30 Agustus 2009
Jebakan bagi para teknolog (ITB)
Beberapa tahun lalu saya membaca buku Bentang Ego, Alunkan Simfoni (BEAS) yang bercerita bagaimana kiprah Pak Kusmayanto Kadiman sebagai dosen di Teknik Fisika ITB dan (terutama) sebagai Rektor ITB.
Banyak hal menggugah yang saya dapatkan dari buku itu. Belakangan saya menjadi tergoda untuk membaca kembali buku itu terutama karena dalam perbincangan, baik lisan maupun tertulis, Pak Kus yang sekarang jadi Menristek itu sering merujuk pada ide yang tertuang dalam buku BEAS.
Sulit untuk meringkas buku yang sudah sangat padat dan kaya itu. Tapi saya akan fokus pada tiga ide yang terasa paling mengena sejak pertama kali membaca buku BEAS. (Bagi saya, buku itu solah-olah berjudul: Bentangkan Egomu, Alunkan Sinfonimu).
Membaca ulang buku ini sekarang –setelah agak sering berinteraksi secara langsung--juga menjadi lebih mudah karena saya bisa membayangkan bagaimana kira-kira intonasi dan tekanan Pak Kus ketika berbicara tentang apa yang tertuang dalam buku itu.
Tiga ide yang saya maksud meliputi: perangkap business as usual, jebakan kaum nerdish, serta kriteria insinyur. Berikut ini kutipan paparan Pak Kus mengenai tiga bidang di atas dalam buku BEAS.
***Business as usual
Perangkap terbesar yang ada dalah orang itu suka sekali dengan yang disebut business as usual, entah dalam aturan-aturan atau dalam apa. Orang itu maunya melakukan hal yang sama. Seperti yang sudah-sudah, seperti yang kemarin-kemarin saja. Kalau dia junior saya, ya sudah, lakukan seperti yang senior saya lakukan. Itu perangkap yang terbesar.
Saya mengatakan bahwa kita sudah lama bahagia memerangkap diri, diperangkap oleh diri kita sendiri. Tidak ada yang mau melakukan evaluasi. Mereka memandang bahwa itulah dunia mereka, dan tidak mau sebentar keluar dari dunia itu.
Selain itu, dalam business as usual, senoritas menjadi sangat penting. Kaidah yang berlaku do what I say, tetapi don’t do what I do. Kita mengajar begitu saja apa-apa yang sudah kita baca, tetapi tidak pernah mempersoalkan apakah cara mengajarnya sudah benar. Mendasar sekali sebenarnya pertanyaan how can I perform today better than yesterday.
Padahal, feed back is very important element of life. Kalau sesorang pergi ke lapangan, ketika balik ke kantor, dia menulis apa yang kita sebut back to office report. Itu dilakukan sebagai bentuk kontrak Anda. Apa yang Anda janjikan Anda tulis di situ. Sesudah itu, Anda mendapatkan feed back dari orang-orang lain. Nah, ketika tidak ada ukuran-ukuran, kita tidak peduli dengan evaluasi.
Kutipan:
Insanity: doing the same thing over and over again, and expecting different results. (Albert Einstein)
What gets measured gets done, what gets measured and feed back gets done well, what gets rewarded gets repeated. (John E. Jones)
***Nerd dan gaul
Membangun relasi merupakan satu aspek kehidupan yang menarik. Saya merasa bahwa manusia diciptakan tidak untuk sendirian. Jadi saya mengindahkan betul apa yang disebut nerd. Makna asli kata ini adalah cicak. Dalam Kamus Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “kutu buku”.
Jadi “kutu buku” itu orang yang tidak peduli dengan lingkungannya, yang merasa serba cukup dengan hidup sendirian. Saya percaya sikap ini bukan sebab, melainkan akibat. Saya tidak percaya orang dilahirkan untuk menjadi seorang nerd. Dia menjadi nerdish itu, salah satu sebabnya, karena faktor pengalaman masa kecil sehingga dia berkaya, “I don’t trust society.”
Dia merasa lebih aman dengan being alone, bergumul dengan buku, bergumul dengan alat, dia membuat dunianya sendiri. Kemudian, mengapa dia memilih menjadi nerd? Itu karena dia tidak percaya lagi akan society. Dia merasa akan lebih bermanfaat kalau tidak mengendalikan atau dikendalikan society. Hal itu membuat dia memilih hidup sendirian, tidak bersosialisasi dengan manusia lain.
Pilihan itu dia pilih karena merasa tidak punya kendali, atau tidak mau dikendalikan. Sementara itu, kalau dia bermain dengan buku, atau dengan alat-alat tidak bernyawa, dia merasa, “I have control.” Hal yang dia tidak dapatkan dari manusia, dia dapatkan dari situ.
Nah, saya ingin menjadi pelengkap dari para nerd ini. Saya percaya menjadi anggota society itu penting sekali. Bahkan dalam pernyataan yang sering saya lontarkan, saya sampaikan bahwa meskipun dari sudut pandang uang saya jauh di bawah orang yang paling kaya, tetapi dalam soal pertemanan saya boleh merasa bangga. Dan saya mengucapkan puji syukur. Saya adalah salah satu orang “terkaya” di dunia ini dalam hal kebertemanan.
Kebertemanan ini, kata kuncinya adalah interrelasi. Untuk saya, saya bentuk yang namanya interpersonal skill. Ini adalah soft skill yang mesti saya punya.
Lalu apa yang menjadi modal? Pertama adalah melihat sesuatu apa adanya, bukan dari kacamata saya. To see things as they are, not as the way I want. Itu yang menjadi falsafah.
Seorang yang “gaul” itu kalau saya kasih kertas dan pena, saya minta menuliskan 1.000 orang temannya, maka dalam orde menit dia akan bisa menulis 1.000 nama teman. Bagi mahasiswa ITB, mengenali 1.000 orang mestinya tidak sulit, oleh karena populasi total ITB kan mendekati 20.000 orang. Seribu orang itu kan hanya 5% dari 20.000 orang.
Kutipan:
Loving is the only sure road out of darkness, the only serum known that cures self-centeredness. (Roger M’Ckuen)
One of the most valuable things we can do to heal one another is: listen to each other’s stories. (Rebecca Falls)
***Kriteria insinyur
Saya memilih jurusan Teknik Fisika karena saya tidak tahu apa itu bidang Teknik Fisika. Sampai sekarang saya merasa kalau “salah jurusan”. Sebabnya saya tidak tahu sekarang bisa apa. Saya tidak tahu kekuatan saya sekarang ini dalam bidang apa. Namun, saya yakin, apa pun jurusan yang saya pilih pada waktu itu, tetap saja akan merasa “salah jurusan”.
Mestinya bidang Teknik Fisika adalah yang benar-benar bisa mencapai frontier dari bidang engineering. Sebenarnya sudah lama saya mengerti apa itu Teknik Fisika. Namun sampai sekarang saya merasa tidak mampu menjadi seroang engineering physicist. Menurut saya, ilmu seperti instrumentasi dan kontrol yang saya geluti sudah tidak cocok lagi di Departemen Teknik Fisika.
Kalau seseorang itu mengatakan dirinya insinyur, maka dia harus tahu apa sih kemampuan minimum yang harus dipunyi seorang insinyur. Menurut saya, seseorang hanya boleh menyebut dirinya insinyur kalau dia mempunyai kemampuan untuk merancang sesuatu.
“To design” adalah kata kunci yang tidak pernah lepas dari keinsinyuran. Nah, kalau kita bicara tentang Teknik Fisika, insinyur Teknik Fisika itu merancang apa? Kalau insiyur Teknik Sipil merancang konstruksi bangunan, insinyur Teknik Kimia merancang pabrik, jelas.
Bagaimana dengan Teknik Fisika? What kind of design yang bisa menjadi ciri khas seorang insiyur Teknik Fisika? Itulah yang menyebabkan sampai saat ini saya mengatakan bahwa saya salah jurunan.
Namun, kalau dikatakan saya insinyur instrumentasi dan kontrol, Im very proud of it. Namun menurut saya, it just a fraction dari spectrum Teknik Fisika yang begitu luas. Akan sangat takabur kalau saya yang hanya tahu sedikit tentang Teknik Fisika mengaku sebagai “insinyur Teknik Fisika”.
Jadi saya berani mengatakan “I'm an engineer in instrumentation and control, not in engineering physics. Not yet.”
Kutipan:
Engineering is not merely knowing and being knowledgeable. Engineers operate at the interface between science and society. (Dean Gordon Brown)
To educate a man in mind and not in morals is to educate a menace society. (Theodore Roosevelt)
Label:
alunkan simfoni,
beas,
bentang ego,
KK,
kusmayanto kadiman,
menristek,
rektor itb,
teknik fisika
25 Agustus 2009
Sang Pangeran dari Kerajaan Apple Inc
Steve Jobs merupakan pendiri sekaligus legenda Apple Inc, perusahaan pembuat iPod, iPhone, iMac, MacBook Air, dan perangkat keren lainnya.
Apple Inc yang berpusat di California, AS, dengan kapitalisasi pasar sebesar US$151 miliar itu, menurut Wolfram Alpha, karyawan lebih dari 35.000 orang.
Seperti apakah Steve Jobs sang legenda itu? Inilah gambaran yang saya baca dari buku The Apple Way tulisan Jeffrey L. Cruickshank.
Steve Jobs sering disamakan dengan Hendry Ford. Keduanya sama-sama muda, naïf, dan tidak berpengalaman ketika mereka mendapatkan popularitas yang menggemparkan di bidangnya masing-masing. Keduanya mulai dengan visi yang nyata kuat mengenai bagaimana produk mereka akan mengubah dunia kemudian membuat visi itu menjadi nyata.
***
Jobs lahir dengan hasrat kesempuranaan, yang artinya dia akan menuntaskan segalanya, mencemaskan setiap detail dari karyanya. Dia terobsesi pada setiap detail terkecil. Para teknisi datang kepadanya berulangkali, dan mengatakan bahwa mereka tidak dapat mendesain sebuah plastik yang sesuai dengan bentuk casing komputer Macintosh yang aneh. Padahal Jobs memaksa untuk menyatukan keduanya. Akhirnya tugas itu selesai juga, namun memerlukan sekitar 15 alat untuk membuat sepotong plastik yang sesuai dengan casing Mac.
Steve Jobs bukanlah orang yang menyenangkan. Dia sombong, kasar, dan banyak menuntut—seorang perfeksionis. Dia juga tidak dewasa, rapuh, sensitif, dan mudah tersinggung. Dia adalah orang yang dinamis, revolusioner, namun juga sering kali keras kepala, tidak bisa berkompromi, dan benar-benar sulit untuk dihadapi. (Sculley)
Bekerja dengan Steve merupakan pengalaman yang menakutkan sekaligus menimbulkan kecanduan. Dia akan mengatakan kepada Anda bahwa pekerjaan, gagasan, dan terkadang kehadiran Anda tidak berarti, tepat di depan Anda, tepat di depan semua orang. Melihatnya mencaci maki seseorang membuat Anda takut bekerja untuk waktu yang lama… (Guy Kawasaki)
***
Ada satu hal yang benar-benar saya yakini: Steve Jobs adalah orang yang tepat untuk memimpin Apple. Belum pernah ada satu orang pun di Apple yang memiliki pengaruh seperti yang dimiliki Steve Jobs semenjak dia kembali ke Apple.
Dia mungkin seorang tiran, penuntut, sulit memaafkan, dan bos paling buruk sepanjang masa. Akan tetapi dia juga seorang visioner. Seorang jenius. Seorang yang melakukan pekerjaan sampai selesai. Dan seorang yang membuat Apple ke luar dari kesulitan ketika orang-orang yang baik hati tak mampu melakukannya. (Scott Kelby)
***
Pada suatu rapat, Jobs mengenakan jeans dan bertelanjang kaki, duduk bersila di lantai ruangan konferensi. Di sempat dicaci maki terkait proyeknya memimpin Divisi Macintosh. Itu terjadi pada 1983.
Pada tahun yang sama, Steve Jobs memimpin Divisi Mac. Orang-orang yang bergabung dengannya adalah para insinyur dan programmer paling berbakat. Sesuai dengan permintaan Jobs, sehelai bendera bajak laut berkibar di atas gedung, seakan meneriakkan sisi pemberontakan Mac: “Kami mendobrak peraturan”. Berpikir seperti bajak laut ternyata merupakan dasar pemikiran yang baik bagi inovasi.
***
Ketika kita menggunakan iPod, iPhone, iMac, PowerBook, MacBook Air dan lain-lain yang keren itu, mari kita bayangkan betapa banyak penderitaan yang ditanggung orang-orang di Apple Inc untuk membangunnya, hehehe.
Gambar: amitbawani.com
24 Agustus 2009
Ketika konsumen diperdaya produsen
Kalau belanja di supermarket yang mewah menghabiskan lebih banyak uang, itu terjadi bukan karena kesalahan dalam memilih lokasi belanja, melainkan karena kurangnya pengendalian diri dan ketelitian si pembeli. Harford menyarankan pembeli untuk lebih jeli dan teliti, alih-alih memilih lokasi belanja yang kurang bagus.
***
Benarkan harga jual selalu sebanding dengan biaya produksi? Apakah operator kereta api menyediakan kelas dua dan kelas tiga untuk mengakomodasi orang miskian atau justru memanjakan orang kaya? Benarkan supermarket menyediakan produk dengan kemasan jelek harga murah agar pembeli berkantong tipis tetap bisa membeli produk?
Buku Detektif Ekonomi karya Tim Harford menjungkirbalikkan semuanya. Dia membayar trik-trik harga dalam industri TI, supermarket, maupun penyedia jasa transportasi.
***Bidang TI
Kita mengenal software versi mahal --kadang disebut versi profesional atau versi bisnis, atau sebutan lain yang keren-- dan ada versi lebih rendah (massal). Software versi profesional memiliki fitur lengkap dengan harga jual yang lebih tinggi dibandingkan software versi massal yang dipasarkan dengan banderol harga lebih murah.
Benarkah biaya produksi software versi tinggi itu memang lebih besar daripada biaya produksi peranti lunak versi rendah? Ternyata, menurut Tim Harford dalam buku Detektif Ekonomi, pembuat peranti lunak justru software menghabiskan biaya lebih besar untuk versi murah daripada untuk versi mahal.
Menurut Harford, peranti lunak versi profesional dirancang lebih dahulu. Lalu, dibuatlah versi murah dari modifikasi atas versi profesional dengan menghilangkan fitur-fitur tertentu. Jadi, biaya untuk versi murah adalah biaya versi profesional ditambah biaya pemangkasan fitur.
Hal ini tidak hanya berlaku pada industri peranti lunak. Dalam industri peranti keras hal itu juga bisa terjadi. Suatu ketika, produsen prosesor komputer membuat dua chip komputer dengan desain yang mirip namun dipasarkan dengan harga jauh berbeda.
Chip inferior dibuat dari chip superior yang diberi perlakukan khusus sehingga sebagian fasilitasnya tidak bekerja. Produsen menghabiskan biaya produksi yang lebih besar untuk chip inferior.
Sebuah produsen printer terkemuka juga pernah melakukan hal serupa. Mereka merancang dua model printer yang pada dasarnya adalah sama. Printer yang lebih murah sebenarnya adalah printer mahal yang ditambah dengan chip khusus untuk membuatnya bekerja lebih lambat. Mereka sengaja menjual lebih murah barang yang biaya produksinya lebih tinggi.
Sebenarnya bisa saja produsen software, prosesor, atau printer membuat produk yang seragam, berlaku untuk semua orang dan dipasarkan dengan harga yang sama. Tetapi, ini agak bertentangan dengan prinsip mencari untung sebanyak-banyaknya dengan cara yang sesopan mungkin. Produsen ingin melakukan diversifikasi atau price targeting (atau apa pun istilah bagusnya) disesuaikan dengan daya beli.
Intinya, mereka ingin agar orang yang peka harga membeli sesuai kantong tipisnya, sementara orang yang royal dan bersedia membayar lebih diberi kesempatan untuk membayar banyak. Jika konsumen rela membayar Rp1 juta mengapa diberi harga Rp500.000?
Produsen, papar Harford, memandang orang-orang yang royal ini perlu ‘dilindungi’ agar tidak berpindah memilih barang yang dijual dengan harga murah. Maka dibuatlah perbedaan-perbedaan fitur yang tujuan utamanya membiarkan orang kaya nyaman dengan pembayaran lebihnya.
Bagi produsen, ini kesimpulan yang sangat sinis dan subversif. Akan tetapi, kadangkala, konsumen yang cerdas memang terpaksa harus banyak bercuriga, agar dapat membebaskan diri dari berbagai macam jebakan halus.
***Tiket kereta api
Trik-trik penetapan harga lebih menarik lagi dikaji di sektor jasa, transportasi, obat-obatan, serta toko serba ada. Mengapa fasilitas kereta api kelas dua di Inggris begitu buruk dan kelas tiga begitu menyedihkan? Mengapa ruang tunggu bandara dan stasiun kereta api banyak yang dibiarkan tidak nyaman dan membuat penumpang tidak kerasan?
Menurut Harford, itu terjadi karena para penyelenggara kereta api tidak rela penumpang yang banyak uang, gemar kemewahan, dan biasa duduk di kelas satu pindah ke kelas dua atau kelas tiga yang tarifnya lebih murah.
Jika ruang tunggu biasa dibuat nyaman maka orang kaya tidak lagi tertarik menggunakan ruang tunggu eksekutif. Jika kereta kelas dua dilengkapi fasilitas bagus, penumpang eksekutif akan pindah.
Ini adalah bagian dari upaya memperbesar selisih antara layanan biasa dan layanan terbaik. Hal itu diperlukan agar konsep price-targeting (harga terarah) tercapai.
Pada intinya, price targeting adalah penetapan harga yang berbeda dengan berdasarkan pada asumsi kesediaan membayar yang berbeda dari tiap-tiap kelompok konsumen. Orang yang peka harga diberi tawaran harga ekonomis, sedangkan orang yang bersedia membayar lebih diberi kesempatan untuk membayar lebih mahal.
Penetapan semacam ini bukan tanpa masalah. Mudah membuat orang yang peka harga menjauh dari produk yang diberi banderol harga tinggi. Namun, tidak mudah mencegah orang berduit untuk tidak memilih produk murah. Kalau orang berduit justru memilih produk yang murah, itu disebut terjadi kebocoran dalam price targeting. Sasaran tidak tercapai.
Untuk mencegah kebocoran semacam itu, menjaga agar orang berduit memilih produk yang lebih mahal, disusunlah bermacam strategi anti kebocoran. Salah satu contohnya, menurut buku itu, adalah memperbesar selisih fasilitas dalam kereta api di Inggris seperti paparan di atas.
“Orang miskin menjadi korban, bukan karena niat menyakiti mereka, melainkan untuk menakut-nakuti orang kaya,” begitu salah satu kesimpulan sangat lugas dan tajam pada salah satu bagian buku ini.
***Trik supermarket
Contoh lebih nyata dipaparkan Harford dalam kasus supermarket. Mereka kadangkala membuat produk dengan kemasan jelek. Bukan karena memreka tidak bisa membayar desainer yang bagus. Namun mereka sengaja menggiring konsumen yang memiliki uang lebih agar membeli produk lain dengan harga yang lebih tinggi –kendati isinya sebenarnya sama saja.
Para pengelola supermarket juga menata dagangan sedemikian rupa agar pembeli sulit sekali membanding harga barang yang mirip-mirip. Kadang sengaja dipisahkan jauh atau dicampuraduk dengan produk lain yang sulit diingat.
Cara dan waktu dalam menentukan harga diskon—seperti yang kita amat menjelang Lebaran—dibuat acak sedemikian rupa agar pembeli susah mengenali polanya.
Ada satu trik sangat menarik yang dipaparkan Harford. Dia mengamati orang yang ingin hemat cenderung memilih toko atau supermarket yang lebih kumuh. Padahal, menurut penelitiannya, untuk produk yang sama, harga yang ditetapkan oleh supermarket yang relatif kumuh sama saja dengan harga di supermarket yang megah dan mewah. Bedanya, supermarket yang megah menyajikan lebih banyak pilihan barang yang lebih mahal.
Jadi, kalau hasilnya adalah belanja di supermarket yang mewah menghabiskan lebih banyak uang, itu terjadi bukan karena kesalahan memilih lokasi belanja, melainkan karena kurangnya pengendalian diri dan ketelitian si pembeli. Dia menyarankan pembeli untuk lebih jeli dan teliti, alih-alih memilih lokasi belanja yang murang bagus.
***Tidak sederhana
Banyak konsumen yang begitu lugu memandang bahwa barang yang lebih mahal pasti lebih bagus. Seperti orang Jawa bilang ana rega ana rupa. Arti harfiahnya adalah ada harga ada rupa.
Maksudnya, dari sisi konsumen berharap bahwa harga yang dibayarkan sebanding dengan nilai yang diberikan oleh apa yang dibelinya. Kalau mau barang bagus belilah yang mahal. Kalau tidak mau mengeluarkan banyak uang silakan nikmati barang bermutu rendah.
Dalam dunia yang semakin canggih dan rumit ini, rumus sederhana itu sering tidak berlaku. Yang diperlukan adalah konsumen cerdas yang dapat memilah dan memilih secara teliti sebelum membeli.
Buku karangan mantan editor Financial Times ini semacam buku wajib untuk konsumen. Buku ini memberikan penjelasan gamblang tentang persoalan ekonomi sederhana yang kita hadapi sehari-hari baik sebagai konsumen maupun sebagai warga negara.
Paparan yang bergaya jurnalistik itu mudah dicerna dan dimengerti. Bahasanya tidak rumit, tidak menggurui, tidak menggunakan teori-teori ekonomi yang ruwet. Namun, apa yang disampaikannya sangat mengena dan mampu menyadarkan pembacanya untuk menjadi konsumen yang ‘lebih cerdas’.
Buku Detektif Ekonomi yang dijual dengan harga Rp60.000 ini terdiri atas sepuluh bab. Ada bab yang membahas persoalan sehari-hari sebagai konsumen, misalnya mengenai penetapan harga kopi di stasiun Waterloo, serta rik-trik penetapan harga di supermarket.
Ada juga yang mengupas masalah globalisasi, serta kesenjangan antarnegara, termasuk bagaimana China menjadi kaya. Hampir semua bagiannya sangat menarik. Uraiannya mengenai teori permainan dan lelang frekuensi sangat mengena.
Penjelasan mengenai kerugian yang diderita orang lain ketika kita naik mobil di kota yang macet, serta bagaimana cara menghitung kompensasinya, sangat penting disimak. Paparannya tentang harga mobil bekas dan asuransi yang mengandalkan “kesaling-tidak-tahuan” amat memikat.
Buku dengan judul asli The Undercover Economist ini merupakan bacaan segar yang penting bagi konsumen yang ingin lebih cerdas dan belajar ilmu ekonomi dengan cara sederhana. Sayangnya buku ini dikemas dengan cover yang pas-pasan, tidak seindah isinya. Saya jadi ingat petuah: don’t judge the book from the cover.
Bagaimana kaitan harga frekuensi dengan tarif layanan?
Dalam buku karangan Tim Harford berjudul Detektif Ekonomi (judul asli The Undercover Economist) saya menemukan paparan sangat menarik mengenai lelang frekuensi 3G di Inggris. Pada bab VII berjudul Orang yang Tahu Nilai di Balik yang Tidak Berharga, Harford secara panjang lebar mengulas teori lelang dan teori permainan.
Contoh kasus yang memikat adalah lelang frekuensi 3G di Inggris yang dianggap salah satu lelang paling sukses di dunia modern. Lelang frekuensi 3G di Inggris berlangsung alot dan menghasilkan dana 22 miliar pound sterling bagi pemerintah, sebuah nilai yang sangat besar.
Ada dua pertanyaan utama yang mengiringi lelang yang berlangsung pada tahun 2000 dan menjadi benchmark bagi lelang 3G di seluruh dunia. Pertama, apakah biaya frekuensi yang begitu besar membuat tarif layanan ke konsumen menjadi mahal? Pertanyaan kedua, apakah setoran yang begitu besar tidak akan membuat operator telekomunikasi kelebihan beban atau bahkan bangkrut?
Harford menyimpulkan bahwa biaya lisesni hasil lelang tidak berpengaruh terhadap tarif yang dibebankan konsumen. Menurut dia, hal yang lebih dominan dalam menentukan tarif layanan adalah persaingan dan kuasa kelangkaan (the power of scarcity).
Dengan lima operator yang mendapatkan lisensi 3G (empat di antaranya operator yang sudah mapan), dia berpendapat ada banyak pilihan bagi konsumen. Tidak ada kelangkaan layanan 3G di pasar. Sehingga biaya frekuensi yang dibayarkan kepada pemerintah tidak berpengaruh signifikan terhadap tarif ke konsumen. Secara ekstrem dia membandingkan seandainya pemerintah menggratiskan frekuensi, toh operator tidak akan menggratiskan layanan. Bahkan, kalau pemerintah membayar operator agar mendapatkan frekuensi, operator juga tidak akan membayar kepada konsumen.
Adapun mengenai kebangkrutan, Harford menyatakan sektor telekomunikasi memang menghadapi masalah yang berat sepanjang tahun 2000-2002 karena pasar saham yang sedang terpukul. Namun, dia beralasan sebagian besar perusahaan yang mengalami masalah serius pada masa itu (seperti NTL dan Telewest) bukanlah pemenang lelang 3G. Para pemenang lisensi, misalnya Vodafone, kendati mengalami pukulan, tetaplah perkasa.
Jadi, menurut Harford, lelang dengan hasil mahal itu tidak menimbulkan beban tambahan untuk konsumen dan tidak menyebabkan operator telekomunikasi bangkrut.
***
Soal yang paling hangat dalam kasus lelang frekuensi adalah WiMax. Benarkah hasil lelang yang 10 kali di atas harga penawaran awal akan membuat biaya Internet pita lebar nirkabel itu tidak bisa murah? Atau akankah biaya itu membuat operator (dan calon operator) bangkrut??
Dalam kondisi seperti apa nilai lelang WiMax itu berpengaruh signifikan terhadap tarif Internet ke konsumen? Dalam kondisi apa operator WiMax bisa bangkrut gara-gara biaya lisensi itu?
Label:
3G,
frekuensi,
seluler,
telekomunikasi,
tim harford
13 Agustus 2009
Ketika pengetahuan dikalahkan mitos
Candi Prambanan adalah produk nyata yang bisa kita lihat, namun cerita yang lebih berkembang dari mulut ke mulut mengenai proses pembangunannya adalah mitos tentang pria perkasa Bandung Bondowoso yang membangun 999 candi dalam satu malam karena permintaan Roro Jonggrang. Bagaimana mungkin popularitas mitos justru mengalahkan kenyataan?
***
Ini cerita tentang tiga wajah Kedu dikaitkan dengan waktu. Kedu masa kini, Kedu zaman penjajahan Belanda, serta Kedu pada 14 abad yang lalu.
Kedu masa kini adalah nama sebuah desa dan kecamatan di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Posisinya antara Kota Temanggung dan Parakan. Kecamatan Kedu terdiri atas 13 desa dengan ibukota kecamatan di Desa Kedu.
Di daerah ini ada ayam unik yang disebut ayam cemani. Ayam cemani galur murni memiliki ciri khas serba hitam. Bulunya hitam, kulitnya hitam, jenggernya hitam. Konon, tulangnya pun hitam.
Di desa Kedu inilah pada tanggal 8 bulan 8, Densus 88 membekuk orang yang kemudian diumumkan sebagai Ibrohim, pengurus bunga di hotel Ritz Carlton. Selama satu pekan terakhir nama Kedu selalu muncul dalam pemberitaan di televisi karena kasus kekerasan yang mengatasnamakan perjuangan agama serta dibumbui dengan ledakan.
Adapun Kedu pada masa akhir penjajahan Belanda adalah nama sebuah karesidenan di sisi selatan Jawa Tengah. Bagian timur Karesidenan Kedu berbatasan dengan Yogyakarta, sedangkan sisi barat berbatasan dengan Banyumas.
Wilayah eks-karesidenan Kedu meliputi Kabupaten Temanggung, Kabupaten Magelang, Kota Magelang, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Purworejo, serta Kabupaten Kebumen.
Wilayah yang ditandai dengan nomor polisi kendaraan dengan awalan AA ini secara ekonomi tidaklah menonjol di Jawa Tengah. Namun secara politik, posisinya cukup penting mengingat Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo serta Wakil Gubernur Rustriningsih berasal dari eks-karesidenan Kedu.
Pada pemilu legislatif lalu, eks-karesidenan Kedu—minus Kebumen—masuk dalam Dapil Jateng VI. Anggota parlemen yang terpilih dari daerah ini antara lain Angelina Sondakh, Catur Sapto Edy, serta Abdul Kadir Karding.
***
Wajah ketiga adalah Kedu di masa lalu. Bagi saya inilah yang paling menarik. Kedu adalah nama yang memiliki sejarah panjang di Tanah Jawa. Mungkin salah satu yang tertua yang tercatat dalam sejarah. Di sanalah, konon, kerajaan Mataram Lama berpusat.
Selama tiga abad, penguasa Mataram Lama memimpin peradaban di Jawa sebelum munculnya generasi baru yang dipelopori Mpu Sindok di Jawa Timur, 1.000 tahun yang lalu.
Prasasti Kedu yang dibuat pada masa Dyah Balitung memuat silsilah raja-raja Mataram Lama dari Sanjaya, Panangkaran, Panunggalan, Warak, Garung, Pikatan, Kayuwangi, Watuhumalang, hingga Dyah Balitung.
Prasasti Canggal di Magelang menyatakan bahwa kerajaaan Mataram Lama didirikan oleh Sanna. Dua wangsa yang paling populer adalah Wangsa Syailendra dan Wangsa Sanjaya. Peninggalan paling prestisius dari Mataram Lama adalah Candi Prambanan dan Candi Borobudur.
Pada akhir abad X, kerajaaan Mataram yang berpusat di (eks-karesidenan) Kedu berakhir setelah tiga abad yang mengesankan. Selama lima abad berikutnya, kekuasaan di Jawa berpusat di Jawa Timur melalui Mpu Sindok, Airlangga, Jenggala, Kediri, Singasari, maupun Majapahit. Pusat kekuasaan kembali ke Jawa Tengah melalui kerajaan Demak pada abad XV yang diteruskan oleh Pajang dan Mataram Baru. Tetapi tidak pernah kembali ke Kedu.
***
Para sejarawan berpendapat kerajaan yang berpusat di (eks-karesidenan) Kedu itu runtuh karena dua faktor. Faktor pertama adalah konflik dalam keluarga kerajaan yang melibatkan sentimen keagamaan, yaitu Hindu Syiwa dan Budha. Faktor lainnya adalah letusan Gunung Merapi, salah satu gunung api paling aktif dunia. Begitu dahsyatnya letusan Merapi pada akhir abad X atau awal abad XI itu sehingga menguburkan candi Borobudur.
Kita melihat mencuatnya nama Kedu dalam satu pekan terakhir juga disebabkan dua faktor yang mirip: konflik yang membawa-bawa nama agama, serta letusan (bom).
Mengemukanya nama Kedu menyisakan pertanyaan menarik tentang peradaban masa lalu yang begitu hebat. Kita sulit membayangkan bagaimana insnyur-insinyur di (eks-karesidenan) Kedu ini pada abad VII dan VIII mampu membuat bangunan dari batu yang begitu besar seperti Borobudur dan Prambanan.
Bangsa pernah memililiki teknologi tinggi pada zamannya, pengetahuan tinggi yang bahkan sulit untuk ditiru hingga saat ini. Bagaimana menyusun dan merekatkan batu-batu besar hingga mampu bertahan selama ratusan tahun? Apa alat trasportasi yang digunakan untuk membawa gelondongan batu-batu besar itu?
Pertanyaan utama adalah ke manakah teknologi dan peradaban begitu tinggi yang ditinggalkan oleh para insinyur itu.
Ah, sayang sekali bahwa para empu dan insinyur di masa lalu itu tidak bisa mendokumentasikan kesaktiannya sehingga dapat dengan mudah diwarisi oleh generasi yang lebih muda. Sayang mereka belum menerapkan apa yang belakangan ini populer sebagai knowledge management, dokumentasi pengetahuan, serta transfer pengetahuan dengan cara-cara yang mudah.
Kalau kita cermati, Prambanan adalah produk nyata yang bisa kita lihat, namun cerita yang lebih berkembang dari mulut ke mulut mengenai proses pembangunannya adalah mitos tentang pria perkasa Bandung Bondowoso yang membangun 999 candi dalam satu malam karena permintaan Roro Jonggrang. Ini mitos tentang pria yang dikecewakan wanita, mirip cerita Sangkuriang di Jawa Barat. Bagaimana mungkin popularitas mitos justru mengalahkan kenyataan.
Bagi saya pribadi, daripada membahas peristiwa dar-der-dor yang penuh duga-duga di Kedu, lebih menarik merangkai sejarah mengenai teknologi masa lalu di daerah ini yang ikut lenyap bersama runtuhnya peradaban Mataram Lama. Mari merdekakan diri dari mitos.
*) Versi ringkas tulisan ini dimuat di Bisnis Indonesia edisi 15 Agustus halaman 12
Label:
borobudur,
cemani,
kedu,
knowledge management,
merapi,
mitor,
pengetahuan,
teror
11 Agustus 2009
Kehilangan salah satu media darling
Tadi malam saya sempat ikut acara dinner spesial. Ini adalah dinner terakhir bagi Pak Johnny Swandi Sjam (JSS) dalam kapasitasnya sebagai Direktur Utama Indosat. Hari ini, 11 Agustus, saat serah terima jabatan, Pak JSS mengakhiri karirnya pada operator telekomunikasi kedua terbesar di Indonesia itu.
Pada kesempatan dinner itu saya didaulat mewakili teman-teman wartawan untuk menyerahkan kenang-kenangan. Konon karena saya adalah wartawan yang paling lama mengenal Pak JSS di antara belasan wartawan yang hadir malam itu. Sudah pasti bahwa saya bukanlah yang paling tua, umur saya baru 34, tapi mungkin benar bahwa sayalah yang mengenal beliau paling awal.
Saya kenal Pak JSS pada 2001 atau 2002 ketika heboh-heboh lisensi VoIP. Beliau adalah pejabat di Indosat yang menangani penerapan VoIP. Kalau tidak salah jabatannya setingkat VP. Lalu tak lama kemudian, ketika Indosat dapat lisensi telepon saluran tetap, pria Minang itu dapat tugas memimpin proyek penggelarannya. VoIP dan fixed line Indosat adalah isu sangat menarik ketika itu. Apalagi saat itu belum banyak koran harian yang punya rubrik TI.
Perkenalan paling intens adalah ketika Pak JSS jadi direktur Satelindo dan kemudian menjadi direktur utama sebelum operator seluler itu dimerger vertikal dengan IM3 dan Indosat.
Setelah Pak JSS kembali ke Indosat, intensitas komunikasi turun. Apalagi setelah itu saya tidak banyak liputan TI lagi. Meski begitu, di antara semua direktur utama Indosat yang saya kenal (Pak Hari Kartana, Pak Widya Purnama, Pak Hasnul, Pak JSS), ya beliau inilah yang secara personal, bagi saya, punya keterikatan paling dekat. Paling tidak ucapan selamat Lebaran, selamat berpuasa, say hello, masih terus mengalir.
Ketika ada pengumuman mengenai pergantian jabatan Dirut Indosat beberapa bulan lalu, saya langsung merasa bahwa salah satu “media darling” akan pergi. Tetapi kalau diingat bahwa usia Pak JSS masih muda (49 tahun pada Sabtu besok), ditambah lagi pernyataanya bahwa dunianya adalah dunia TI, saya kira masih akan mudah menemukan kiprahnya di masa-masa yang akan datang. Entah di mana dan apa posisisnya. Ya semoga Pak JSS menemukan tempat berkiprah yang semakin bermakna. Selamat umrah Pak.
Foto dari Mira Putri Wardhani
09 Agustus 2009
Cerita Kedu di masa lalu
Kedu memiliki akar sejarah yang panjang. Mungkin salah satu yang paling panjang di Tanah Jawa. Di sanalah, konon, negeri Mataram Lama bercokol.
Di tempat itulah Pikatan, Panangkaran, Syailendra, serta keturunannya membangun peradaban yang luar biasa pada abad VII, 14 abad yang lalu. Sebagian peninggalan dari generasi itu, sekaligus bukti peradaban yang tinggi, adalah candi Borobudur dan candi Prambanan.
Kedu pada jaman penjajahan Belanda adalah ibukota karesidenan. Karesidenan itu meliputi Kabupaten Temangggung, Kabupatan Wonosobo, Kota Magelang, Kabupaten Magelang, Kabupaten Purworejo, serta kabupaten Kebumen.
Nomor polisi kendaraan di eks karesidenan Kedu diawali dengan AA. Pada Pemilu Legislatif yang baru lalu, sebagian daerah ini, kecuali Kebumen, masuk ke Dapil Jateng VI.
Ada ayam khas daerah Kedu yang serba hitam. Namanya ayam cemani. Bulunya hitam, kulitnya pun hitam, jenggernya juga hitam. Serba hitam. Konon, tulangnya pun hitam.
Pada 2006, ketika melintas Kedu dari temanggung ke arah Parakan, saya bersama keluarga sempat membeli beberapa ekor ayam cemani muda.
***
Pada tanggal 8 bulan 8, Densus 88 membekuk apa yang diduga sebagai para pengebom. Pengebom itu terkait erat dengan kamar 18-08 hotel JW Marriot yang rebut-ribut tanggal 17 Juli lalu.
Bagi saya, daripada mengikuti berita dar der dor yang berisi duga1, dikalikan duga2, dikalikan duga3, lalu dirangkai menjadi duga pangkat delapan, lebih asyik menyimak kembali cerita Kedu masa lalu.
Lebih enak menyimak bagaimana Sannaha, Pikatan dan keturunannya membangun daerah yang kini secara politis ekonomis itu tidak lagi memiliki posisi kuat.
Lebih menarik mencari-cari tautan yang hilang (missing link) antara hancurnya kekuasaan Mataram Lama pada abad X dan hadirnya kekuasaan baru di Jawa Timur pada abad XI di bawah Mpu Sendok.
Silsilah antara Mpu Sendok yang dilanjutkan oleh Airlangga, lalu pecah menjadi Jenggala dan Kediri, diwarisi oleh Singasari, lalu Majapahit, hingga Pajang, Mataram, Surakarta dan Yogyakarta dapat dilacak dengan mudah. Akan tetapi kaitan antara raja Mataram Lama terakhir dengan Mpu Sendok sulit dilacak.
Ah Kedu, lebih menarik ceritamu tentang masa lalu.
05 Agustus 2009
Pembebasan absurd ala Mbah Surip
Mestinya ini bukan lagu tentang “menggendhong”, melainkan tentang “nggondheli” alias memegangi yang membuat orang tidak bisa bergerak.
***
Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya Black Swan membagi jenis pekerjaan dalam dua kelompok yaitu scalable dan nonscalable.
Gaji seorang karyawan pabrik mudah dihitung berdasarkan jumlah jam kerjanya. Gampang sekali mengetahui batas atas nilai pendapatan dari jenis pekerjaan semacam ini. Omzet pengelola restoran mudah untuk dihitung berdasarkan jumlah tempat duduk yang tersedia. Yang macam ini, masih masuk dalam nonscalable. Harus ada upaya dua kali lipat untuk mendapatkan gaji dua kali lipat (tempat duduk dilipatduakan, atau jam kerja dinaikkan dua kali lipat).
Di sisi lain ada pekerjaan yang scalable. Penambahan usaha yang sedikit (atau bahkan tanpa penambahan sama sekali) meningkatkan pendapatan secara luar biasa. Hal ini, misalnya, terjadi pada pengarang buku serta artis dan penyanyi. Kita sulit membedakan seberapa besar selisih usaha antara pengarang buku yang best seller dan tidak best seller dalam menghasilkan karya. Begitu pula dengan penyanyi yang top dan tidak top.
“Profesi yang scalable hanya baik kalau Anda sukses. Situasinya sangat kompetitif, menghasilkan ketidaksamaan yang luar biasa antara yang sukses dan yang gagal. Disparitas sangat besar antara usaha dan imbalan. Sebagian kecil pemain dapat mengambil kue sangat besar sehingga sebagian besar pemain yang lain hanya kebagian kue sangat sedikit,” papar Taleb dalam buku itu.
***
Mbah Surip yang populer lewat lagu-lagu absurd semacam “Tak Gendhong” itu masuk dalam ranah scalable.
Saya kira sulit membedakan seberapa keras usahanya dalam membuat lagu dan menyanyi antara tahun 1997-an ketika dia belum dikenal luas, dengan upayanya di tahun 2009 ketika ketenaran mulai datang. Apakah lagunya lebih bagus? Apakah kualitas suaranya meningkat?
Jawabnya, hemat saya, pasti tidak. Lagu-lagunya sama-sama absurd. Lagu dan sosoknya tidak beda-beda amat dengan sepuluh tahun yang lalu. Memang belakangan kesibukannya meningkat. Tapi itu terjadi setelah ketenaran sudah datang dan terus meningkat secara akumulatif sehingga dia, konon, kelelahan.
Mbah Surip, tanpa memperbaiki lagunya puluhan kali lipat, tanpa menghasilkan karya yang mutunya meningkat ratusan kali, bisa mendapatkan imbalan yang berpuluh atau beribu kali lipat dibandingkan imbalannya sepuluh tahun yang lalu. Menurut kabar, Mbah Surip mendapat imbalan Rp4,5 miliar per bulan dari ringback tone saja. Ringback tone 'Tak Gendong' digunakan 500.000 pelanggan Telkomsel, 100.000 pelanggan Indosat, dan 70.000 pelanggan Excelcomindo Pratama (XL).
Akan tetapi, inilah karakter dari jenis pekerjaan yang scalable. Dan inilah pula, menurut buku Black Swan, bagian dari dunia extremistan.
***
Saya pertama kali ‘ngeh’ tentang Mbah Surip sekitar dua bulan lalu. Ketika itu saya lihat status seorang teman chatting Gtalk di kantor yang mengutip lagu “Tak Gendhong” disertai foto seorang pria gondrong. Saya tanya tentang pria tua gondrong yang sekilas mirip pemain bola Rudd Gullit itu. Maka mengalirlah penjelasan tentang sang seniman.
Beberapa hari kemudian pagi-pagi saya lihat teve dan muncullah lagu “Tak Gendhong”. Syairnya bagi saya absurd, tidak jelas maksudnya. Klip video yang melengkapi lagu itu berisi sosok gondrong yang seolah-olah tidak terlihat, seperti makhluk halus, sedang memegangi bagian tubuh seseorang. Itu khas gambar seekor hantu yang memegang anggota tubuh seseorang sehingga orang yang bersangkutan tidak bisa bergerak seperti yang dia inginkan.
Melihat gambar itu, saya pikir mestinya ini bukan lagu tentang “menggendhong”, melainkan tentang “nggondheli” alias memegangi yang membuat orang tidak bisa bergerak.
Kata gendhong, bagi saya, punya konotasi tersendiri yang terkait dengan hantu dan makhluk halus. Didesa-desa di Jawa, kalau ada orang menebang pohon besar atau mengusik tempat keramat, sering diiringi munculnya mitos tentang hantu.
Konon, hantu sering marah dan orang harus meminta hantu itu untuk pindah ke tempat lain yang jauh dari manusia. Banyak hantu yang menjengkelkan dan mengajukan macam-macam syarat. Syarat yang umum adalah dia minta digendhong ke tempat baru. Sang dukun biasanya harus mengerahkan segenap tenaga untuk menggendhong si hantu dari tempat asal ke tempat baru, sama beratnya seperti menggendhong orang.
Inilah kesan saya terhadap kata gendhong yang dipakai Mbah Surip dengan klip video yang menyangkut makhluk halus.
***
Kembali ke soal fenomena meroketnya ketenaran orang yang memiliki nama asli Urip Ariyanto itu. Saya kira penjelasan mengenai hal itu dapat samar-samar disimak pada buku Tipping Point karya Malcolm Gladwell.
Ketenaran Mbah Surip beredar secara gethok tular versi modern yang bukan saja mengandalkan mulut melainkan mengandalkan teve, Internet, serta media massa. Dalam epidemi gagasan semacam penyebaran tren, menurut Gladwell, selalu ada komponen berupa para bijak bestari (the mavens), para penghubung (connectors), serta para penjaja (salesperson).
Saya kira, penyokong popularitas Mbah Sirup berhasil mengenali mana-mana elemen dari masyarakat yang mampu bertindak sebagai mavens, connectors, dan salesperson, sehingga berhasil mendongkrak popularitas secara cepat dan luar biasa.
Mereka berhasil menggali keunikan dan mengangkat hal-hal khas (seperti kesederhanaan, penderitaan, gaya apa adanya, orisinalitas, dan sebagainya) yang mampu menarik simpati publik. Bukankah seperti kata Distoyevsky, orang cenderung menghargai penderitaan.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada keluarga dan para pendukung atau pengagum Mbah Surip, saya menilai kepergian beliau juga merupakan pembebasan masyarakat dari lagu-lagu absurd yang bagi saya sulit dimengerti makna dan mutunya.
Semoga Mbah Surip diampuni dosa-dosanya dan bisa ber-hahahaha di dunia lain. Wallahu alam. Mohon maaf kalau ada yang tidak berkenan.
Versi lain tulisan ini dimuat di Bisnis Indonesia edisi 8 Agustus, halaman 12
Label:
black swan,
mbah surip,
scalable,
tipping point
03 Agustus 2009
Mencari nalar China dan nalar India
China memiliki kemampuan meniru yang luar biasa. Kadangkala hanya diperlukan waktu seminggu untuk memalsu produk-produk dengan tingkat kerumitan tinggi. Produk palsu pun seringkali sulit dibedakan dengan produk asli, seperti kata Alexander Theil, Direktur Investigasi General Motors Asia Pasifik. "Kami harus membongkarnya atau melakukan analisis kimia untuk mengetahui bahwa produk itu bukan produk asli."
Pemalsuan bukan hanya terjadi pada produk sederhana. Bahkan juga untuk antarmuka router buatan Cisco Systems. "Jika Anda bisa membuatnya, mereka bisa memalsukannya," kata David Fernyhough, Diretur Perlindungan Merek Hill & Associates Ltd Hong Kong.
Di sisi lain, India memiliki kemampuan memasok ahli-ahli di bidang teknologi informasi dan jasa. Bangalore, Pune, Hyderabad menjadi pusat-pusat penting bagi perusahaan seperti General Electric, Microsoft, SAP, Intel, Texas Instruments, dan lainnya.
Ketika IBM memecat 14.000 karyawan di Eropa Barat, AS dan Jepang, perusahaan itu tetap menambah tenaga kerjanya di India. Di negara itu, Accenture memiliki 14.000 karyawan dan Hewlett Packard memiliki 10.000 karyawan.
Saat sebagian besar orang Amerika tertidur, para profesional keuangan, pemasaran, dan teknologi India menyelesaikan banyak pekerjaan yang menuntut keahlian bagi perusahaan AS.
***
Uraian lengkap mengenai hal-hal di atas dapat kita temui dalam buku Chindia: Strategi China dan India Menguasai Bisnis Global karya Pete Engardio. Saya beli buku itu di Gramedia Bandung pada Sabtu lalu. Buku ini berisi cerita panjang tentang China dan India. Dua negara yang kalau jumlah penduduknya digabungkan akan mewakili sepertiga dari warga Bumi.
Paparan dalam buku seharga Rp125.000 ini bergaya jurnalistik. Populer namun sarat dengan data. Pilihan judul, pemenggalan bab dan subbab, semuanya khas laporan sebuah majalah. Memang pada dasarnya ini adalah versi panjang dari laporan komprehensif majalah Business Week.
Setiap premis utama selalu ditunjang dengan banyak bukti. Bahkan, saya kira, terlalu banyak bukti yang membuat seolah-olah terjadi banyak pengulangan pembahasan dalam buku setelah 446 halaman ini.
Sayangnya, dengan gaya uraian seperti itu, saya merasa akar kekuatan China dan India kurang tergali. Memang ada sangat banyak paparan mengenai keunggulan dan kehebatan dua negara itu beserta ciri khasnya masing-masing. Namun saya gagal menemukan akar penyebabnya di luar satu bab tentang Tantangan Pendidikan.
Saya merasa sulit menemukan model penguatan diri yang dapat ditiru oleh negara lain dengan penduduk yang sangat banyak di tengah belitan kemiskinan seperti Indonesia. Gambar besar proses menuju kondisi saat ini tidak terpapar dengan baik. Sebagian besar buku ini bercerita tentang apa yang sedang terjadi, bukan apa di balik yang terjadi atau bagaimana hal itu menjadi mungkin terjadi.
Buku ini terdiri atas 11 bab. Bagi saya, bagian yang paling menarik adalah Bab III Paradigma Global Baru, Bab IV Model Korporasi Baru, lalu Bab VI Lompatan ke Depan, BabVIII Tantangan Pendidikan, serta BabXI Tantangan Kompetitif Baru.
****
China dan India memiliki keunggulan yang serupa yaitu tenaga kerja yang murah. Begitu murahnya sehingga jika gaji tenaga kerja di China dan India dinaikkan 10% tiap tahun, dalam 20 tahun ke depan nilainya belum akan menyamai gaji tenaga kerja dengan kemampuan serupa di AS.
China menikmati ledakan investasi yang sangat tinggi sehingga mampu membangun menara-menara perkantoran, hotel mewah, jalan tol, terminal, pusat perbelanjaan dengan mencengangkan. Negara itu juga membangun pabrik-pabrik modern di bidang petrokomia, silikon, mobil, baja, kapal, dan barang padat modal lain.
Adapun pasar India tidak sebesar China. Pendapatan per kapita India hanya sepertiga China. Konsumen India lebih suka barang berkualitas dengan harga murah. "Siapa pun yang mampu menjual jasa global dengan harga India, dia bisa bersaing di mana saja."
India tidak sanggup membangun menara-menara kemewahan seperti dilakukan China. China sangat kuat dalam manufaktur termasuk baja, mobil, kimia, serta semikonduktor dan elektronika, sementara India sangat kuat dalam industri peranti lunak, jasa dan desain. Banyak perangkat dengan tulisan depan "made in China" di dalamnya mengandung peranti lunak dan teknologi multimedia buatan India.
China dan India memiliki tantangan kependudukan yang berbeda. China dalam 20 tahun ke depan akan memiliki 300 juta penduduk berusia di atas 60 tahun dan lima per enamnya tanpa jaminan pensiun. Komposisi yang tidak seimbang ini terjadi karena pelaksanaan kebijakan satu anak. India dalam 40 tahun ke depan akan memiliki 1,7 miliar penduduk namun tidak menghadapi masalah serumit China. Pendidikan menjadi masalah serius di India. Negara itu juga menghadapi kesenjangan sosial yang makin lebar.
Keduanya sama-sama menghadapi persoalan ekologis. Pabrik-pabrik di China menghabiskan bahana bakar lima kali lipat dari pabrik serupa di Barat. Sebanyak 20% kredit bank di China macet.
India yang membangun dengan kekurangan, lebih efisien. Akan tetapi India mengalami kekurangan investasi dari luar negeri sehingga tidak mampu membangun infrastruktur megah seperti halnya China. Tingkat polusi di berbagai kota India juga sangat tinggi.
China dan India sama-sama memiliki problem birokrasi. Di China, intervensi pemerintah dan partai terlalu kuat, sementara di India aturan yang sangat keras dan ketat membatasi gerak investor.
***
Judul buku ini saya rasa kurang lengkap. Mestinya judul yang dipakai adalah Chindias: China, India, serta AS. Sebab, hampir semua pembahasan mengenai China dan India dikaitkan dengan pengaruhnya terhadap AS.
China dan India sama-sama mendapat limpahan pekerjaan dari AS. Manufaktur yang menjadi keunggulan China, mewakili 14% keluaran dan 11% serapan tenaga kerja AS. Adapun jasa yang menjadi keunggulan India, mewakili 60% ekonomi AS dan dua per tiga serapan tenaga kerja.
Keduanya sama-sama memiliki tenga ahli dengan IQ tinggi dan rela dibayar murah. Tenaga kerja India memiliki keunggulan dalam Bahasa Inggris dibandingkan tenaga kerja China.
Ada paparan sangat menarik dalam buku yang mengungkapkan bagaimana sudut pandang India dan AS bisa bertabrakan dalam merespons perkembangan industri teknologi informasi. Pete Engardio menggambarkan bagaimana perjalanan seorang anak muda India mendapatkan order dan pekerjaan di bidang TI dari AS. Sementara di sisi lain, digambarkan bagaimana anak muda di AS, yang juga kuliah di bidang teknologi informasi, pada saat yang bersamaan justru kehilangan peluang gara-gara 'serbuan' tenaga kerja India baik dalam bentuk fisik maupun outsourcing secara online.
Apakah itu berarti China dan India akan menjadi adidaya baru dan AS harus bersiap-siap menjadi calon "negara dunia ketiga" baru?
Engardio menghibur publik AS dengan menyatakan bahwa prediksi di atas kertas seringkali tidak sesuai dengan kenyataan. Prediksi serupa pernah juga dilekatkan ke Jepang pada dekade 1980-an. Prediksi negatif juga pernah dilekatkan ke Inggris pada dekade 1970-an. Tetapi yang terjadi pada Jepang tidak sehebat yang diperkirakan dan yang terjadi pada Inggris tidak seburuk yang dikhawatirkan.
Halaman di bagian akhir buku ini ditutup dengan rekomendasi bagi AS bagaimana mempertahankan diri terhadap serbuan China dan India.
Hal yang harus dilakukan oleh AS, menurut Pete Engardio, antara lain orang AS perlu menabung lebih banyak agar tidak bergantung pada pnjaman luar negeri; mencoba taktik baru menjinakkan yuan; menerapkan aturan perdagangan dengan lebih agresif misalnya untuk ; melindungi industri kecil; memperketat perlingdungan hak atas kekayaan intelektual; serta membuka kembali kesepatakan WTO.
(mudah-mudahan bisa bersambung, terutama dengan ulasan mengenai Tantangan Pendidikan)
02 Agustus 2009
Jumpa ketiga
Pekan lalu saya dipanggil kembali oleh Pak Menristek. Pertemuan kali ini menjadi pertemuan ketiga dalam jangka waktu satu pekan. Lebih intensif daripada bimbingan tugas akhir saya kira, hehehe.
Pak Menteri membawa saya masuk ke ruang pribadinya. Di sana ada meja dengan banyak buku di atasnya. Di sebelahnya ada almari. Dari tepi jendela kita bisa melihat pemandangan ke arah monas.
Kali ini kami ngobrol hanya berdua saja. Seolah-olah seperti perwalian jaman kuliah dulu. Beliau bercerita sangat terbuka tentang keluarganya, anak, cucu. Juga tentang perjalanan karirnya, mengapa memilih berhenti dari ITB. Beliau paparkan pengalamannya terpilih jadi dosen teladan ITB yang berpeluang menjadi profesor termuda, namun kemudian jalur kepangkatannya justru macet.
Sebagian cerita beliau sudah dapat disimak pada buku “Bentang Ego, Alunkan Simfoni,” sehingga saya berani tulis di blog ini. Akan tetapi, bagi saya, jelas berbeda mengetahui cerita dari buku dengan mendengar langsung oleh tokoh yang menjadi inti cerita.
Ada banyak hal yang beliau ceritakan dan beliau tanyakan dalam pertemuan yang berlangsung sekitar satu jam itu. Bagi saya ini hal yang sangat mengesankan dan sulit dilupakan. Sebagai orang yang pernah kuliah di Jurusan Teknik Fisika ketika beliau menjadi dosen, ini seperti perwalian sesungguhnya, dalam bentuk yang lain.
Saya merasa beliau sedang berusaha “membombong” hati saya yang sering mengkeret sekecil menir dan minder itu. Saya merasa bahwa beliau berharap saya bisa berprestasi baik, beliau mencoba mengungkit hal-hal yang mungkin selama ini tersembunyi dan tidak mampu saya lihat sendiri.
Pada kesempatan itu, Pak Menteri memberi saya hadiah sebuah baju batik motif fractal warna biru, dua buah buku, serta dua buah CD musik. Terima kasih banyak Pak Kus untuk segala sesuatunya.
Label:
KK,
kusmayanto,
kusmayanto kadiman,
menristek,
mentor,
perwalian,
rektor,
rektor itb,
teknik fisika
Langganan:
Postingan (Atom)