memilih. Berdiri dalam antrean yang mana pun hasilnya akan sama.
Akan tetapi, jika semua orang menganggap berdiri di mana pun sama, akan muncul pola-pola tertentu yang dapat dieksploitasi oleh ahli belanja. Misalnya, antrean di dekat pintu masuk lebih pendek daripada antrean yang jauh dari pintu masuk.
Lalu, jika banyak pengunjung juga kemudian mengenali pola ini, mereka tidak akan pasrah dan tak berdiri acak lagi. Mereka akan memilih antrean yang paling pendek itu, dan sesaat kemudian antrean itu akan berubah menjadi antrean yang panjang.
Harford memberi saran dalam kasus semacam ini: berdiri saja di antrean mana pun lalu jangan cemaskan apapun yang terjadi. Orang-orang yang gesit dan berpengalaman akan sedikit lebih cepat dalam menentukan antrean paling lancar. Tetapi, selisih waktunya tidak akan terlalu banyak.
Pilihan rute jalan mirip dengan pilihan antrean di toko swalayan. Jika orang bisa mengenali rute lalu lintas mana yang paling lancar maka dia akan memilih rute itu. Akan tetapi jika sangat banyak orang tahu informasi yang sama dan memilih rute itu, maka rute tersebut tidak lagi menjadi jalur yang lancar. Apalagi jika jumlah orang yang memilih rute itu melebihi kapasitas jalan yang ditempuh.
Dalam kasus antrean di pasar swalayan, yang dipertaruhkan hanya beberapa menit. Dalam pilihan rute ke tempat kerja oleh kebanyakan warga Jakarta dan sekitarnya, waktu yang dipertaruhkan mungkin 1 jam atau 2 jam.
Akan tetapi, bagi para pemudik yang meninggalkan Jakarta dengan tujuan ratusan kilometer ke arah timur atau barat, rute dan waktu yang keliru bisa berarti terjebak macet belasan jam.
Pada puncak arus mudik tahun lalu, misalnya, jarak Bandung-Ciamis yang normalnya dapat ditempah dalam waktu 3 jam-4 jam harus ditempuh hingga 12 jam atau bahkan 16 jam. Belasan jam dihabiskan dalam antrean yang menyedihkan.
***Kesabaran pemudik
Mudik adalah aktivitas kolosal yang melibatkan jutaan orang. Departemen Perhubungan memperkirakan jumlah pemudik tahun ini 27 juta orang.
Manusia sebanyak itu ingin berpindah bersama-sama dalam jangka waktu satu pekan, berjejal dalam ribuan kendaraan. Bahkan, puncak arus mudik terjadi dalam 2--3 hari tertentu. Selama masa itu mungkin 30% dari seluruh jumlah pemudik meninggalkan kota besar secara bersamaan.
Cara sederhana untuk mengatasi hal ini adalah dengan meningkatkan kapasitas jalan sehingga lebih besar dari volume kendaraan saat puncak arus mudik maupun arus balik. Tetapi perlu biaya puluhan triliun atau ratusan triliun rupiah untuk meningkatkan kapasitas jalan yang hanya terpakai sesaat.
Opsi lain adalah membuat kebijakan komprehensif yang mendorong agar proses mudik tidak memuncak pada dua atau tiga hari tertentu, melainkan tersebar dalam jangka lama.
Jika hal ini tak dapat dilakukan optimal, semua terpaksa kembali kepada kearifan para pemudik yang pasti sudah menyiapkan kesabaran segudang.
***Tawakal saja
Dalam segala keterbatasan, yang paling diperlukan pemudik adalah sistem informasi yang akurat dan realtime. Bayangkan jika kita memiliki sistem informasi lalu lintas yang terintegrasi, berupa model matematis yang memperhitungkan kapasitas tiap-tiap ruas jalan, digabungkan dengan data dan prediksi mengenai volume kendaraan yang akan melintas.
Bentuk idealnya adalah simulasi dalam bentuk peta yang memberikan informasi real time kondisi semua ruas jalan utama dan dapat diakses publik. Simulasi diharapkan juga dapat menyediakan informasi mengenai kondisi yang belum terjadi, misalnya prediksi kondisi pada hari tertentu atau prediksi kondisi 10 jam mendatang, serta memberikan informasi real time mengenai berapa panjangnya kemacetan.
Lebih baik lagi bila model ini bersifat dinamis, menerima umpan balik data-data terbaru secara terus menerus, misalnya data kecelakaan yang menyebabkan pengurangan kapasitas jalan dalam kurun waktu tertentu.
Akan tetapi, membangun model matematis, apalagi yang mampu memprediksi potensi kemacetan, sama sulitnya dengan membuat model matematis untuk melihat tren harga saham. Di sana ada kehendak, sentimen, kepentingan, dan hasrat manusia dalam jumlah banyak yang menjadi variabel yang sulit diperhitungkan.
Mungkin untuk saat ini kita bisa cukup puas dengan informasi dari para penyiar radio, sesama pemudik, video streaming titik-titik tertentu, serta informasi kasar mengenai prediksi pola mudik.
Dalam kondisi serba terbatas ini, saran awal Tim Harford barangkali sangat berguna: pilih rute yang mana saja dan jangan cemaskan apa pun. Tawakal saja. Wallahu alam.
*) Versi lebih ringkas dimuat Bisnis Indonesia edisi 8 September 2009
2 komentar:
find this buy replica bags online site buy replica bags his response gucci replica bags
replica bags london find x4m44b9d57 replica bags paypal replica bags online pakistan replica gucci h4i40d0z12 zeal replica bags reviews replica bags los angeles special info g3v22v1s39 9a replica bags
Posting Komentar