Kata Kalilah wa Dimnah rasanya akrab dalam telingaku. Ini adalah cerita yang sangat terkenal di Timur Tengah. Maka, ketika ke toko buku baru-baru ini, dan menemukan buku terjemahan dengan subjudul Kalila wa Dimna, saya langsung tertarik.
Sayangnya, ada hambatan, yakni cara penulisan judulnya menunjukkan bahwa ini bukan terjemahan dari Bahasa Arab, melainkan dari Bahasa Inggris. Kalau dari Arab pasti ditulis Kalilah, bukan Kalila.
Setelah hampir satu jam muter-muter di toko buku, saya tidak menemukan buku lain yang menarik sekaligus murah. Ada buku sangat menarik tentang sejarah masa lalu dunia, namun harganya hampir Rp200 ribu, jadi batal saya beli. Akhirnya, pilihan jatuh ke buku ini, Kalila & Dimna 2, fabel tentang Pertikaian dan Intrik.
Ini buku seri kedua. Saya tidak menemukan buku seri pertamanya. Agaknya, buku seri pertama tidak diterjemahkan ke Bahasa Indonesia karena selang terbitnya antara seri pertama dan kedua dalam edisi aslinya adalah 30 tahun. Dan pada akhirnya saya berkesimpulan tidak ada masalah membaca langsung pada seri kedua.
***
Buku ini karangan Ramsay Wood, seorang humanis yang berasal dari keluarga diplomat dan pernah tinggal di beberapa negara Asia Tenggara dan Eropa. Menurutnya, Kalilah wa Dimnah aslinya bukan berasal dari Arab melainkan dari India, yang kemudian menyebar ke Persia, lalu ke Arab. Dari sana lah, pada masa kejayaan Islam, cerita ini lalu menyebar ke seluruh dunia.
Sepanjang membaca buku ini, saya tidak menemukan cerita tentang kalila maupun dimna dan tidak ketemu apa yang dimaksud dengan kalila dan apa pula dimna. Tetapi, itu tidak mengurangi maknanya.
Kalila & Dimna adalah cerita fabel. Cerita dengan tokoh utama para hewan. Tentu saja juga dengan tokoh para manusia. Manusia dan hewan bisa berkomunikasi seperti umumnya cerita fabel.
Nah, dalam buku inilah saya bisa menemukan kembali cerita-cerita yang pernah saya dengar di masa kecil. Cerita yang menyebar ke seluruh dunia dan mengalami berbagai modifikasi, kini menemukan kerangka besarnya dalam Kalilah wa Dimnah. Apalagi ini diceritakan dalam bahasa dan konteks kekinian yang melibatkan statistik dan sebagainya.
Melalui buku inilah saya bisa membaca cerita utuh tentang hubungan buaya dan monyet cerdik, soal menghindar dari pembunuhan dengan mengaku jantungnya tertinggal; cerita tentang seorang ibu yang membunuh musang yang membunuh ular karena mengira si musang memakan bayinya; dan banyak cerita lainnya.
***
Cerita-cerita ini bukan hanya dibingkai dengan apik dan indah secara bertingkat-tingkat, melainkan juga disusupkan pemaknaan filosofis dalam bahasa yang indah oleh sang penulis. (penerjemahnya saya kira juga hebat).
Misalnya, bagaimana orang bisa begitu mudahnya jatuh dalam kesengsaraan dan kehilangan, dan bagaimana pula bisa pulih dari penderitaan. Betapa berisikonya berharap yang berlebihan, ekspektasi yang keliru tentang masa depan. Juga tentang kecurangan, keculasan, intrik, dan sebagainya yang digambarkan dengan sangat mencerahkan.
Kutipan seperti:
“Bukan urusan kita untuk mempertanyakan alasannua. Urusan kita adalah mensyukurinya”
“Penjelasan bukanlah pengganti atas pengalaman”
“Kesabaran dalam diam yang dikenal pula sebagai ketergemingan yang terlatih”
“Kau melihat sesuatu tidak otomatis berarti kau memahaminya”
“Kita kehilangan kesabaran dan tergesa-gesa dalam bertindak tanpa memperhatikan konsekuensinya”
“Prediktibilitas akan mengarah pada kebosanan”
dan masih banyak lagi lainnya.
Sungguh, buku yang di bagian atasnya ditulisi “fabel tentang pertikaian dan Intrik” ini memang sangat mempesona. Ini adalah salah satu buku cerita terbaik yang pernah saya baca.
Mencerahkan, mempesona, namun tidak menggurui. Dan tentu saja, merangkai kembali fabel yang pernah saya dengar atau baca pada masa lalu dalam kerangka yang lebih holistik dan filosofis.
Saya rekomendasikan Anda untuk membaca buku setebal 270-an halaman dan seharga Rp48 ribu ini. Saya yakin tidak akan menyesal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar