18 September 2008

Antre gaya Indonesia


Beberapa hari yang lalu saya menulis mengenai perlunya antre (yang bahkan bisa berguna untuk menyelamatkan nyawa). Nah, tadi pagi saya mengalami antrean khas Indonesia. Tidak terlalu menyiksa, tetapi menurut hemat saya masih perlu banyak peningkatan alias perbaikan.

Tadi pagi saya membayar pajak mobil di kantor bersama samsat Cibinong, Bogor. Masuk loket pertama untuk menyerahkan KTP (asli), STNK (asli), serta bukti pembayaran pajak tahun lalu (juga asli). Saya mendapatkan tanda bukti selembar kertas kecil yang harus diisi sendiri.

Setelah menunggu sekitar setengah jam, saya dipanggil di loket kasir untuk membayar. Alhamdulillah pajak kendaraan tahun ini turun sekitar 10% dibandingkan dengan tahun lalu. (menurut berita di koran-koran katanya naik, mungkin yang naik khusus untuk pajak di Jakarta).

Saya duduk kembali di runag tunggu. Sekitar 20 menit atau setengah jam kemudian saya dipanggil untuk mengambil KTP (asli), STNK (asli), serta bukti pembayaran pajak yang baru (asli). Lalu pulang.

***
Saya rasa proses sekitar satu jam itu cukup cepat melihat begitu banyaknya orang yang mengurus pajak dan STNK. Akan tetapi ada sejumlah kelemahan yang tampak menonjol.

1. Di loket penerimaan ada orang yang hanya menyerahkan dokumen, ada pula yang langsung membayar. Padahal petugasnya sama-sama pakai seragam. Orang yang hanya menyerahkan dokumen (seperti saya) membayar di loket kasir persis sesuai dengan angka yang tertera dalam lembar pembayaran. Entah bagaimana dengan orang yang membayar di loket lain.

2. Ketika menyerahkan KTP, STNK, serta bukti pajak tahun lalu, pembayar hanya memegang bukti secuil kertas yang agak mencemaskan. Padahal dokumen yang diserahkan adalah dokumen sangat penting. Tadinya saya menyerahkan fotocopian. Eh, fotocopian diambil, yang asli juga diminta. Jadi, kalau ada apa-apa, saya tidak punya back up lagi.

3. Selam masa menunggu (terutama menunggu sebelum ada panggilan pertama untuk membayar), pembayar berada dalam posisi tanpa panduan. Kita tidak tahu proses sudah sampai di mana, tidak tahu berapa lama lagi harus menunggu. Semua tergantung ‘panggilan’ petugas. Jadi, mau baca koran, mau ke toilet, atau mau pergi makan (kalau sedang tidak puasa) serba meragukan. Jangan-jangan nanti pas pergi justru dipanggil.

Saya kira beberapa ciri di atas yang saya sebut sebagai antrean khas Indonesia. Kasus yang mirip saya alami kalau mau naik bus malam Sumber Alam. Sumber Alam adalah salah satu perusahaan bus malam terbesar di Jawa tengah bagian selatan dengan tujuan Jakarta, Bogor, Cibinong, Bekasi, dan kota-kota di sekitarnya. Kantor pusatnya di Kutoarjo, 8 km dari rumah orang tuaku.

Kalau naik bus Sumber Alam, kita membeli tiket misalnya pagi hari. Pas sore datang ke sana harus nunggu dipanggil satu per satu dengan urutan yang kita tidak tahu polanya. Ada ratusan orang yang naik bus ke berbagai jurusan (apalagi saat Lebaran dan liburan). Kita tidak tahu setelah panggilan untuk penumpang bus AC jurusan Pulogadung, misalnya, kemudian bus yang mana? Apakah bus Cibinong? Bogor? Citeureup? Cikarang? Atau yang mana?

Semua calon penumpang hanya psrah saja. Beruntung kalau rombongannya lebih dari satu orang. Yang satu bisa ke toilet atau makan atau baca Koran dengan santai ketika yang lain menunggu panggilan. Bagaimana dengan orang yang sendirian?

Pola antrean model begini juga dulu sering saya alami ketika membayar listrik dan PDAM sebelum saya memanfaatkan ATM. Itulah makanya saya sebut antrean khas Indonesia.

***
Untuk loket sekelas kantor bersama samsat, saya pikir seharusnya mereka bisa menerapkan pola seperti loketnya operator seluler. Kalau kita ke Grapari Telkomsel, misalnya, kita ambil antrean dan bias memperkirakan masih berapa orang lagi di depan kita.

Kita tidak perlu menyerahkan dulu dokumen-dokumen penting seperti KTP asli dan sebagainya ketika menunggu.

Mestinya, dokumen itu diserahkan (atau bahkan hanya ditunjukkan saja) nanti ketika nomor urut kita dipanggil, kita duduk di depan CS, sambil menyerahkan dokumen. Bayar ke kasir, balik lagi ke CS, sudah dapat itu bukti pembayaran pajak.

Jadi kita tetap bisa mengawasi KTP dan STNK kita itu di depan mata. Tidak ada kecemasan kehilangan dokumen. Kalau dia tidak betah dengan antrean yang sangat panjang, dia bisa datang lain kali saja tanpa harus kehilangan KTP dll yang ditahan duluan. Saya kira jumlah petugas yang sangat banyak itu sudah mencukupi untuk sistem baru yang lebih baik.

Kapan kah kita dapat menikmati system antrean yang lebih baik, lebih menenangkan, dan tentu saja lebih manusiawi? Masak harus nunggu di akhirat dengan sistem antrean yang dibuat oleh Allah yang Maha Pintar? Wallahu alam.

5 komentar:

Anonim mengatakan...

ok. I found an information here that i want to look for.

Anonim mengatakan...

very nice! hahahahaha

Anonim mengatakan...

ok. I found an information here that i want to look for.

Anonim mengatakan...

very nice! hahahahaha

Unknown mengatakan...

i like......