23 September 2008

Pemodelan arus mudik

Saat ini ilmu komputasi sudah sangat maju. Informasi peta online juga sudah sangat gampang diperoleh, bahkan secara gratis. Nah, dalam kaitan dengan ritual mudik yang melibatkan hampir 20 juta orang, saya mengimpikan sistem informasi mudik yang sifatnya mampu memprediksi arus lalu lintas sebagai gabungan antara model matematis dengan peta digital. Informasi ini juga harus dapat diakses secara online oleh masyarakat.

Berdasarkan pengalaman saya beberapa kali mudik Lebaran lewat Bandung terus jalur selatan Jawa Barat dan Jawa Tengah, terdapat dua titik kemacetan (sebenarnya lebih tepat disebut garis kamacetan karena panjangnya bisa puluhan kilometer dan waktu tempuh puluhan jam) yaitu di tol Cikampek dan Nagrek-Malangbong-Tasikmalaya.

Tol Cikampek mulai kilometer 32 hanya menyediakan dua jalur tidak sanggup menampung ribuan kendaraan yang ingin lewat secara bersama-sama. Tahun lalu, saya berangkat jam dua malam dari Gunungputri, mulai kena macet di Tol Cikampek km 19, baru bisa masuk ke Purbaleunyi jam 8 atau 9 pagi.

Jam 12 siang melewati Bandung, lalu terjebak di Nagrek-Malangbong dan baru bebas dari Tasikmalaya setelah jam enam atau jam tujuh malam. Saya tidak sanggup lagi menyetir jadi terpaksa menginap di Ciamis.

Ada banyak faktor yang menjadi penyebab kemacetan dan penderitaan itu. Akan tetapi, salah satu penyebab penting adalah kesalahan memperkirakan kondisi arus mudik saat itu.

****
Saya berharap ada permodelan yang bisa memprediksi atau mensimulasikan arus mudik di jalan-jalan utama itu jalur mudik di sekitar Lebaran. Data dapat dihimpun berdasarkan survey calon pemudik, data-data dari perusahaan angkutan, kapasitas jalan, dan sebagainya.

Tentu saja permodelan itu sifatnya harus dinamis karena orang akan bereaksi atas model yang pertama (misalnya menunda atau mempercepat waktu) yang berdampak pada perubahan pola arus mudik. Jadi model itu harus terus menerus diperbarui. (ya, ini agak muluk-muluk. Pada tahap pertama mungkin dibuat model statis dulu lah. Tahun-tahun berikutnya baru dikembangkan dengan variable yang dinamis melibatkan respons pemudik).

Saya yakin informasi semacam ini akan sangat bermanfaat baik untuk mengoptimalkan kapasitas jalan, menghemat waktu pemudik, mengeliminasi kemacetan, dan sebagainya.

Model seperti ini agak sedikit lebih maju daripada video streaming. Sebab video streaming hanya menyediakan data pada saat itu dan tidak memungkinkan kita bertanya kira-kira kondisi lalu lintas besok sore di titik X seperti apa?

Semoga ini bukan sekadar mimpi siang bolong…

18 September 2008

Utang, menggesa, dan gaya hidup modern

Jalan raya Gunungputri di dekat rumahku sedang diperbaiki. Sebagian jalan yang setiap hari dilewati banyak truk tronton itu sekarang menjadi sangat mulus dan sedikit lebih lebar.

Sebelum diperbaiki, kerusakan yang cukup parah di dekat pintu tol menimbulkan kemacetan yang tidak perlu. Selama masa itu pula saya lebih sering memilih jalan memutar lewat belakang kompleks perumahan tembus ke pintu tol Karanggan yang lebih jauh 1 km-2 km (tergantung jalur dan tujuan yang dipilih).

Saya lalu berpikir alangkah lebih baiknya kalau dari dulu jalan ini diperbaiki. Alangkah banyak yang dapat dihemat (bahan bakar minyak, waktu, spare part kendaraan, emosi dsb) dengan jalan yang lebih mulus dan lebih baik. Bukankah biaya yang dihabiskan untuk memperbaiki sekarang kira-kira sama dengan memperbaiki bulan lalu atau pun bulan depan?

***
Berandai-andai memang sering menyesatkan. Soal biaya itu sekilas memang sama atau berselisih sedikit pakai teori present value, future value, dsb. Berkaca pada kehidupan sehari-hari, bisa jadi biaya untuk perbaikan jalan itu baru tersedia saat ini (lupakan praduga korupsi, proyek dll).

Bagaimana mau memperbaiki jalan dari kemarin kalau dananya baru ada sekarang? Jadi silakan saja sengsara dulu selama satu bulan atau satu tahun menunggu uangnya ada, baru diperbaiki. Jangan mengimpikan efisiensi (jalan mulus lancar hemat waktu hemat bensin hemat spare part) dan hal-hal mewah lainnya dulu. Jangan mengharapkan kegunaan sebelum bisa mengeluarkan modal (untuk perbaikan).

***
Mengharapkan kegunaan terwujud mendahului modal. Sebenarnya itulah impian setiap orang. Semua orang yang dulunya miskin dan sekarang menjadi kaya mungkin saja berpikir seandainya dulu bisa membiayai sekolah dengan lebih baik (memakai uang yang dimiliki sekarang), mungkin kondisinya akan lebih baik. Seandainya dulu bisa mengobati anggota keluarga dengan uang yang dimiliki sekarang alangkah lebih baiknya.

Tetapi cara berpikir itulah dasar munculnya utang alias hutang. Ingin mewujudkan fasilitas sekarang dengan biaya yang dihasilkan belakangan.

Barangkali itulah pula dasar lahirnya kartu kredit (karena kartu kredit itu dasar cara hidup orang modern yang berkiblat ke AS dan belakangan bangkrut). Lha kalau semua-mua dibiayai pakai utang, terus ternyata kemampuannya melempem dalam membayar, bagaimana perekonomian tidak ikut ambruk?.

***
Jadi, kesimpulannya, kalau memang negara dan diri ini sedang tidak punya duit, dan tidak banyak harapan untuk bisa mengumpulkan banyak duit, sabar saja menghadapi ke-papa-an yang muncul karena ketidakpunyaan. Jangan menggesa untuk utang ini itu, apalagi kalau melampaui batas kemampuan. Sabar saja mau jalan rusak, rumah rusak, ponsel jadoel, kendaraan kuno, dan sebagainya. Enggak usah banyak-banyak utang, hehehe..

Antre gaya Indonesia


Beberapa hari yang lalu saya menulis mengenai perlunya antre (yang bahkan bisa berguna untuk menyelamatkan nyawa). Nah, tadi pagi saya mengalami antrean khas Indonesia. Tidak terlalu menyiksa, tetapi menurut hemat saya masih perlu banyak peningkatan alias perbaikan.

Tadi pagi saya membayar pajak mobil di kantor bersama samsat Cibinong, Bogor. Masuk loket pertama untuk menyerahkan KTP (asli), STNK (asli), serta bukti pembayaran pajak tahun lalu (juga asli). Saya mendapatkan tanda bukti selembar kertas kecil yang harus diisi sendiri.

Setelah menunggu sekitar setengah jam, saya dipanggil di loket kasir untuk membayar. Alhamdulillah pajak kendaraan tahun ini turun sekitar 10% dibandingkan dengan tahun lalu. (menurut berita di koran-koran katanya naik, mungkin yang naik khusus untuk pajak di Jakarta).

Saya duduk kembali di runag tunggu. Sekitar 20 menit atau setengah jam kemudian saya dipanggil untuk mengambil KTP (asli), STNK (asli), serta bukti pembayaran pajak yang baru (asli). Lalu pulang.

***
Saya rasa proses sekitar satu jam itu cukup cepat melihat begitu banyaknya orang yang mengurus pajak dan STNK. Akan tetapi ada sejumlah kelemahan yang tampak menonjol.

1. Di loket penerimaan ada orang yang hanya menyerahkan dokumen, ada pula yang langsung membayar. Padahal petugasnya sama-sama pakai seragam. Orang yang hanya menyerahkan dokumen (seperti saya) membayar di loket kasir persis sesuai dengan angka yang tertera dalam lembar pembayaran. Entah bagaimana dengan orang yang membayar di loket lain.

2. Ketika menyerahkan KTP, STNK, serta bukti pajak tahun lalu, pembayar hanya memegang bukti secuil kertas yang agak mencemaskan. Padahal dokumen yang diserahkan adalah dokumen sangat penting. Tadinya saya menyerahkan fotocopian. Eh, fotocopian diambil, yang asli juga diminta. Jadi, kalau ada apa-apa, saya tidak punya back up lagi.

3. Selam masa menunggu (terutama menunggu sebelum ada panggilan pertama untuk membayar), pembayar berada dalam posisi tanpa panduan. Kita tidak tahu proses sudah sampai di mana, tidak tahu berapa lama lagi harus menunggu. Semua tergantung ‘panggilan’ petugas. Jadi, mau baca koran, mau ke toilet, atau mau pergi makan (kalau sedang tidak puasa) serba meragukan. Jangan-jangan nanti pas pergi justru dipanggil.

Saya kira beberapa ciri di atas yang saya sebut sebagai antrean khas Indonesia. Kasus yang mirip saya alami kalau mau naik bus malam Sumber Alam. Sumber Alam adalah salah satu perusahaan bus malam terbesar di Jawa tengah bagian selatan dengan tujuan Jakarta, Bogor, Cibinong, Bekasi, dan kota-kota di sekitarnya. Kantor pusatnya di Kutoarjo, 8 km dari rumah orang tuaku.

Kalau naik bus Sumber Alam, kita membeli tiket misalnya pagi hari. Pas sore datang ke sana harus nunggu dipanggil satu per satu dengan urutan yang kita tidak tahu polanya. Ada ratusan orang yang naik bus ke berbagai jurusan (apalagi saat Lebaran dan liburan). Kita tidak tahu setelah panggilan untuk penumpang bus AC jurusan Pulogadung, misalnya, kemudian bus yang mana? Apakah bus Cibinong? Bogor? Citeureup? Cikarang? Atau yang mana?

Semua calon penumpang hanya psrah saja. Beruntung kalau rombongannya lebih dari satu orang. Yang satu bisa ke toilet atau makan atau baca Koran dengan santai ketika yang lain menunggu panggilan. Bagaimana dengan orang yang sendirian?

Pola antrean model begini juga dulu sering saya alami ketika membayar listrik dan PDAM sebelum saya memanfaatkan ATM. Itulah makanya saya sebut antrean khas Indonesia.

***
Untuk loket sekelas kantor bersama samsat, saya pikir seharusnya mereka bisa menerapkan pola seperti loketnya operator seluler. Kalau kita ke Grapari Telkomsel, misalnya, kita ambil antrean dan bias memperkirakan masih berapa orang lagi di depan kita.

Kita tidak perlu menyerahkan dulu dokumen-dokumen penting seperti KTP asli dan sebagainya ketika menunggu.

Mestinya, dokumen itu diserahkan (atau bahkan hanya ditunjukkan saja) nanti ketika nomor urut kita dipanggil, kita duduk di depan CS, sambil menyerahkan dokumen. Bayar ke kasir, balik lagi ke CS, sudah dapat itu bukti pembayaran pajak.

Jadi kita tetap bisa mengawasi KTP dan STNK kita itu di depan mata. Tidak ada kecemasan kehilangan dokumen. Kalau dia tidak betah dengan antrean yang sangat panjang, dia bisa datang lain kali saja tanpa harus kehilangan KTP dll yang ditahan duluan. Saya kira jumlah petugas yang sangat banyak itu sudah mencukupi untuk sistem baru yang lebih baik.

Kapan kah kita dapat menikmati system antrean yang lebih baik, lebih menenangkan, dan tentu saja lebih manusiawi? Masak harus nunggu di akhirat dengan sistem antrean yang dibuat oleh Allah yang Maha Pintar? Wallahu alam.

16 September 2008

Menyelamatkan nyawa dengan antre

Sebanyak 21 orang tewas dan belasan luka-luka dalam antrean penerima zakat di Pasuruan, Jawa Timur, kemarin. Ini kisah yang sangat memilukan. Jumlah korban yang terlalu banyak untuk sebuah antrean sebesar apa pun. Meninggal karena masalah perebutan sesuatu yang mestinya bisa diperoleh dari antrean adalah kisah memilukan sekaligus memalukan.

Terlepas dari banyaknya faktor di balik tragedi itu (seperti kemiskinan, kurang optimalnya lembaga penyalur zakat, tidak berfungsinya aparat keamanan dan petugas negara), saya ingin menyoroti satu persoalan serius yaitu budaya antre.

Saya pikir tragedi semacam ini merupakan momentum bagi bangsa ini, dan seluruh bangsa di dunia, untuk memperhatikan manfaat antre. Kita bisa mengatakan bahwa antre itu dapat menyelamatkan nyawa. Antre, meskipun kelihatan sepele dan dalam banyak hal menyebalkan, manfaatnya bisa benar-benar besar: menghindarkan kematian.

Dalam budaya antre, semua orang merasa setara, oleh sebab itu hanya ada satu variable yang menjadi penentu siapa yang berhak dilayani terlebih dahulu. Variable itu adalah siapa yang terlebih dahulu datang. Variabel lain dianggap setara. Atau, kalaupun akan ditambahkan variable lain, disediakan loket husus misalnya untuk orang tua, orang cacat, ibu hamil, dan sebagainya.

Budaya antre butuh pelaksanaan yang melibatkan semua lapisan masyarakat. Dalam antrean, kalau ada orang yang tidak mau menghargai orang lain (merasa dirinya lebih penting) akan memicu orang lainnya untuk juga tidak saling menghargai, sehingga kacaulah antrean.

Tidak boleh ada alasan pribadi (misalnya karena merasa lebih miskin, lebih punya jasa, punya jabatan) sebagai pembenaran untuk tidak mematuhi antrean.

***
Di sejumlah negara maju dengan kesadaran berbagi yang tinggi, budaya antre sudah mendarah-daging. Di Jepang, misalnya, orang menunggu di halte bus yang tanpa loket pun dalam bentuk antrean. Tidak ada yang menyuruh maupun mengatur, semua otomatis, atas kesadaran sendiri.

Bahkan, orang berjalan kaki pun membentuk antrean, persis seperti orang mengemudi di jalan tol. Kalau kita berjalan kaki pada jalan sempit dua arah (seperti escalator, jembatan penyebarangan), harus pilih di sebelah kiri, untuk memberi kesempatan orang lain yang ingin mendahului. Tidak boleh jalan kaki bergerombol yang menghalangi orang lain untuk berjalan lebih cepat. Di sinilah semangat berbagi resources public yang terbatas sangat menonjol.

***
Keinginan orang-orang yang memiliki kekuasaan atau pengaruh untuk menggunakan jalur khusus di luar antrean (dilakukan oleh pejabat, wartawan, atau siapa pun lah itu) dalam hemat saya merupakan salah satu faktor (langsung dan tidak langsung) penghambat berkembangnya budaya antre.

Mari kita belajar antre, demi menyelamatkan banyak nyawa.

*) Pada masyarakat modern, antrean fisik dalam berbagai hal mulai digantikan dengan antrean elektronik atau Internet. tetapi itu di luar bahasan.
*) Saya kadang kepikiran soal antrean di akhirat yang melibatkan miliaran manusia. Bagaimanakah sistem antreannya? Apakah prioritas berdasarkan kebaikan, atau siapa yang lebih dahulu hidup di dunia, atau apa? Allah yang Maha Pintar pasti menyediakan sistem antrean yang top deh.

15 September 2008

Peranan Atmosfer Bumi


Anda mengalami kesulitan untuk menjawab pertanyaan mengenai fenomena alam yang terkait dengan cuaca dan iklim dari anak, murid, keponakan, atau rekan? Atau bahkan Anda mengalami kesulitan untuk memahami berita seputar iklim, atmosfer, dan pemanasan global di media massa?

Barangkali buku berjudul 'Peranan Atmosfer Bumi' bisa membantu Anda.

Buku karya Erma Yulihastin ini ditulis dengan gaya bahasa yang mudah dipahami anak dan remaja.

Tampilan full colour dengan gambar-gambar indah di setiap halaman membuat buku terbitan Azka Press (Grup Ganeca Exact) ini lebih memikat dan mudah dicerna.

Latar belakang penulis yang alumnus Geofisika dan Meteorologi ITB, serta pekerjaannya sebagai staf peneliti pada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional menjadi jaminan tersendiri terhadap kualitas konten buku ini.

Adapun pengalaman penulisnya sebagai mantan wartawan (Tempo News Room), aktivitasnya sebagai Ketua Forum Lingkar Pena Kabupaten Bogor, serta konsistensinya dalam membuat tulisan ilmiah populer untuk koran (PR, Tribun, Kompas Jabar, Sindo) membuat penyajian masalah rumit menjadi mudah dimengerti.

Buku itu terdiri atas 52 halaman dalam tujuh bab sebagai berikut.

Satu, menjelaskan mengenai Bumi kita, atmosfer yang selalu bergerak, apa yang menggerakkan atmosfer, bagaimana atmosfer bergerak, manfaat atmosfer, dan susunan atmosfer.

Dua, menguraikan beberapa rahasia penting mengenai atmosfer Indonesia.

Tiga, mengupas singkat tentang ilmu meteorologi dan perkembangan teknologi terkini dari ilmu tersebut.

Empat, menceritakan apa yang dimaksud cuaca dan iklim serta apa saja yang membentuk cuaca dan iklim.

Lima, menggambarkan gejala cuaca dan iklim yang tampak sehari-hari seperti hujan, awan, angin, badai, banjir.

Enam, menerangkan pentingnya informasi cuaca dan iklim untuk keperluan di berbagai bidang seperti penerbangan, pelayaran, transportasi darat, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kesehatan, industri, lingkungan hidup. Di bagian ini juga dijelaskan tentang kantor cuaca dan iklim yang memberikan layanan informasi cuaca dan iklim di Indonesia.

Tujuh, menjelaskan seputar perubahan iklim dan pemanasan global. Betulkah iklim dunia berubah? Apakah yang menyebabkannya? Bagaimana dengan pemanasan global? Apakah ada kaitan antara pemanasan global dan perubahan iklim? Lalu apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi pemanasan global?

Semoga buku ini bermanfaat.

Spesifikasi buku: B5 Full colour, kertas isi MP 100 gram, cover AC/Ivory 210 gram, jilid block lem.
Harga: Rp30.000

08 September 2008

Kaset terjemahan


Sejak sering nyetir dua tahun yang lalu, saya jadi gemar lagi mendengarkan kaset. Sebab, radio di dalam mobilku bunyinya kresek-kresek tidak jelas (mungkin karena tidak ada antenna luar, mungkin juga karena mereknya yang agak abal-abal). Jadi satu-satunya hiburan ya kaset.

Nah, sejak itu saya berusaha mencari kaset murattal dan al-ma’tsurat yang dilengkapi dengan terjemahnya dalam bahasa Indonesia. Murattal adalah bacaan alquran biasa, bukan qiroah. Jadi ini membaca biasa saja. Adapun al-ma’tsurat itu kumpulan doa-doa dari Rasulullah yang dihimpun oleh Hasan Al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin.

Kalau kaset murattal dan ma’tsurat yang tanpa terjemahan sih sudah banyak. Mencari terjemahan itu yang sulit. Kalaupun ada, terjemahnya dalam bentuk teks, tidak bisa didengarkan, harus dibaca. Jadi, ya praktis tidak dapat disimak sambil nyetir.

Sekitar satu tahun yang lalu saya sempat menemukan al-ma’tsurat yang dilengkapi dengan terjemahnya. Sayang sekali formatnya CD. Padahal sistem audio di dalam mobilku tidak dapat digunakan untuk memutar CD.


***
Nah, awal bulan lalu, waktu jalan-jalan di penjual buku jl Gelapnyawang sebelah Masjid Salman Bandung, saya menemukan murattal Al-Quran yang dilengkapi dengan terjemah.

Kaset yang tersedia hanya juz 29. Murattal oleh Ust Abu Rabbani. Cara membacanya enak sekali didengarkan. Sayangnya, proses pembuatannya kurang memperhatikan perbedaan karakter pengucapan bahasa Arab dengan bahasa Indonesia.

Bacaan Al-Quran melengking tinggi dengan volume yang juga tinggi, sementara bacaan terjemahnya sangat lunak dan nyaris tanpa intonasi. Jadi, kalau suara terjemah mau terdengar nyaring, bacaan Qurannya harus sangat keras.
Kondisi kurang nyaman ini sangat terasa ketika melewati tol JORR atau Cipularang yang tidak pakai aspal sehingga noise dari ban besar sekali. Kesenjangan suara antara bacaan Al-Quran dan terjemahnya terasa sekali.

Beberapa pekan kemudian, masih di toko yang sama, saya menemukan kaset al-ma’tsurat yang dilengkapi dengan terjemah. Kali ini pembaca Al-Quran dan doa orangnya sama dengan pembaca terjemahnya. Volume dan intonasinya juga tinggi.

Jadi, problem kesenjangan seperti pada kaset Abu Rabbani tidak muncul. Sayangnya, terjemah ini tidak murni bahasa Indonesia. Banyak campurnya dengan bahasa Melayu dengan cara pengucapan yang logatnya khas Melayu (atau Sumatra lah).

Oh iya, satu lagi. Saya menemukan sebuah CD buatan Bandung yang berisi bacaan Al-Quran juz 30 dengan terjemah (saritilawah). Tapi cara pengerjaannya terkesan agak sembarangan. Bacaan dipotong-potong dari murattal yang asli, lalu diselipkan terjemah. Terjemah dibaca oleh wanita.

Mudah-mudahan di masa mendatang ada lebih banyak lagi kaset dan CD murattal, doa, dan sebagainya, yang dilengkapi dnegan terjemah, dan dikerjakan dengan kualitas yang lebih baik. Paling tidak saat ini sudah ada yang memulai. Terima kasih untuk mereka yang sudah membuat terobosan ini.

Saya yakin, mendengarkan bacaan semacam itu secara berulang-ulang tidak membosankan sebagaimana mendengarkan ceramah yang berulang-ulang. Wallahu a’lam.