Saya mendengar istilah sosiologi pengehatuan pertama kali dari bukunya Karl Mannheim berjudul Ideologi dan Utopia. Buku Karl Mannheim ini mengulas banyak hal mengenai sosiologi pengetahuan.
Pada dasarnya saya tidak benar-benar mudeng uraian panjang lebar dalam buku tebal bersampul merah yang terkesan klasik banget itu. Yang paling mudah saya pahami adalah pengantar buku yang ditulis Arief Budiman. (Btw, Arief Budiman memang piawai menulis hal rumit dan filosofis dengan cara sederhana. Buku Ekonomi Pembangunan yang ditulisnya juga amat menarik)
Kembali ke sosiologi pengetahuan. Dalam konteks kekinian, sosiologi pengetahuan meburut saya menarik dikaitkan dengan isu hoax.
Sosiologi pengetahuan dapat menjelaskan bagaimana kearifan lokal dikemas dalam bentuk semacam hoax melalui legenda, tabu, mitos, doktrin, dan semacamnya, agar efektif merasuki kehidupan.
Pengantar dari Arief Budiman bahkan memberikan contoh konkret mengenai tabu memotong kuku pada malam hari (karena akan disantap harimau), larangan terkait dengan sapi, dll.
Lalu, apakah tabu-tabu tradisional itu semacam hoax putih atau hoax bertujuan mulia atau hoax yang dihasilkan oleh pihak yang otoritatif?
23 Januari 2017
19 Januari 2017
Bersyukur tidak sama dengan puas
Saya kira sering ada campur aduk antara bersyukur dan puas. Menurut saya ini cukup berbeda. Memang betul bahwa kepuasan barangkali adalah pengantar paling mudah menuju syukur. Akan tetapi, orang bisa saja bersyukur (terhadap sesuatu) meskipun tidak puas (terhadap apa yang ada itu). Dalam konsep agama, segala sesuatu tidak terjadi dengan sendirinya. Yang dimaksud sesuatu atau apa yang terjadi tentu merupakan kehendak Tuhan, takdir, karunia, anugerah, sesuatu yang telah ditetapkan, dan sebagainya.
Puas, menurut saya, berarti menyadari bahwa tidak ada hal yang lebih baik yang bisa dicapai. Misalnya saya puas bisa mendapatkan nilai 8. Itu berarti saya menyadari bahwa nilai itu sudah maksimal (atau optimal, bila variabelnya tidak tunggal). Saya tidak ekspektasi nilai 9, apalagi 10. Sudah puas dengan angka 8, dan menganggap karunia itu sungguh layak disyukuri. Saya menyadari tidak cukup layak untuk dapat nilai 9, atau 10. Itulah kuncinya.
Adapun bersyukur, adalah, menyadari ada hal lebih buruk yang bisa saja terjadi. Saya dapat nilai 7 sudah syukur, karena dengan kesempatan belajar yang terbatas itu, saya bisa saja kejeblos dapat nilai 6 atau bahkan 5. Saya tidak puas dengan pencapaian nilai 7 itu, tetapi saya bersyukur bahwa terhindar dari nilai 5.
Misalnya kita jatuh dari motor. Masih bersyukur tidak terluka, meskipun barangkali motornya rusak. Kuncinya adalah menyadari bahwa ada hal yang lebih buruk (yakni motor rusak, ditambah tubuh luka, ditambah tidak masuk kerja, kehilangan kesempatan berwisata, atau lainnya).
Dalam soal ini, saya kira kita perlu menyadari tahap-tahap suatu peristiwa agar bisa lebih mudah bersyukur. Saya akan memahami bahwa banyak skenario/ takdir/ ketentuan lebih buruk yang bisa saja menimpa saya.
Puas, menurut saya, berarti menyadari bahwa tidak ada hal yang lebih baik yang bisa dicapai. Misalnya saya puas bisa mendapatkan nilai 8. Itu berarti saya menyadari bahwa nilai itu sudah maksimal (atau optimal, bila variabelnya tidak tunggal). Saya tidak ekspektasi nilai 9, apalagi 10. Sudah puas dengan angka 8, dan menganggap karunia itu sungguh layak disyukuri. Saya menyadari tidak cukup layak untuk dapat nilai 9, atau 10. Itulah kuncinya.
Adapun bersyukur, adalah, menyadari ada hal lebih buruk yang bisa saja terjadi. Saya dapat nilai 7 sudah syukur, karena dengan kesempatan belajar yang terbatas itu, saya bisa saja kejeblos dapat nilai 6 atau bahkan 5. Saya tidak puas dengan pencapaian nilai 7 itu, tetapi saya bersyukur bahwa terhindar dari nilai 5.
Misalnya kita jatuh dari motor. Masih bersyukur tidak terluka, meskipun barangkali motornya rusak. Kuncinya adalah menyadari bahwa ada hal yang lebih buruk (yakni motor rusak, ditambah tubuh luka, ditambah tidak masuk kerja, kehilangan kesempatan berwisata, atau lainnya).
Dalam soal ini, saya kira kita perlu menyadari tahap-tahap suatu peristiwa agar bisa lebih mudah bersyukur. Saya akan memahami bahwa banyak skenario/ takdir/ ketentuan lebih buruk yang bisa saja menimpa saya.
Boncengan sepeda motor
Sepanjang sejarah, belum pernah ada kendaraan yang digunakan begitu masif dan massal, yang memungkinkan posisi duduk pria dan wanita begitu intim seperti halnya motor. Duduk saling menempel seperti itu.
Motor adalah kendaraan paling intim sepanjang sejarah. Kalau tidak karena naik motor rasanya tak mungkin ada orang duduk model begitu --baik sama-sama maupun satunya menghadap ke samping-- sepanjang jalan.
Memang betul bahwa dulu ada juga orang naik kuda atau onta dengan cara yang sama. Tetapi kuda dan onta bukanlah kendaraan milik umum dan jelata seperti motor. Penggunaan hewan itu tidaklah semasif dan massal seperti halnya motor. Dan berboncengan pakai kuda saya kira tidak lazim. Yang lebih sering adalah kuda narik delman atau bendi atau semacam itu.
Dalam konteks sepeda motor ini, desain kendaraan telah mempengaruhi atau bahkan membangun tata nilai tersendiri. Betul apa enggak ya? Ini sekadar refleksi seorang pengguna motor.
Motor adalah kendaraan paling intim sepanjang sejarah. Kalau tidak karena naik motor rasanya tak mungkin ada orang duduk model begitu --baik sama-sama maupun satunya menghadap ke samping-- sepanjang jalan.
Memang betul bahwa dulu ada juga orang naik kuda atau onta dengan cara yang sama. Tetapi kuda dan onta bukanlah kendaraan milik umum dan jelata seperti motor. Penggunaan hewan itu tidaklah semasif dan massal seperti halnya motor. Dan berboncengan pakai kuda saya kira tidak lazim. Yang lebih sering adalah kuda narik delman atau bendi atau semacam itu.
Dalam konteks sepeda motor ini, desain kendaraan telah mempengaruhi atau bahkan membangun tata nilai tersendiri. Betul apa enggak ya? Ini sekadar refleksi seorang pengguna motor.
Langganan Panjebar Semangat
Alhamdulillah, mulai awal tahun bisa langganan Panjebar Semangat, majalah mingguan berbahasa Jawa yang disajikan dalam huruf latin.
Majalah yang didirikan oleh dr Soetomo (pendiri Boedi Oetomo) itu terbit sejak 2 september 1933. Sudah tuaaa, sekali. Majalah ini terbit setiap sabtu dengan harga eceran rp14 ribu di jawa. harga langganan rp56 ribu.
Saya sudah lama ingin langganan majalah ini (atau majalah Jaya Baya yang juga berbahasa jawa) tetapi baru tahun ini terwujud.
Majalah yang didirikan oleh dr Soetomo (pendiri Boedi Oetomo) itu terbit sejak 2 september 1933. Sudah tuaaa, sekali. Majalah ini terbit setiap sabtu dengan harga eceran rp14 ribu di jawa. harga langganan rp56 ribu.
Saya sudah lama ingin langganan majalah ini (atau majalah Jaya Baya yang juga berbahasa jawa) tetapi baru tahun ini terwujud.
18 Januari 2017
Mengapa Orang Lebih Takut Kehilangan?
Hal-hal negatif lebih menonjol daripada hal positif. Tawaran untuk menghindari kerugian lebih efektif daripada tawaran untuk memperoleh keuntungan. Orang kehilangan Rp10 juta akan merasakan ketidakbahagiaan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kesenangan yang diperoleh apabila dia mendapatkan Rp10 juta.
Bahkan, sebuah penelitian menunjukkan bahwa secara emosional, kerugian berbobot dua kali lipat dibandingkan keuntungan dengan nominal yang sama besar. Menurut ilmuwan sosial, itulah yang kemudian memicu loss aversion, penghindaran kerugian.
Ketakutan akan kehilangan lebih memotivasi orang daripada kemungkinan untuk mendapatkan sesuatu dengan nilai (atau nominal) yang sama.
Oleh sebab itu, membujuk orang agar terhindar dari kehilangan sesuatu (yang berharga) itu jauh lebih efektif daripada membujuk orang dengan janji akan mendapatkan keuntungan atau kesenangan atau kebahagiaan (nantinya). Rolf Dobelli dalam The Art of Thinking Clearly menjelaskan hal ini dengan amat menarik dalam bab “Mengapa Sesuatu yang Buruk Lebih Mencolok daripada Hal yang Baik”
*) Foto tidak diketahui sumber aslinya
Bahkan, sebuah penelitian menunjukkan bahwa secara emosional, kerugian berbobot dua kali lipat dibandingkan keuntungan dengan nominal yang sama besar. Menurut ilmuwan sosial, itulah yang kemudian memicu loss aversion, penghindaran kerugian.
Ketakutan akan kehilangan lebih memotivasi orang daripada kemungkinan untuk mendapatkan sesuatu dengan nilai (atau nominal) yang sama.
Oleh sebab itu, membujuk orang agar terhindar dari kehilangan sesuatu (yang berharga) itu jauh lebih efektif daripada membujuk orang dengan janji akan mendapatkan keuntungan atau kesenangan atau kebahagiaan (nantinya). Rolf Dobelli dalam The Art of Thinking Clearly menjelaskan hal ini dengan amat menarik dalam bab “Mengapa Sesuatu yang Buruk Lebih Mencolok daripada Hal yang Baik”
*) Foto tidak diketahui sumber aslinya
Berhentilah Bila Seharusnya Berhenti
Para motivator selalu mengingatkan untuk jangan pernah menyerah. Jangan berhenti, karena (bisa jadi) Anda sudah sangat dekat kepada tujuan. Akan tetapi, Steven D. Levitt dan Stephen J. Dubner justru punya saran sebaliknya. Berhenti dan menyerahlah bila memang seharusnya begitu.
Salah satu meme tentang motivasi jangan menyerah yang sering beredar adalah gambaran mengenai orang menggali terowongan mencari harta karun. Dia sudah bekerja keras, sangat keras, sampai kelelahan. Kemudian dia berhenti karena menganggap gagal, atau tidak bisa sampai tujuan, atau apa pun lah alasannya.
Si penggali terowongan tidak menyadari bahwa jaraknya terhadap apa yang dituju tinggal sejengkal. Sedikit lagi saja, asal dia tidak menyerah, tujuannya pasti tercapai dan dia bahagia mendapatkan harta karun. Demikianlah penyederhanaan mengenai jangan menyerah. (Lihat gambar).
Apakah kenyataan memang seperti itu? Kalau kita lihat dari sisi semangat dan berorientasi hasil, mungkin saja memang dalam segala hal kita tidak boleh berhenti atau menyerah.
Akan tetapi, bila kita sudah berhadapan pada kasus demi kasus, maka kita mesti melihat soal-soal teknisnya dengan detail, baru disimpulkan perlu menyerah atau tidak.
***
Steven Levitt dan Stephen Dubner, pengarang buku best seller Freakonomics dan Super Freakonomics, punya rumusan yang layak disimak soal berhenti atau menyerah ini.
Mereka memaparkannya dalam buku Think Like a Freak. Levitt dan Dubner bahkan menyediakan satu bab tersendiri mengenai Sisi Baik dari Berhenti. Mereka mengidentifikasi tiga hal menyebabkan orang susah untuk berhenti.
Pertama, anggapan bahwa berhenti adalah tanda kegagalan.
Kedua, ada biaya hangus bila seseorang atau sebuah perusahaan berhenti dari sebuah proyek atau pekerjaan yang sedang berjalan. Dia memberikan contoh soal Concorde, pesawat penumpang supersonic yang beroperasi melintasi Samudera Atlantik. Pemerintah Inggris dan Prancis merasa bahwa pengoperasian Concorde tidak ekonomis, akan tetapi proyek ini sudah menghabiskan terlalu banyak biaya. Sayang sekali bila dihentikan. Semacam adagium too big to fail. Perlu keberanian luar biasa untuk menanggung “biaya hangus”.
Ketiga, terlalu banyak orang memberi perhatian kepada biaya konkret dan melupakan “biaya kesempatan”. Ketika seseorang sekolah lagi dengan biaya katakanlah Rp80 juta, dia lebih fokus perhatiannya pada angka 80 juta itu dan sering lupa memperhitungkan kesempatan lain yang bisa diperoleh dengan biaya Rp80 juta ditambah alokasi waktu dan perhatian selama sekian tahun menjalani sekolah.
Biaya konkret mudah dihitung, biaya kesempatan sulit dihitung. “Berhenti itu sulit, sebagian karena hal ini disamakan dengan kegagalan, dan tidak ada yang suka gagal atau terlihat gagal,” begitu mereka menulis.
***
Dalam ilmu Fisika, dikenal pula Hukum Newton mengenai kelembaman. Intinya, benda yang diam cenderung tetap diam, benda bergerak cenderung untuk tetap bergerak. Dalam kenyataan, untuk menghentikan kendaraan yang melaju, kita memerlukan rem.
Rolf Dobelli menyoroti sulitnya berhenti atau menyerah ini dengan cara mengaitkannya dengan sunk cost fallacy atau sesat pikir mengenai biaya yang telah dikeluarkan. Dia menyebut itu dalam bab “Anda Harus Melupakan Masa Lalu” sebagai bagian dari buku “The Art of Thinking Clearly”.
Dia bercerita mengenai upaya-upaya perusahaan maupun perorangan yang telah begitu susah dilakukan dan tidak menunjukkan hasil menggembirakan. Meski demikian, hal itu sulit dihentikan.
Alasan yang sering muncul, kata Dobelli, adalah”
“Kita telah menginvestasikan begitu banyak uang di sini. Jika kita menyerah sekarang, semua akan sia-sia.”
“Saya sudah menghabiskan dua tahun mengikuti kelas ini, apakah harus berhenti?”
“Aku sudah menginvestasikan begitu banyak tenaga dan waktu ke dalam hubungan ini, aku merasa salah bila membuangnya begitu saja.”
Menurut Dobelli, itu semua adalah bias tentang “biaya yang sudah dikeluarkan”. Jika terjebak pada pemikiran seperti itu dan tidak mau berhenti, yang terjadi adalah biaya yang semakin besar lagi.
***
Konon, salah satu tanda kematangan orang bijak adalah tahu kapan harus berhenti. Tidak terus berjalan meski tepuk tangan terus bergemuruh.
Dalam berbisnis maupun dalam kehidupan pribadi, exit strategy itu penting ketika semua opsi lain sudah tertutup. Ini jelas beda dengan escape strategy alias melarikan diri atau kabur dari masalah.
Pengambilan keputusan yang rasional, jelas Dobelli, mengharuskan kita untuk melupakan berapa pun "biaya" yang telah dihabiskan pada masa yang lalu. Berapa pun "biaya" itu, yang lebih perlu diperhatikan adalah analisis mengenai masa depan.
*)Caption: Foto/ilustrasi diambil dari Internet, saya tidak tahu siapa yang membuat.
Salah satu meme tentang motivasi jangan menyerah yang sering beredar adalah gambaran mengenai orang menggali terowongan mencari harta karun. Dia sudah bekerja keras, sangat keras, sampai kelelahan. Kemudian dia berhenti karena menganggap gagal, atau tidak bisa sampai tujuan, atau apa pun lah alasannya.
Si penggali terowongan tidak menyadari bahwa jaraknya terhadap apa yang dituju tinggal sejengkal. Sedikit lagi saja, asal dia tidak menyerah, tujuannya pasti tercapai dan dia bahagia mendapatkan harta karun. Demikianlah penyederhanaan mengenai jangan menyerah. (Lihat gambar).
Apakah kenyataan memang seperti itu? Kalau kita lihat dari sisi semangat dan berorientasi hasil, mungkin saja memang dalam segala hal kita tidak boleh berhenti atau menyerah.
Akan tetapi, bila kita sudah berhadapan pada kasus demi kasus, maka kita mesti melihat soal-soal teknisnya dengan detail, baru disimpulkan perlu menyerah atau tidak.
***
Steven Levitt dan Stephen Dubner, pengarang buku best seller Freakonomics dan Super Freakonomics, punya rumusan yang layak disimak soal berhenti atau menyerah ini.
Mereka memaparkannya dalam buku Think Like a Freak. Levitt dan Dubner bahkan menyediakan satu bab tersendiri mengenai Sisi Baik dari Berhenti. Mereka mengidentifikasi tiga hal menyebabkan orang susah untuk berhenti.
Pertama, anggapan bahwa berhenti adalah tanda kegagalan.
Kedua, ada biaya hangus bila seseorang atau sebuah perusahaan berhenti dari sebuah proyek atau pekerjaan yang sedang berjalan. Dia memberikan contoh soal Concorde, pesawat penumpang supersonic yang beroperasi melintasi Samudera Atlantik. Pemerintah Inggris dan Prancis merasa bahwa pengoperasian Concorde tidak ekonomis, akan tetapi proyek ini sudah menghabiskan terlalu banyak biaya. Sayang sekali bila dihentikan. Semacam adagium too big to fail. Perlu keberanian luar biasa untuk menanggung “biaya hangus”.
Ketiga, terlalu banyak orang memberi perhatian kepada biaya konkret dan melupakan “biaya kesempatan”. Ketika seseorang sekolah lagi dengan biaya katakanlah Rp80 juta, dia lebih fokus perhatiannya pada angka 80 juta itu dan sering lupa memperhitungkan kesempatan lain yang bisa diperoleh dengan biaya Rp80 juta ditambah alokasi waktu dan perhatian selama sekian tahun menjalani sekolah.
Biaya konkret mudah dihitung, biaya kesempatan sulit dihitung. “Berhenti itu sulit, sebagian karena hal ini disamakan dengan kegagalan, dan tidak ada yang suka gagal atau terlihat gagal,” begitu mereka menulis.
***
Dalam ilmu Fisika, dikenal pula Hukum Newton mengenai kelembaman. Intinya, benda yang diam cenderung tetap diam, benda bergerak cenderung untuk tetap bergerak. Dalam kenyataan, untuk menghentikan kendaraan yang melaju, kita memerlukan rem.
Rolf Dobelli menyoroti sulitnya berhenti atau menyerah ini dengan cara mengaitkannya dengan sunk cost fallacy atau sesat pikir mengenai biaya yang telah dikeluarkan. Dia menyebut itu dalam bab “Anda Harus Melupakan Masa Lalu” sebagai bagian dari buku “The Art of Thinking Clearly”.
Dia bercerita mengenai upaya-upaya perusahaan maupun perorangan yang telah begitu susah dilakukan dan tidak menunjukkan hasil menggembirakan. Meski demikian, hal itu sulit dihentikan.
Alasan yang sering muncul, kata Dobelli, adalah”
“Kita telah menginvestasikan begitu banyak uang di sini. Jika kita menyerah sekarang, semua akan sia-sia.”
“Saya sudah menghabiskan dua tahun mengikuti kelas ini, apakah harus berhenti?”
“Aku sudah menginvestasikan begitu banyak tenaga dan waktu ke dalam hubungan ini, aku merasa salah bila membuangnya begitu saja.”
Menurut Dobelli, itu semua adalah bias tentang “biaya yang sudah dikeluarkan”. Jika terjebak pada pemikiran seperti itu dan tidak mau berhenti, yang terjadi adalah biaya yang semakin besar lagi.
***
Konon, salah satu tanda kematangan orang bijak adalah tahu kapan harus berhenti. Tidak terus berjalan meski tepuk tangan terus bergemuruh.
Dalam berbisnis maupun dalam kehidupan pribadi, exit strategy itu penting ketika semua opsi lain sudah tertutup. Ini jelas beda dengan escape strategy alias melarikan diri atau kabur dari masalah.
Pengambilan keputusan yang rasional, jelas Dobelli, mengharuskan kita untuk melupakan berapa pun "biaya" yang telah dihabiskan pada masa yang lalu. Berapa pun "biaya" itu, yang lebih perlu diperhatikan adalah analisis mengenai masa depan.
*)Caption: Foto/ilustrasi diambil dari Internet, saya tidak tahu siapa yang membuat.
Langganan:
Postingan (Atom)