28 Mei 2012

Mungkinkah kita bisa menjauh dari kematian?

Semakin bertambah umur, semakin dekat pula kita kepada kematian. Begitulah nasihat yang klise namun relevan dalam setiap ulang tahun. Pernyataan itu saya kira didasarkan pada beberapa asumsi.

Pertama, kita selalu mendekat kepada waktu kematian bila waktu kematian itu bersifat fixed dan telah ditentukan, bahkan detik T-nya, jauh hari sebelumnya. Di sini, waktu adalah satu-satunya variabel yang membuat seseorang menjauh atau mendekat dari maut. Dan karena kita tidak bisa memanipulasi waktu, maka satu-satunya yang terjadi adalah kian dekat ke waktu T kematian.

Asumsi kedua, pernyataan itu benar jika kita berhitung mundur ketika kematian itu telah terjadi. Jadi T kematian sebagai acuan, lalu semua baru dihitung terbalik maka pernyataan di atas pasti benar. Segala sesuatu kalau dihitung mundur ya selalu begitu, seperti kita menghitung mundur peristiwa-peristiwa penting dari titik perang dunia. Padahal jika berhitung maju, banyak hal yang bisa dilakukan untuk menghindarkan perang dunia yang amat menghancurkan itu.

***
Nah, pertanyaannya, apalagi buat orang yang baru bertambah usia seperti saya, benarkah dugaan semacam itu bila didekati secara statistik atau pendekatan lainnya? Bukankah ada hadits yang menyatakan bahwa silaturahim memperpanjang umur?

Jika mengacu pada statistik tingkat harapan hidup, maka rumusan Nassim Nicholas Thaleb di bawah ini mungkin relevan: “Di sebuah negara maju, seorang bayi yang baru lahir diperkirakan meninggal 79 tahun kemudian. Ketika merayakan ulang tahunnya yang ke-79, harapan hidupnya, berdasarkan asumsi kesehatannya normal, adalah 10 tahun (bukan nol tahun). Pada usia 90 tahun, dia diharapkan hidup 4,7 tahun lagi (bukan minus 11 tahun). Pada usia 100 tahun, dia diharapkan hidup 2,5 tahun lagi (bukan minus 21 tahun).”

Saya kira kasusnya mirip juga dengan perjalanan menggunakan GPS. Sambil berjalan kita bisa melihat bahwa jarak absolut terus mendekat ke tujuan. Di sana ada prediksi waktu, namun kenyataan seringkali berbeda dengan waktu. Benar bahwa jarak kita lebih dekat ke tujuan, namun waktu tempuh riilnya bisa jadi jauh lebih lama dari prediksi awal.

Misalnya, indikator awal menunjukkan jarak tempuh 10 km dengan prediksi waktu perjalanan 12 menit. Nyatanya, jalan macet. Setelah berjalan 5 menit, karena macet, jarak tempuh masih 9 km lagi dan waktu tersisa masih 10 menit. Setelah berjalan 15 menit, jarak menuju tujuan masih 6 km dan sisa waktu diperkirakan masih 7 menit. Begitu seterusnya sehingga setelah 30 menit baru tiba di tujuan. Jadi, semula jaraknya dari sisi waktu hanya 12 menit, jadinya malah 30 menit. (Tapi analogi ini tidak sepenuhnya klop karena di sini masih ada titik tujuan yang lokasinya fixed)

***
Contoh lain adalah orang yang baru saja sembuh dari penyakit yang berat atau parah. Ketika sakitnya mendera dan belum diobati, maka secara medis tingkat harapan hidupnya rendah dan sisa umurnya pendek. Akan tetapi, ketika pengobatan berhasil, maka tingkat harapan hidupnya meningkat dan sisa hidupnya secara teoritis juga memanjang.

Tentu saja ada faktor-faktor seperti kecelakaan, perang, bencana dan sebagainya yang lebih sulit dihitung namun berdampak fatal. Hal-hal semacam inilah yang membuat perhitungan menjadi lebih rumit dan ungkapan mengenai misteriusnya kedatangan maut lebih menemukan relevansinya.

Orang yang bekerja di arena berisiko tinggi, di dekat zona perang, di bidang yang dekat dengan potensi bahaya, secara teoritis memiliki tingkat kedekatan lebih tinggi terhadap kematian. Orang-orang asuransi tentu lebih pintar dalam menghitung hal semacam ini.

***
Jadi, saya kira, kedekatan kita dengan kematian tidak selalu sebanding dengan umur. Paling tidak, hal itu ditentukan oleh kedekatan ditentukan oleh umur, tingkat kesehatan, serta kegiatan berisiko.

Bisa jadi umur mendorong ke dekat kematian, namun tingkat kesehatan yang membaik justru menariknya jauh dari maut. Lalu, tiba-tiba sebuah kecelakaan kerja berperan mempersingkat semuanya secara mendadak.

Bisa jadi tahun lalu umur mendorong ke dekat maut, lalu kesehatan juga buruk yang membuatnya kian dekat maut, dan kegiatan berisiko banyak dilakukan sehingga makin dekat lagi. Namun tahun ini semua berubah. Umur tetap mendorong ke dekat maut, tetapi kesehatan membaik sehingga menjauh dari maut, dan kegiatan berisiko tidak lagi dilakukan sehingga makin jauh lagi dari maut. Dengan demikian, tahun ini posisinya lebih jauh terhadap maut daripada tahun lalu.

Tapi, embuhlah kebenarannya.
“Dan cukuplah kematian itu sebagai nasihat.”
Wallahu a’lam.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Kata-kata terakhir itu dalam banget mas.. Cukuplah kematian itu sebagai nasihat.

Nabi mengajurkan untuk berziarah kubur salah satu fungsinya agar kita mengingat mati.