24 Agustus 2009

Bagaimana kaitan harga frekuensi dengan tarif layanan?


Dalam buku karangan Tim Harford berjudul Detektif Ekonomi (judul asli The Undercover Economist) saya menemukan paparan sangat menarik mengenai lelang frekuensi 3G di Inggris. Pada bab VII berjudul Orang yang Tahu Nilai di Balik yang Tidak Berharga, Harford secara panjang lebar mengulas teori lelang dan teori permainan.

Contoh kasus yang memikat adalah lelang frekuensi 3G di Inggris yang dianggap salah satu lelang paling sukses di dunia modern. Lelang frekuensi 3G di Inggris berlangsung alot dan menghasilkan dana 22 miliar pound sterling bagi pemerintah, sebuah nilai yang sangat besar.

Ada dua pertanyaan utama yang mengiringi lelang yang berlangsung pada tahun 2000 dan menjadi benchmark bagi lelang 3G di seluruh dunia. Pertama, apakah biaya frekuensi yang begitu besar membuat tarif layanan ke konsumen menjadi mahal? Pertanyaan kedua, apakah setoran yang begitu besar tidak akan membuat operator telekomunikasi kelebihan beban atau bahkan bangkrut?

Harford menyimpulkan bahwa biaya lisesni hasil lelang tidak berpengaruh terhadap tarif yang dibebankan konsumen. Menurut dia, hal yang lebih dominan dalam menentukan tarif layanan adalah persaingan dan kuasa kelangkaan (the power of scarcity).

Dengan lima operator yang mendapatkan lisensi 3G (empat di antaranya operator yang sudah mapan), dia berpendapat ada banyak pilihan bagi konsumen. Tidak ada kelangkaan layanan 3G di pasar. Sehingga biaya frekuensi yang dibayarkan kepada pemerintah tidak berpengaruh signifikan terhadap tarif ke konsumen. Secara ekstrem dia membandingkan seandainya pemerintah menggratiskan frekuensi, toh operator tidak akan menggratiskan layanan. Bahkan, kalau pemerintah membayar operator agar mendapatkan frekuensi, operator juga tidak akan membayar kepada konsumen.

Adapun mengenai kebangkrutan, Harford menyatakan sektor telekomunikasi memang menghadapi masalah yang berat sepanjang tahun 2000-2002 karena pasar saham yang sedang terpukul. Namun, dia beralasan sebagian besar perusahaan yang mengalami masalah serius pada masa itu (seperti NTL dan Telewest) bukanlah pemenang lelang 3G. Para pemenang lisensi, misalnya Vodafone, kendati mengalami pukulan, tetaplah perkasa.

Jadi, menurut Harford, lelang dengan hasil mahal itu tidak menimbulkan beban tambahan untuk konsumen dan tidak menyebabkan operator telekomunikasi bangkrut.

***
Soal yang paling hangat dalam kasus lelang frekuensi adalah WiMax. Benarkah hasil lelang yang 10 kali di atas harga penawaran awal akan membuat biaya Internet pita lebar nirkabel itu tidak bisa murah? Atau akankah biaya itu membuat operator (dan calon operator) bangkrut??

Dalam kondisi seperti apa nilai lelang WiMax itu berpengaruh signifikan terhadap tarif Internet ke konsumen? Dalam kondisi apa operator WiMax bisa bangkrut gara-gara biaya lisensi itu?

Tidak ada komentar: