16 September 2008

Menyelamatkan nyawa dengan antre

Sebanyak 21 orang tewas dan belasan luka-luka dalam antrean penerima zakat di Pasuruan, Jawa Timur, kemarin. Ini kisah yang sangat memilukan. Jumlah korban yang terlalu banyak untuk sebuah antrean sebesar apa pun. Meninggal karena masalah perebutan sesuatu yang mestinya bisa diperoleh dari antrean adalah kisah memilukan sekaligus memalukan.

Terlepas dari banyaknya faktor di balik tragedi itu (seperti kemiskinan, kurang optimalnya lembaga penyalur zakat, tidak berfungsinya aparat keamanan dan petugas negara), saya ingin menyoroti satu persoalan serius yaitu budaya antre.

Saya pikir tragedi semacam ini merupakan momentum bagi bangsa ini, dan seluruh bangsa di dunia, untuk memperhatikan manfaat antre. Kita bisa mengatakan bahwa antre itu dapat menyelamatkan nyawa. Antre, meskipun kelihatan sepele dan dalam banyak hal menyebalkan, manfaatnya bisa benar-benar besar: menghindarkan kematian.

Dalam budaya antre, semua orang merasa setara, oleh sebab itu hanya ada satu variable yang menjadi penentu siapa yang berhak dilayani terlebih dahulu. Variable itu adalah siapa yang terlebih dahulu datang. Variabel lain dianggap setara. Atau, kalaupun akan ditambahkan variable lain, disediakan loket husus misalnya untuk orang tua, orang cacat, ibu hamil, dan sebagainya.

Budaya antre butuh pelaksanaan yang melibatkan semua lapisan masyarakat. Dalam antrean, kalau ada orang yang tidak mau menghargai orang lain (merasa dirinya lebih penting) akan memicu orang lainnya untuk juga tidak saling menghargai, sehingga kacaulah antrean.

Tidak boleh ada alasan pribadi (misalnya karena merasa lebih miskin, lebih punya jasa, punya jabatan) sebagai pembenaran untuk tidak mematuhi antrean.

***
Di sejumlah negara maju dengan kesadaran berbagi yang tinggi, budaya antre sudah mendarah-daging. Di Jepang, misalnya, orang menunggu di halte bus yang tanpa loket pun dalam bentuk antrean. Tidak ada yang menyuruh maupun mengatur, semua otomatis, atas kesadaran sendiri.

Bahkan, orang berjalan kaki pun membentuk antrean, persis seperti orang mengemudi di jalan tol. Kalau kita berjalan kaki pada jalan sempit dua arah (seperti escalator, jembatan penyebarangan), harus pilih di sebelah kiri, untuk memberi kesempatan orang lain yang ingin mendahului. Tidak boleh jalan kaki bergerombol yang menghalangi orang lain untuk berjalan lebih cepat. Di sinilah semangat berbagi resources public yang terbatas sangat menonjol.

***
Keinginan orang-orang yang memiliki kekuasaan atau pengaruh untuk menggunakan jalur khusus di luar antrean (dilakukan oleh pejabat, wartawan, atau siapa pun lah itu) dalam hemat saya merupakan salah satu faktor (langsung dan tidak langsung) penghambat berkembangnya budaya antre.

Mari kita belajar antre, demi menyelamatkan banyak nyawa.

*) Pada masyarakat modern, antrean fisik dalam berbagai hal mulai digantikan dengan antrean elektronik atau Internet. tetapi itu di luar bahasan.
*) Saya kadang kepikiran soal antrean di akhirat yang melibatkan miliaran manusia. Bagaimanakah sistem antreannya? Apakah prioritas berdasarkan kebaikan, atau siapa yang lebih dahulu hidup di dunia, atau apa? Allah yang Maha Pintar pasti menyediakan sistem antrean yang top deh.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Betul banget Do, entar kalo gue di selak sama orang lain, gue kan tinggal bilang:
"..Mas-mas, antri dong, nanti kaya yang di Pasuruan lho..."
alias
"...mati aje lo!.."

Unknown mengatakan...

sependapat ;).. dari kejadian itu hendaknya semua orang mengambil pelajaran (hikmah). Perilaku yang tidak tertib selalu akan menghasilkan kerugian. Hal yang sama saya sering lihat dalam
berlalu lintas.

thrio haryanto mengatakan...

saya pernah membuat iklan:
Kapan nyampainya kalau semua mau duluan.

Iklan ini terus terang bentuk kegeraman saya melihat kemacetan lalu lintas yang lebih sering disebabkan oleh prilaku pengguna jalan. Tidak Tertib. Fuh! apakah memang sudah jadi budaya Indonesia, ya?

Jika tidak tertib merupakan budaya Indonesia, maka ia melengkapi budaya yang sudah duluan masuk, yaitu tidak mau belajar!

Kejadian serupa Pasuruan ini sudah sangat sering terjadi. Sebutlah pembagian sedekah (atau zakat ya) di Gresik dan Bekasi... atau kejadian bagi-bagi BLT (huh! satu lagi kebodohan pemerintah... ngasih ikan bukan ngasih kail)....

?#???indONEsia