22 Mei 2012

Jl Casablanca: Etalase kehebatan rekayasa sipil


Lebih dari satu tahun terakhir, penderitaan para pengguna jalan Casablanca-Dr Satrio, Jakarta, bertambah-tambah. Pasalnya, ada pembangunan jalan layang ruas Kampung Melayu-Tanah Abang.

Sebelum ada proyek, jalan ini sudah dikenal macet pada jam-jam sibuk, terutama di sekitar Mal Ambassador dan ITC Kuningan. Maka bertambahlah kemacetan dengan proyek ini.

Ini merupakan proyek besar. Menurut jadwal, proyek pembangunan jalan layang bukan tol ini akan memakan waktu hampir 2 tahun. Tahun ini diharapkan proyek berakhir dan jalan layang bisa digunakan. Lalu, penderitaan pengguna itu (semoga) berubah menjadi kenyamanan.

Selama proyek berlangsung, lalu lintas tetap berjalan di bawah dan di sampingnya. Ada penyempitan signifikan yang terjadi karena sebagian badan jalan ‘termakan’ tiang pancang atau hal-hal lain terkait proyek.

Saya sering lewat jalan ini dari stasiun Tebet menuju Karet. Dengan menggunakan angkot M44 yang sering menyerobot antrean, perlu waktu sekitar setengah jam menembus kemacetan seputar Casablanca-Satrio selama ada proyek ini. Dari Tebet hingga ke Karet seringkali memerlukan waktu satu jam pada jam sibuk.

***
Kemacetan memberi kesempatan bagi para pengguna jalan untuk mengamati proyek ini. Puluhan alat berat bekerja keras siang malam di sana. Menggali lubang untuk pondasi, memasang penyangga besar, mengangkat material ke atas penyangga, dsb.

Material bahan jalan berbobot puluhan ton berjejer-jejer di lahan proyek. Ada yang baru tiba, ada yang sedang dipasang, ada pula yang telah terpasang dengan manis seolah menggantung di angkasa.

Bagi saya, material yang ukurannya beberapa kali lipat dibandingkan kendaraan-kendaraan yang lewat di dekatnya, menggambarkan kehebatan proyek ini. Ini merupakan etalase kehebatan rekayasa sipil yang dipertontonkan dengan telanjang di atas jalan yang sibuk.

Bagaimana membangun penyangga sebesar dan setinggi itu? Bagaimana mengangkat material badan jalan yang amat berat itu? Bagaimana merekatkan satu material dengan material lain agar kuat namun juga tetap ada ruang untuk pemuaian? Bagaimana mendesain agar pemasangan di satu titik klop dengan pemasangan di titik lain? Bagaimana jika terjadi gempa? Dan masih banyak pertanyaan lain.

****
Di kanan kiri proyek jalan layang itu juga ada proyek-proyek rekayasa sipil yang tidak kalah memukau. Pembangunan mal, apartemen, perkantoran, gedung bertingkat, dan sebagainya berlangsung hampir bersamaan dengan proyek pembangunan jalan itu.

Saya tidak tahu apakah di antara puluhan ribu atau ratusan ribu orang yang tiap hari melewati proyek itu adakah yang tergugah, terinspirasi, sehingga berharap anak atau keponakannya atau keturunannya bisa menjadi insinyur sipil yang mampu membangun infrastruktur lebih hebat daripada jalan layang dan bangunan di kanan kirinya?

Kalau tidak ada, saya kira ini menyedihkan.

Mestinya para insinyur sipil bisa menjadikan proyek besar semacam ini, apalagi di pusat kota, sebagai etalase pengetahuan, sebagai sarana untuk memancing rasa ingin tahu dan kecintaan publik kepada ilmu sipil. Saya bukan insinyur sipil dan tidak tahu apa-apa tentang teknik sipil, namun saya merasakan kehebatan rekayasa sipil dari melihat proyek pembangunan itu.

Tapi, bisa jadi, bagi para insinyur sipil, ini adalah proyek biasa-biasa saja, atau bahkan sepele, sehingga tidak layak untuk pameran dan etalase. Masih banyak proyek-proyek lain yang lebih hebat, lebih prestisius, sebagai sebuah monumen. Entahlah, siapa tahu.

PS: Ada satu hal ‘sepele’ yang agak mengganggu soal penamaan proyek ini. Mengapa selalu disebut jalan layang non-tol? Mestinya kan jalan layang (saja). Apakah semua jalan layang pasti jalan tol sehingga mesti ditambahi kata non-tol?