22 Mei 2012

Melawan arus tidak selalu jelek

Jangan melawan arus. Begitulah salah satu nasihat penting bagi semua pengendara di jalan raya. Larangan ini lebih ditekankan lagi untuk para pengendara sepeda motor yang biasanya enggan mengikuti rambu lalu lintas tanda jalan satu arah.

Akan tetapi jangan salah. Tidak semua yang melawan arus lalu lintas adalah hal buruk. Bahkan, di jalan tol yang jelas-jelas merupakan jalan searah untuk masing-masing lajur, melawan arus malah bisa menjadi solusi.

Setidaknya itulah yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya dan Jasa Marga dalam menangani kemacetan yang seolah tanpa harapan untuk terselesaikan setiap pagi dan sore di tol dalam kota Jakarta. Oleh pihak berwenang, kebijakan ini disebut contra flow.

Seperti kita sadari, setiap pagi dan sore hari terjadi ketidakseimbangan arus lalu lintas masuk dan ke luar dari pusat kota. Bagi siapa saja yang bertempat tinggal di seputar Taman Mini Indonesia Indah, Cibubur, Bogor, serta Bekasi, dan berkantor di sekitar Semanggi, pasti merasakan betapa macetnya tol dalam kota setiap pagi.

Arus dari berbagai lokasi di sebelah timur, selatan, dan tenggara Jakarta tumplek masuk ke tol dalam kota di Cawang. Akibatnya, mobil hanya bisa merayap perlahan menuju arah Semanggi. Sementara pada arah sebaliknya, biasanya sangat lancar.

Makanya informasi lalu lintas di pagi hari tentang kemacetan selalu dihiasi dengan kalimat, “arah sebaliknya lancar.”

Saya sering berpikir, seandainya ‘arah sebaliknya’ itu bisa dimanfaatkan untuk mengurangi kemacetan yang selalu menimpa ‘arah utama’ alangkah menyenangkan.

Ternyata, pihak yang berwenang pun mulai memikirkan dan menerapkan hal itu. Satu lajur jalan dari tol dari arah Semanggi menuju Cawang diberi pembatas dan digunakan untuk kendaraan yang berasal dari arah Cawang menuju ke Semanggi. Maka, kapasitas jalan menuju Semanggi bertambah satu lajur, sedangkan yang menuju Cawang berkurang satu lajur.

Dengan demikian, ruas jalan arah meninggalkan pusat kota yang relatif idle bisa dimanfaatkan untuk menampung arus menuju pusat kota. Hasilnya, kemacetan berkurang, kapasitas jalan pun lebih optimal.

Kebijakan ini mulai diberlakukan 1 Mei di tol dalam kota antara pukul 06.00 hingga 10.00 WIB. Jika dianggap berhasil, akan diperluas ke ruas yang lain di tol dan pada jam yang lain.

Bahkan, pemberlakuannya juga dipertimbangkan di jalan bukan tol yang sering macet seperti di kawasan Sudirman dan Jalan Sultan Iskandar Muda, Jakarta Selatan. Kebijakan melawan arus ini diharapkan bisa mengatasi sebagian masalah utama Jakarta yaitu kemacetan lalu lintas yang kian menggila dan membuat frustasi.

***
Kemacetan memang merupakan masalah besar bagi Jakarta. Dampak dari kemacetan bukan hanya molornya waktu perjalanan melainkan juga pemborosan bahan bakar minyak, berkurangnya produktivitas, berkurangnya daya saing ekonomi, hingga masalah psikologis.

Saling serobot, rebutan jalan, pelanggaran lalu lintas, merupakan efek dari kemacetan yang membuat frustasi. Mudahnya emosi tersulit, mudahnya orang bertengkar di jalanan merupakan dampak lainnya. Belakangan media sosial diramaikan oleh video tentang perselisihan di jalanan yang padat.

Kalau saja lalu lintas lancar dan semua pengendara tertib, kasus pertengkaran di jalan dan pertunjukan arogansi tentu bisa dihindari. Banyak sekali masalah sosial dan kejiwaan yang akan terbantu oleh kelancaran lalu lintas.

Oleh sebab itu, upaya mengurangi kemacetan merupakan hal besar yang layak dihargai. Cara paling sederhana mengurangi kemacetan adalah dengan meningkatkan kapasitas jalan, mengurangi persimpangan, serta menghilangkan bottle neck.

Melebarkan jalan serta membuat simpang susun jelas solusi yang mahal dan perlu waktu lama. Sebagai contoh, pembangunan jalan layang nonton Casablanca-Karet memakan biaya triliunan rupiah dan waktu lebih dari satu tahun.

Soal bottle neck berupa penyempitan atau kendaraan umum ngetem perlu mendapat perhatian serius. Sebab, kapasitas sesungguhnya dari sebuah ruas jalan bukanlah kapasitas pada bagian terlebar, melainkan kapasitas pada bagian terkecil alias bottle neck itu.

Contohnya, bila ada ruas jalan yang pada bagian lebarnya mampu menampung 100 mobil per menit, namun di bagian ujungnya ada penyempitan yang membuatnya hanya mampu dilewati 20 mobil per menit, maka kapasitas sesungguhnya dari jalan itu menjadi hanya 20 mobil per unit. Kapasitas bagian jalan yang 100 mobil per unit menjadi seperti tersia-sia. Perlu upaya lebih serius mengenali dan mengurangi ‘leher botol’ dalam arus lalu lintas Jakarta.

Solusi out of the box seperti contra flow itu perlu diperbanyak. Penggunaan lampu lalu lintas yang cerdas, yang mampu mengenali arus mana yang perlu mendapatkan prioritas lampu hijau, mungkin perlu diperbanyak. Seiring dengan tantangan yang kian berat dan dinamis, solusi baru juga perlu terus dicoba dan digali. Semoga dugaan kemacetan total pada 2014 bisa dihindari.

2 komentar: