18 September 2008

Utang, menggesa, dan gaya hidup modern

Jalan raya Gunungputri di dekat rumahku sedang diperbaiki. Sebagian jalan yang setiap hari dilewati banyak truk tronton itu sekarang menjadi sangat mulus dan sedikit lebih lebar.

Sebelum diperbaiki, kerusakan yang cukup parah di dekat pintu tol menimbulkan kemacetan yang tidak perlu. Selama masa itu pula saya lebih sering memilih jalan memutar lewat belakang kompleks perumahan tembus ke pintu tol Karanggan yang lebih jauh 1 km-2 km (tergantung jalur dan tujuan yang dipilih).

Saya lalu berpikir alangkah lebih baiknya kalau dari dulu jalan ini diperbaiki. Alangkah banyak yang dapat dihemat (bahan bakar minyak, waktu, spare part kendaraan, emosi dsb) dengan jalan yang lebih mulus dan lebih baik. Bukankah biaya yang dihabiskan untuk memperbaiki sekarang kira-kira sama dengan memperbaiki bulan lalu atau pun bulan depan?

***
Berandai-andai memang sering menyesatkan. Soal biaya itu sekilas memang sama atau berselisih sedikit pakai teori present value, future value, dsb. Berkaca pada kehidupan sehari-hari, bisa jadi biaya untuk perbaikan jalan itu baru tersedia saat ini (lupakan praduga korupsi, proyek dll).

Bagaimana mau memperbaiki jalan dari kemarin kalau dananya baru ada sekarang? Jadi silakan saja sengsara dulu selama satu bulan atau satu tahun menunggu uangnya ada, baru diperbaiki. Jangan mengimpikan efisiensi (jalan mulus lancar hemat waktu hemat bensin hemat spare part) dan hal-hal mewah lainnya dulu. Jangan mengharapkan kegunaan sebelum bisa mengeluarkan modal (untuk perbaikan).

***
Mengharapkan kegunaan terwujud mendahului modal. Sebenarnya itulah impian setiap orang. Semua orang yang dulunya miskin dan sekarang menjadi kaya mungkin saja berpikir seandainya dulu bisa membiayai sekolah dengan lebih baik (memakai uang yang dimiliki sekarang), mungkin kondisinya akan lebih baik. Seandainya dulu bisa mengobati anggota keluarga dengan uang yang dimiliki sekarang alangkah lebih baiknya.

Tetapi cara berpikir itulah dasar munculnya utang alias hutang. Ingin mewujudkan fasilitas sekarang dengan biaya yang dihasilkan belakangan.

Barangkali itulah pula dasar lahirnya kartu kredit (karena kartu kredit itu dasar cara hidup orang modern yang berkiblat ke AS dan belakangan bangkrut). Lha kalau semua-mua dibiayai pakai utang, terus ternyata kemampuannya melempem dalam membayar, bagaimana perekonomian tidak ikut ambruk?.

***
Jadi, kesimpulannya, kalau memang negara dan diri ini sedang tidak punya duit, dan tidak banyak harapan untuk bisa mengumpulkan banyak duit, sabar saja menghadapi ke-papa-an yang muncul karena ketidakpunyaan. Jangan menggesa untuk utang ini itu, apalagi kalau melampaui batas kemampuan. Sabar saja mau jalan rusak, rumah rusak, ponsel jadoel, kendaraan kuno, dan sebagainya. Enggak usah banyak-banyak utang, hehehe..

Tidak ada komentar: