31 Januari 2010
Menanti diary petinggi negeri
Membaca catatan harian seperti yang ditulis Zlata, Anne Frank, Wahib, atau Soe Hok Gie, membawa kita menghayati apa yang bergolak dalam diri mereka maupun suasana yang berkembang di sekitarnya. Hal itu juga membuat kita mengerti bagaimana mereka mengambil keputusan.
***
“Bapak mengajukan pemikiran yang agak nakal terkait bail out Bank Century. Apakah Bapak kecewa tidak memenangkan perdebatan dalam rapat itu,” demikianlah kurang lebih salah satu pertanyaan anggota Pansus Angket Century DPR terhadap Marsillam Simandjuntak.
Marsillam yang mantan kepala Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi hanyalah satu dari banyak pejabat tinggi yang dipanggil sebagai saksi dalam sidang yang digelar berhari-hari oleh pansus itu.
Banyak pertanyaan lain dengan pola serupa yang diajukan kepada para saksi seperti “Apakah yang Anda pikirkan ketika itu”, “Apa posisi Saudara saat itu”, “apakah Saudara menyesal” dan sebagainya.
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini mengingatkan saya mengenai isi diary dan kaitannya dengan jabatan politis seseorang.
Mengacu pada kategorisasi yang dibuat Nassim Nicholas Taleb dalam Black Swan, pekerjaan yang terkait dengan politik umumnya memiliki tingkat keacakan yang tinggi. Orang yang bekerja dengan tingkat keacakan yang tinggi, paparnya, memiliki peluang besar untuk dihantui oleh penyesalan di masa mendatang.
Para politisi dan pemegang jabatan politis bertindak berdasarkan data, informasi, dan pertimbangan yang tersedia saat itu. Namun, papar Taleb, di kemudian hari politisi sangat berpeluang untuk dihantui oleh rasa menyesal karena mendasarkan pertimbangan baru dengan apa yang diketahui belakangan ketika semua sudah terungkap.
Kalau mengamati seringnya keputusan politik dipersoalkan, tampak sekali bahwa peluang adanya penyesalan itu besar sekali.
Saya tidak ingin mengatakan bahwa para pengambil keputusan dalam kasus Century akan menyesal. Kasus Century diambil hanya sebagai contoh paling hangat bagaimana sebuah keputusan dipersoalkan secara politis dan memaksa orang-orang yang terlibat di dalamnya untuk mengingat kembali dengan detail bagaimana keputusan di masa lalu diambil.
Ada saran sederhana namun sangat mengena dari Nassim Taleb soal cara mengatasi rasa bersalah dan penyesalan saat orang mengambil keputusan penting. Menurut dia, salah satu yang perlu dilakukan orang dengan pekerjaan yang memiliki tingkat keacakan tinggi adalah menulis diary.
Diary adalah catatan pribadi yang ditulis ketika peristiwa itu, pengambilan keputusan penting --yang sangat mungkin berpengaruh besar terhadap nasib diri sendiri, nasib partai, nasib konstituen, nasib negara--dipertaruhkan. Ini berbeda dengan memoar yang seringkali ditulis sekian lama setelah peristiwa terjadi.
Menurut Taleb, menulis diary adalah cara yang tampaknya sederhana, tapi kadangkala terasa berat dilakukan untuk mengobati banyak masalah psikologis, terutama menyangkut tekanan-tekanan yang berat. “Saya sering mendengar psikolog menyarankan orang melakukan terapi diary untuk meringankan beban psikologis pasien,” papar Nasim Taleb.
Bagi orang lain, membaca diary juga membuat orang bisa lebih mengerti, empati, terhadap si penulis. Orang bisa melihat ‘dari dalam’ atau ‘dari sisi sang politisi’ sehingga mudah mengerti mengapa dia mengambil keputusan yang barangkali kontroversial atau tidak populer.
***
Ada beberapa orang yang menjadi sangat terkenal karena memberikan banyak pelajaran kepada publik melalui diary yang ditulisnya. Di Bosnia ada Zlata Filipovic, seorang anak berusia 11 tahun yang tinggal di Sarajevo dan menyaksikan masa-masa pahit perang Bosnia-Serbia.
Catatan-catatan Zlata memberikan prespektif yang orisinil dan otentik dari anak yang sama sekali tidak memiliki kepentingan politik terkait dengan perang dan pembantaian pada dekade 1990-an itu.
Zlata kadang disebut sebagai Anne Frank-nya Bosnia. Keduanya sama-sama masih belasan tahun dan menulis pengalaman pribadi di tengah tragedi kemanusian yang ditimbulkan oleh perang.
Anne Frank adalah anak perempuan Yahudi yang tinggal di Belanda yang keluarganya menjadi korban kekejaman Nazi. Anak yang memiliki nama lengkap Annelies Marie Anne Frank itu dikenang karena catatannya tentang tragedi yang menimpa keluarganya pada periode 1942-1944.
Di Indonesia, setidaknya ada dua anak muda yang menjadi sangat terkenal setelah diary-nya diterbitkan, yaitu Ahmad Wahib dan Soe Hok Gie. Dua-duanya meninggal dunia di usia muda dan catatan hariannya diterbitkan setelah mereka meninggal dunia.
Wahib, yang meninggal pada 1973 dalam usia 31 tahun, dikenang melalui catatan harian yang dibukukan dan diberi judul Pergolakan Pemikiran Islam. Adapun Soe Hok Gie dikenal dengan Catatan Seorang Demonstran.
Membaca catatan harian seperti yang ditulis Zlata, Anne Frank, Wahib, atau Soe Hok Gie, membawa kita menghayati apa yang bergolak dalam diri mereka maupun suasana yang berkembang di sekitarnya. Hal itu juga membuat kita mengerti bagaimana mereka mengambil keputusan-keputusan di saat-saat genting.
Sebenarnya di dunia yang sudah modern dengan banyak peralatan canggih ini upaya menulis diary baik yang terbuka maupun tertutup sangat dimudahkan. Ada blog, microblogging, jaringan sosial, ada komputer, alat perekam suara, perekam gambar, dan sebagainya yang sangat mungkin digunakan sebagai sara untuk menulis diary digital.
Nah, apakah para elite dan pejabat politik kita cukup memiliki waktu untuk menulis diary sehingga suatu saat rakyat --yang hanya melihat aktivitas mereka lewat media massa--bisa menangkap apa yang bergolak dalam hati para elite tersebut ketika mengambil keputusan?
Pasti menarik bisa membaca diary para politisi yang ditulis saat-saat peristiwa penting terjadi atau diputuskan. Sayangnya, yang lebih mudah kita temui adalah memoar yang ditulis belakangan.
28 Januari 2010
Bagaimana mencari gagasan untuk menulis?
Malcolm Gladwell adalah seorang penulis jempolan. Buku-bukunya sangat memikat. Tiga yang populer adalah Tipping Point, Blink, serta Outliers. Artikel-artikel pendeknya juga sangat memikat. Dia bukan hanya mampu menulis dengan baik, namun juga sangat inspiratif. Tidak menggurui namun memberi perspektif baru bagi pembacanya.
Tadi pagi saya menemukan satu buku barunya, What the Dog Saw. Buku terbitan Gramedia Pustaka Utama setebal 460 halaman ini dijual dengan harga Rp80.000.
Saya ingin mengutip pernyataan Gladwell tentang kegiatan tulis-menulis. Khususnya tentang bagaimana dia menemukan ide untuk menulis dan mengembangkan gagasan hingga menjadi tulisan yang memikat. Berikut ini pernyataan dia dalam pengantar buku What the Dog Saw:
“Ketika sedang tumbuh dewasa, saya tidak pernah ingin jadi penulis. Saya ingin jadi pengacara, lalu pada tahun terakhir kuliah, saya memutuskan untuk masuk dunia periklanan. Saya melamar ke 18 biro iklan di kota Toronto dan memperoleh 18 surat penolakan. Saya berpikir untuk kuliah pascasarjana, tetapi nilai saya kurang bagus. Saya melamar beasiswa agar bisa pergi ke tempat eksotis selama 1 tahun dan ditolak lagi.
Akhirnya saya menulis. Setelah cukup lama, baru saya sadar bahwa menulis bisa dijadikan pekerjaan. Pekerjaan itu serius dan berat. Menulis itu asyik.
Setelah kuliah, saya bekerja selama 6 bulan di majalah kecil di Indiana yang bernama American Spectator. Lalu saya pindah ke Washington DC dan menjadi penulis lepas selama beberapa tahun, dan akhirnya masuk The Washington Post—lalu dari sana ke The New Yorker.
Sejak itu, menulis tidak pernah menjadi tidak asyik. Dan saya berharap semangat yang menggebu-gebu itu bisa terasa dalam artikel-artikel saya.
***
Kunci untuk menemukan gagasan (dalam menulis) adalah meyakinkan diri sendiri bahwa semua orang dan segala hal punya cerita. Saya bilang kunci tetapi yang saya maksud adalah tantangan, karena amat sulit melakukannya.
Bagaimana pun naluri kita sebagai manusia adalah menganggap sebagian besar hal tidak menarik. Kita berganti-ganti saluran televisi dan menolak sepuluh sebelum memilih satu. Kita pergi ke toko buku dan melihat 20 novel sebelum membeli satu.
Kita menyusun peringkat dan menilai. Padahal ada begitu banyak hal di luar sana. Kalau mau jadi penulis, Anda harus melawan naluri itu saban hari.
Kunci lain untuk mendapatkan gagasan adalah mengetahui perbedaan antara kekuasaan dan pengetahuan. Dari semua yang akan Anda temui dalam buku ini hanya sedikit yang berkuasa.
Jangan mulai dari atas kalau mau tahu duduk perkara. Mulailah dari tengah, karena orang-orang di tengah lah yang benar-benar bekerja di dunia.
27 Januari 2010
Perbandingan pena & pedang menurut Sartre
Benarkah pena lebih tajam daripada pedang? Jeal Paul Sartre dalam Les Mots (Kata-Kata) menulis pandangannya tentang hidup, termasuk tentang kegiatan tulis menulis. Tentu saja ini tidak bisa dimaknai secara harfiah melainkan perlu dilihat dalam konteks kritik terhadap diri sendiri. Bagaimana pun, ungkapannya tentang kegiatan tulis menulis begitu memikat.
“Menulis adalah suatu kebiasaan sekaligus pekerjaan untukku. Lama sekali kuanggap penaku sebagai pedang. Kini aku sudah tahu para penulis tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi itu tidak penting. Yang penting aku menulis. Aku akan menulis buku-buku. Buku harus tetap ada, harus ada. Karena, bagaimana pun, buku punya faedah. Walaupun pengetahuan luas tidak menyelamatkan apa-apa dan siapa-siapa, itu bukanlah pembenaran (untuk berhenti menulis).
(Buku dan pengetahuan) itu adalah hasil usaha manusia. Manusia membangun citra di sekitar itu dan mencerminkan diri di sana. Pengetahuan memberikan kepada manusia suatu pantulan kritik.”
Prof Alex Lanur menulis bahwa salah satu inti dari Les Mots karya Sartre adalah sebagai berikut:
“Sartre mengakui bahwa seluruh karirnya sudah ditandai dengan keadaan tidak riil yang mendasar. Hal itu tampak dari komitmennya yang mendasar terhadap karya tulis, pengunduran dirinya dari dunia, dan khayalannya bahwa dia dapat menyelamatkan dirinya dengan menulis.
Sebagai seorang anak, dia disanjung dan dipuji banyak orang, namun dia tidak sungguh dimengerti. Dia terlepas dari hubungan dengan anak-anak lain, dan menjalani kehidupan dalam ruang belajar kakeknya.
Mula-mula dia merasa kagum akan buku yang begitu banyak dalam ruang belajar itu. Kemudian dia mulai mengambilnya dan belajar membaca. Sartre sungguh membacanya serta memerankan buku-buku itu. Dan akhirnya, dia menjadi penulis. Les Mots menelusuri pilihan mendasar yang diambilnya untuk hidup lebih dalam buku-buku daripada dalam kenyataan.”
26 Januari 2010
Belajar dari Isaac Asimov
Isaac Asimov adalah seorang penulis fiksi ilmiah yang terkemuka. Dia menulis ratusan buku dalam berbagai topik. Karyanya yang paling terkenal adalah trilogi Foundation yang mendapatkan berbagai macam penghargaan sebagai salah satu serial cerita terbaik dunia. Berikut ini pernyataan Isaac Asimov yang bisa kita baca dalam “Faktor-faktor Prestasi”
Sebenarnya kehidupan saya manis seluruhnya. Sebab, bahkan ketika saya muda, sebelum saya mulai menulis, saya bersiap-siap untuk menulis, bahkan tanpa saya ketahui.
Saya membaca semua buku yang saya perlukan untuk otak saya supaya dapat menulis dengan tepat. Sebagian buku itu saya peroleh dari perpustakaan umum. Dan saya beruntung punya waktu untuk membaca. Saya tidak punya uang. Kami hidup dalam apartemen yang sangat miskin dan dan di lingkungan yang tidak terlalu baik. Tetapi saya tidak pernah menyadari bahwa saya kekurangan.
Saya mempunyai kesempatan untuk membaca dan menikmati sekolah, sehingga kehidupan ini semuanya menyenangkan bagi saya. Dan saya menyadari itu. Itu bagian yang penting. Sangat menyedihkan apabila Anda berbaring di tempat tidur untuk mati dan mengatakan: “Ya, saya mempunyai kehidupan yang baik dan saya tidak pernah menghargainya.”
Sedangkan saya selalu menghargai (hidup yang dianugerahkan pada saya). Tiap langkah dalam perjalanan hidup, saya tahu bahwa saya beruntung. Dan kesadaran itu bahkan lebih penting daripada hanya beruntung (tanpa menyadarinya).
Label:
buku,
isaac asimov,
membaca,
menulis
24 Januari 2010
Pengalaman bersama sepeda listrik Betrix
Setelah melalui banyak keraguan, akhirnya pada Desember lalu kami memutuskan untuk membeli sepeda listrik merek Betrix tipe Ice. Saya coba tulis pengalaman satu bulan bersama Betrix, barangkali berguna bagi pembaca yang tertarik mempertimbangkan sepeda listrik.
***
Ada banyak pertanyaan dan keraguan yang hinggap sebelum kami membeli sepeda listrik: Apakah harga yang hampir Rp5 juta cukup layak? Apakah tidak lebih andal membeli sepeda motor bekas atau sepeda motor China atau sepeda onthel yang bagus sekalian? Apakah jarak tempuhnya memadai? Bagaimana kalau baterai habis di jalan? Apakah mesin, baterai, serta penggeraknya cukup awet dan andal? Dan seterusnya.
Bagi saya, memakai sepeda motor bensin itu ribet. Sebab, harus ada STNK, SIM, helm, dan surat menyurat yang merepotkan. Apalagi untuk orang yang tinggal di lebih dari satu kota seperti saya. Beli di kota A, pakai di kota B. Jika motor dipakai oleh orang lain, misalnya keluarga atau kerabat, yang bersangkutan juga harus punya SIM. Intinya, banyak kerepotan di balik motor.
Sepeda listrik seperti halnya sepeda onthel, tidak perlu surat menyurat. Ini salah satu pertimbangan membeli sepeda listrik. Meskipun harga sepeda listrik hampir sama (atau bahkan lebih mahal dari) sepeda motor China yang baru, namun motor China toh tetap butuh surat-menyurat.
Lain lagi perbandingan dengan sepeda onthel. Sepeda onthel baru dengan kualitas bagus harganya toh hampir Rp2 jutaan (bahkan lebih). Jadi, dengan asumsi sepeda listrik body-nya tidak kalah dari sepeda onthel yang baik, selisih harganya masih cukup masuk akal.
***
Kami memilih sepeda listrik yang bentuknya semirip mungkin dengan sepeda onthel, paling ringan, serta harganya paling murah. Selain tidak ingin dianggap sebagai sepeda motor oleh polisi, pilihan model ini juga mempertimbangkan kemungkinan baterai habis di jalan. (Saya pernah punya pengalaman buruk dengan sepeda listrik bentuk motor yang habis baterai di jalan. Berat betul gowesnya. Tapi itu mereknya bukan Betrix)
Model Ice yang kami pilih memang mirip sekali dengan sepeda onthel. Di belakang ada boncengan panjang, tapi di depan tidak ada keranjang Boncengan belakang agak panjang sehingga saya bisa pasang kursi untuk anak, lalu di belakangnya lagi saya pasang keranjang (hasil pindahan dari sepeda onthel). Kelebihan lain adalah ada lampu depan serta klakson.
Sepeda listrik Betrix dapat dijalankan dengan dua mode. Saya menyebutnya sebagai mode sepeda motor dan mode sepeda onthel. Dalam mode sepeda motor, yang berperan sebagai penentu gerak adalah putaran gas. Gas dikendalikan dengan tangan kanan, mirip dengan gas pada motor.
Mode ini cocok untuk kondisi jalan macet dan rusak yang menutut stop and go. Maju dikit, berhenti lagi, maju lagi dikit, berhenti lagi, dan seterusnya. Ini juga cocok untuk jalan di gang sempit seperti di kota-kota besar.
Mode lain yang saya sebut sebagai mode sepeda onthel adalah pedal assist. Menggunakan mode ini seperti kita naik sepeda onthel biasa dengan tenaga pendorong di belakangnya. Dalam kondisi jalan rata dan sepi, mode ini sangat enak. Persis seperti naik sepeda onthel yang sangat ringan. Untuk melewati tanjakan juga cukup kuat.
Akan tetapi, mode ini sangat berbahaya di jalan macet atau rusak. Masalahnya ada pada respons-nya yang tidak seketika. Ada delay barang 2-3 detik dari saat awal menggowes sehingga kadang kita sudah mau berhenti karena di depan ada kemacetan dia justru tiba-tiba mendorong keras. Dorongan ini seperti diset untuk mencapai kecepatan tertentu yang kita tidak tahu atau di luar ekspektasi pengendara. Akibatnya, dorongan ini kadang terasa keras dan mengagetkan.
Bagi pengguna yang terbiasa dengan sepeda onthel dan tidak terbiasa dengan sepeda motor seperti saya, mode pedal assist sangat menarik. Tapi, ya itu, kalau tidak terbiasa dengan mode lain akan kerepotan saat melewati jalan padat yang macet. Khusus untuk jalan yang sepi dan lancar, kita bisa juga setel cruise control agar kecepatan konstan.
Karena sepeda listrik merupakan barang baru bagi saya, cara penggunaanya pun serba coba-coba. Perlu waktu untuk mengenali bagaimana cara kerja, respons, serta karakteristik mesinnya.
Sejauh ini, pengalaman menggunakan sepeda listrik cukup menyenangkan. Dengan pemakaian rata-rata 10km—15 km per hari, indikator baterai umumnya menunjukkan simpanan tenaga masih banyak (4 bar).
Namun demikian, ada beberapa kelengkapan yang menurut saya perlu diberikan untuk sebuah sepeda seharga Rp4,7 juta itu. Kelengkapan itu di antaranya keranjang depan, spion, serta –kalau memungkinkan—speedometer.
***
Indikator baterai terdiri atas 4 titik. Jika baterai penuh, keempatnya akan menyala. Jumlah lampu yang menyala berkurang seiring berkurangnya tenaga yang tersimpan dalam baterai. Sayangnya, hanya itulah indikator yang bisa kita amati untuk memantau besarnya tenaga yang tersimpan. Saya berharap di masa yang akan datang indikator ini akan lebih kaya informasi.
Lubang kabel untuk ke luar dan masuk dari kotak baterai hanya 1 slot. Ketika mengisi baterai, charger dicolok ke slot ini. Ketika sepeda akan dipakai, kabel yang menghubungkan mesin gantian dicolok.
Dan karena sepeda tiap hari dipakai dan dicharge, maka setiap hari harus lepas pasang kabel ke slot itu. Saya sungguh khawatir cara colok mencolok seperti ini lama-lama akan membuat lubang colokan aus dan dol. Mudah-mudahan pada sepeda listrik generasi mendatang bagian ini diperbarui.
Dalam satu bulan pemakaian, sepeda listrik Ice kami sempat macet. Lampu indikator tidak nyala. Kadang nyala 5 menit lalu mati. Baru jalan 200 meter, mati. Padahal baterai penuh.
Ketika kami bawa ke penjualnya, kotak baterai langsung dilepas dan dibongkar. Ternyata ada connector di dalam kotak baterai yang kendor. Akibatnya, muncul percikan api karena arusnya cukup besar. Lama-lama bagian itu terbakar. Solusinya ya ganti connector, disolder ulang, bayar Rp10.000.
Keluhan lain adalah sedel. Saya berharap sedel standar bisa lebih baik dan lebih nyaman digunakan.
19 Januari 2010
Sulitnya menghentikan e-gethok tular
Maraknya penggunaan jejaring sosial sebagai salah satu elemen penting dalam mempengaruhi kebijakan public menjadi tonggak keberadaan gethok tular electronic atau e-gethok tular. Kasus Bibit-Chandra serta Prita Mulyasari menegaskan hadirnya fenomena itu.
Gethok tular adalah kosa kata Bahasa Jawa yang artinya kira-kira setara dengan penyebaran informasi dari mulut ke mulut alias word of mouth.
Jejaring sosial seperti Facebook awalnya berkembang melalui gethok tular. Seseorang tergoda menggunakan Facebook, terpesona, lalu mengajak kawan yang kemudian terpesona pula, lalu mengajak rekan yang lain lagi. Begitu seterusnya.
Kini jumlah pengguna jejaring sosial buatan Mark Zuckerberg itu di Indonesia, menurut CheckFacebook.com, sudah melampaui 11,7 juta akun.
Uniknya, selain tumbuh melalui gethok tular, jejaring sosial juga menjadi alat penghubung bagi suatu gethok tular. Jika semula berkembang dari mulut ke mulut, menjadi informasi dari satu akun ke akun lain, dari satu status ke status lain, satu catatan ke catatan lain. Barangkali bolehlah kita sebuat word of electronic-mouth.
Berdasarkan pengamatan, sebagai suatu gethok tular, gerakan yang berbasis Facebook hanya sukses apabila mendapat dukungan pula dari media massa arus utama.
Selain itu, sebagaimana rumus gethok tular pada umumnya, formulasi yang disebarkan bersifat sederhana dan mudah dicerna. Ide sederhana itu, misalnya, copot si X, bebaskan si Y, atau dukung si Z.
Kalau kasus kompleks dengan jalinan banyak pihak yang juga ruwet, sulit di-gethok tular-kan. Sebab, salah satu sifat alamiah gethok tular adalah distorsi. Jika informasinya kompleks, distorsi bisa mengacaukan segala sesuatunya.
***Biarkan saja
Ada beberapa gagasan generik yang dianggap mudah menyebar seperti wabah. Gagasan itu di antaranya adalah ide mengenai bunuh diri, merokok, narkoba, serta tren fesyen. Barangkali sekarang bisa ditambahkan satu lagi: tren pemanfaatan fitur tertentu di dunia Internet.
Dalam soal bunuh diri, dikenal istilah Werther Effect. Werther adalah sebuah karakter dalam novel karya Johann Wolfgang von Goethe. Dalam cerita Penderitaan Pemuda Werther, Goethe berkisah mengenai seorang pria cerdas, lembut, mudah terharu, yang mengalami kehidupan tragis.
Setelah kegagalannya dalam karir, Werther yang muda mengalami kegagalan cinta. Begitu dalam penderitaannya sehingga Werther memilih bunuh diri sebagai upaya mengakhiri tekanan batiniah.
Cerita mengenai Werther ini dipublikasikan lebih dari 200 tahun yang lalu dan menjadi karya yang sangat digandrungi banyak orang. Namun, cerita yang sangat memikat ini juga dipersalahkan sebagai pemicu bagi sekitar 2.000 bunuh diri di kalangan remaja di Eropa.
Begitu kuatnya pengaruh tulisan Goethe itu sehingga Werther Effect digunakan untuk menyebut bunuh diri ikutan. Agaknya, hal serupa belakangan ini sedang terjadi di Indonesia.
Malcolm Gladwell dalam bukunya Tipping Point menyebut bagaimana mudahnya gagasan tentang bunuh diri menyebar di kalangan generasi muda. Ada banyak pola kemiripan antara penyebaran gagasan sebagai wabah dan penyebaran wabah penyakit. Begitulah pendapat Gladwell.
Tipping Point memberikan penjelasan bagaimana gagasan bisa menyebar seperti wabah. Adapun ulasan bagaimana wabah bisa berhenti, barangkali bisa kita simak pada Sampar karya Albert Camus. Kendati bukan buku ilmiah mengenai wabah penyakit, Sampar memberikan perspektif lain. Sebab, buku ini membahas bagaimana wabah datang secara tiba-tiba dan terhenti dengan sendirinya.
“Sampar mungkin berhenti karena sampar tidak memiliki khayalan,” papar salah satu tokoh dalam novel itu.
Agaknya, upaya menghentikan sesuatu yang berkembang lewat e-gethok tular adalah sesuatu yang jauh lebih sulit, karena hal itu dikendalikan oleh imajinasi manusia. Mengacu pada Sampar, salah satu cara manjur mengatasinya adalah membiarkannya berhenti dengan sendirinya, secara alamiah.
Jumlah akun pengguna jejaring sosial di Indonesia terus meningkat. Di sisi lain mulai muncul pula kebosanan para pengguna lama. Sebagai sebuah gagasan, penjalaran jejaring sosial melalui gethok tular mungkin bisa saja terhenti. Akan tetapi sulit untuk menghilangkan perannya sebagai penghubung suatu e-gethok tular.
Label:
buku,
e-gethok tular,
gethok tular,
malcolm gladwell,
tipping point
18 Januari 2010
Antara hotel prodeo dan penjera*
Rubashov dijebloskan ke dalam penjara. Dia dimasukkan ke sel nomor 404. Sendirian dan tidak kenal siapa-siapa. Mantan pejabat negara itu menyebut tetangganya berdasarkan nomor sel seperti si-406, si-402. Tentu saja dia pun hanya disebut sebagai si-404. Dalam penjara itu, nama sudah berubah menjadi nomor.
Mengikuti hasrat alamiahnya untuk berkomunikasi dan bersosialisasi, pria dengan nama lengkap Nicolas Salmanovitch Rubashov itu berusaha menjalin kontak dengan penghuni kamar sebelahnya.
Caranya, mereka mengembangkan komunikasi dengan ketokan pada tembok yang tebal. Rubashov menyebutnya sebagai abjad persegi.
Mereka membagi dinding dalam lima baris. Jika diketok baris ke paling atas, artinya antara huruf A sampai E. Satu kali ketok artinya A, dua kali artinya B, tiga kali artinya C, dan seterusnya. Dan itu berlaku untuk baris-baris selanjutnya hingga 26 huruf.
Komunikasi dilakukan bergantian dan tentu saja lambat. Pengiriman dan penerimaan harus dilakukan dengan cermat agar tidak salah mengerti atau salah tebak.
Begitulah cerita tentang salah satu kerepotan hidup di penjara dalam novel Gerhana Tengah Hari karya Arthur Koestler. Dalam cerita itu, Rubashov adalah seorang mantan Komisaris Rakyat. Ini sebuah jabatan sangat tinggi di negara komunis. Dia dibui karena konflik politik, sesuatu yang lazim pada pertengahan abad XX.
Dalam novel yang edisi Indonesia-nya setebal 306 halaman itu, Koestler bercerita tentang hari-hari yang dilalui oleh Rubashov sejak pertama masuk penjara hingga dia diadili dan dihukum mati.
Cerita klasik lain yang dramatik tentang bagaimana hari-hari dilalui oleh seorang narapidana dapat kita baca dalam Hari Terakhir Seorang Terpidana Mati karya Victor Hugo.
Hugo bercerita tentang tokoh utama yang disebut sebagai Aku. Tokoh dalam cerita itu adalah seorang penjahat sejak muda. Pernah dihukum 15 tahun, lalu dibebaskan tetapi tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Jadilah dia penjahat lagi, ditangkap kembali, melarikan diri lagi, lalu ditangkap dan dihukum mati.
Baik cerita Hugo maupun Koestler sama-sama bercerita tentang pergulatan batin seseorang yang dipenjara dan akan dihukum mati. Bedanya, Rubashov dalam cerita Koestler banyak menyoal kebijakan politik, sedangkan Aku dalam cerita Hugo lebih banyak berkutat dengan persoalan psikologis sebagai orang yang akan dihukum mati-orang yang harus menyiapkan kepalanya untuk dipenggal demi hukum.
Keduanya bercerita tentang betapa orang menderita batiniah ketika badannya dikurung. Terasing, sulit berkomunikasi, dan dipisahkan dari orang-orang dekat yang selama bertahun-tahun sebelumnya menjadi kawan akrab.
Dalam perspektif mana pun, penjara selalu dipandang sebagai tempat yang tidak menyenangkan. Terisolasi dan segala hal dibatasi. Kondisi riilnya tentu saja berbeda-beda di setiap zaman dan tiap lokasi. Apa yang terungkap dalam novel di atas hanyalah fiksi yang didasarkan pada kenyataan di zaman dan tempat yang diamati sang penulis cerita.
***Penjara dunia
Data dari Pemerintah AS (Bureau of Prison) menyatakan saat ini ada 9 juta orang yang sedang dipenjara di seluruh dunia dan tersebar di 211 negara. Sebanyak 50% dari pesakitan itu berada di AS, Rusia, serta China.
Tingkat populasi penghuni penjara di AS merupakan yang tertinggi di dunia yaitu 714 orang setiap 100.000 penduduk. Posisi di bawahnya ditempati Rusia dengan 532 orang untuk setiap 100.000 penduduk. Sebanyak 58% negara yang ditinjau menunjukkan tingkat populasi penghuni penjara berada pada level 150 per 100.000 penduduk atau di bawah itu. Data lain menyatakan sekitar 70% penghuni penjara AS berasal dari kasus narkoba.
Di Indonesia, penjara sering disebut pula sebagai hotel prodeo yang artinya hotel gratis atau cuma-cuma. Nama resmi penjara yang dilekatkan pemerintah Indonesia adalah lembaga pemasyarakatan. Sebutan ini dicetuskan oleh Rahardjo, Menteri Kehakiman pada dekade 1960-an.
Data dari laman situs Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (ditjenpas.go.id) mengungkapkan jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan saat ini lebih dari 105.700 orang. Jumlah ini terdiri dari tahanan dewasa lebih dari 46.200 orang, tahanan anak lebih dari 1.900 anak, narapidana lebih dari 54.900 orang dan anak didik lebih dari 2.500 anak.
Kendati jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan meningkat dari 92.497 pada 2005 menjadi di atas 105.700 pada 2009, kapasitasnya tetap bertahan pada angka 76.550 orang.
Penjara berkonotasi dengan kurungan dan hilangnya kebebasan, sebagai bentuk lain hukuman dera. Konon, akar kata penjara sama dengan penjera, artinya sesuatu yang membuat orang jera alias kapok melanggar hukum.
Temuan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dalam inspeksi mendadak awal pekan ini mengingatkan kembali tentang makna lembaga pemasyarakatan. Selain menegaskan kesan terkurung dan suasana berjejal-jejal yang melampaui daya tampung, penjara tertentu juga memiliki sisi-sisi mewah di dalamnya. Sebuah cermin kesenjangan seperti yang ada pula di luar penjara.
Para pejabat dan tokoh publik menyatakan banyak hal perlu dibenahi dalam penyelenggaraan lembaga pemasyarakatan sebagai salah satu muara dari proses penegakan hukum yang panjang. Apakah perlu pula dipakai istilah baru untuk penjara agar lebih sesuai dengan kenyataan dan cita-cita pembentukannya? Wallahualam.
*) Dimuat di Bisnis Indonesia edisi 14 Januari 2010
08 Januari 2010
Mohon maaf & selamat jalan Pak Satjipto
Berita duka itu saya dengar tadi pagi. Pak Satjipto Rahardjo meninggal dunia. Secara personal saya tidak mengenal guru besar dari Universitas Diponegoro itu. Saya belum pernah berjumpa dengan beliau dan belum pernah pula membaca tulisan beliau secara jenak.
Saya tidak mengerti bidang keahlian yang beliau tekuni, tidak pula menyimak sepak terjang beliau. Akan tetapi, saya merasa perlu menulis catatan tentang beliau karena saya telah bertahun-tahun menempatkan gambar beliau pada salah satu posisi yang penting.
Ini juga semacam permohonan maaf kepada beliau beserta keluarga dan kerabatnya apabila kelakuan saya ini dipandang keliru atau tidak berkenan.
Pada Januari 1997 saya membeli sebuah buku tulis yang tebal. Saya tidak tahu persis berapa tebalnya, namun saya yakin lebih dari 100 lembar. Buku tulis bergaris ukuran setengah kwarto itu saya gunakan untuk mencatat hal-hal menarik yang saya baca di koran serta, terutama, buku-buku.
Waktu itu saya belum punya computer dan tentu saja alat tulis satu-satunya yang dapat diandalkan adalah buku tulis dan pena. Maka buku catatan itu menjadi perangkat yang penting bagi perkembangan intelektualitas saya.
Dalam buku itulah saya menulis kutipan novel-novel Dostoyevski, Albert Camus, Voltaire, Shakespiere, kumpulan tulisan Pakistan, Rusia, dan sebagainya. Di sana pula saya tulis kutipan dialog dari film di televisi, dari radio, dari ceramah orang penting, dari buku-buku tentang menulis, biografi, dan filsafat. Sebagian besar adalah buku pinjaman dari perpustakaan serta taman bacaan.
Di sana pula saya masih simpan beberapa kliping cerpen serta berita atau analisis dari koran-koran yang saya baca waktu itu. Pada intinya, buku itu mewakili penjelajahan intelektual saya pada periode 1997-1999, salah satu periode paling kritis dalam pembentukan pola pikir saya.
Lalu, apa hubungan dengan Pak Satjipto Rahardjo?
Dalam periode itu saya menemukan foto Pak Satjipto di sebuah majalah, kalau tidak salah Tempo. Foto itu diambil dari samping. Foto pria cukup sepuh berkacamata. Saya terkesan dengan foto itu. Saya berpikir bahwa suatu saat wajah saya, kalau dilihat dari samping, akan seperti wajah yang ada dalam foto itu.
Hidungnya, bentuk kepalanya, kacamatanya, struktur wajahnya, rasanya semua mewakili apa yang akan terjadi pada diri saya di kemudian hari. Maka saya tempellah gambar Pak Satjipto itu sebagai cover buku catatan saya itu. Di bawahnya saya tulis: “KeLIK waktu jadi Presiden”
Satu hal yang saya kira perlu memohon maaf adalah karena saya lancang menambahkan kumis dan jenggot pada gambar itu. Asumsinya, saya ini kan berkumis dan berjenggot.
Selamat jalan Pak Satjipto, semoga mendapat ampunan Allah serta keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran. Saya mohon maaf atas segala keluputan dan kelancangan saya terhadap Pak Satjipto.
Foto: cover buku catatan saya bergambar Pak Satjipto
Label:
buku,
membaca,
menulis,
satjipto rahardjo
04 Januari 2010
Enaknya berada di ketinggian
Ketinggian memang memberi perspektif yang lebih luas, jelas, dan menyeluruh. Posisi yang tinggi memudahkan orang mengerti 'gambar besar'.
***
Melihat bumi dari ketinggian. Itulah salah satu yang ditawarkan kereta gantung. Dan itu pula yang saya alami di Taman Mini Indonesia Indah pada liburan jelang akhir tahun 2009.
Rombongan kami tiba di TMII siang hari, sekitar jam 11. Kami menyusuri sisi utara taman sehingga melewati terminal kereta gantung barat laut, lalu snow bay yang sangat ramai, beberapa rumah tradisional Sumatra hingga sampai di taman burung pada sisi timur laut.
Kami naik kereta gantung dari sisi ini. Sisi timur laut. Kondisinya sangat sepi, nyaris tidak antre. Ini berbeda sekali dengan naik kereta gantung dari sisi barat (barat laut maupun barat daya) yang dari luar saja sudah tampak ramai.
Maka demikianlah. Dari kotak yang tergantung itu kami bisa melihat gelaran TMII, khsususnya sisi sebelah utara. Tampak danau buatan, pulau-pulau Indonesia, pesawat di sekitar rumah-rumah Aceh, dan seterusnya. Lalu sampailah saya pada kesimpulan di awal tulisan yaitu bahwa ketinggian memberi perspektif yang lebih luas, jelas, dan menyeluruh. Posisi yang tinggi memudahkan orang mengerti 'gambar besar'.
Posisi yang tinggi baik baik secara harfiah maupun maknawiyah memang menguntungkan dalam hal kesempatan memperoleh pandangan yang lebih luas.
Posisi tinggi dalam organisasi, dalam institusi, atau dalam birokrasi memang banyak memberi keuntungan. Begitu pun dengan pendidikan yang tinggi, sekolah yang lebih tinggi, serta salary yang lebih tinggi.
Mungkin itulah sebabnya semua orang berlomba-lomba meraih posisi yang tinggi. Agar dapat memahami dunia dan hiruk pikuknya ini dengan lebih baik. Serpihan-serpihan yang terlihat di daratan seperti puzzle yang terserak akan mudah direkonstruksi jika dilihat secara menyeluruh dari ketinggian.
Naik kereta gantung di TMII merupakan kesempatan kedua bagi saya berada dalam kotak tergantung yang disebut sebagai sky lift itu. Saya naik kereta gantung pertama di Genting High Land, Malaysia, pada 2003.
***
Waktu remaja, salah satu impian saya adalah melihat bumi dari atas. Sebagai orang dusun, saya tidak pernah naik pesawat (saya naik pesawat pertama kali pada usia 25 tahun, setelah jadi wartawan). Jadi yang sering saya bayangkan adalah menempatkan suatu kamera pengintip pada layang-layang yang saya terbangkan ke berbagai penjuru.
Gambaran nyata tentang melihat bumi dari atas paling-paling saya alami kalau memanjat pohon, itupun hanya lima meter dari tanah. Saya dibesarkan di daerah dekat pantai yang datar, tanpa bukit tanpa gunung sama sekali, jadi tidak bisa melihat bagian tanah lain dari ketinggian.
Impian melihat bumi dari atas ini pula yang membuat saya sangat menyukai pesawat terbang. Dulu, waktu saya SD dan SMP, koran Suara Karya yang jadi langganan wajib bagi SD tempat ayah dan ibu saya mengajar, menyajikan ulasan mengenai penerbangan setiap Senin.
Ada satu atau dua halaman penuh tentang penerbangan, umumnya tentang pesawat tempur. Salah satu penulis yang saya ingat adalah Mei Kartyono. Waktu saya SMP, saya juga sering membaca tulisan Mei Kartyono ini melalui Tarik, majalah teknologi serba guna terbitan Yogyakarta yang sering saya baca (beli di toko buku Succcess Kutoarjo).
Selama SMP dan SMA saya membuat kliping tentang pesawat terbang (sampai sekarang kliping masih ada, tapi sebagian sudah dimakan rayap). Rasanya semua buku tentang pesawat terbang di perpustakaan SMA pernah saya pinjam. Adapun majalah yang sangat menarik adalah Tarik, TSM (Teknologi dan Strategi Militer), Sigma, serta Mekatronika.
Ketika SMP saya sering membuat miniatur pesawat. Belakangan saya baru tahu kalau itu disebut origami, seni lipat dan mengelem kertas.
Waktu SMA saya ingin membuat karya tulis akhir tentang pesawat terbang. Saya sudah buat kerangkanya. Tapi karena pak guru waktu itu meminta tulisan hal yang biasa saja, yang konkret-konkret saja, saya membatalkan rencana menulis soal itu. Sayang sekali. Sampai sekarang saya kadang masih menyesali hal ini. (Tetapi saya tidak menyesal memilih TF, bukan PN)
Sebenarnya sata ini ada fasilitas gratis yang mewakili impian saya untuk melihat bumi dari atas. Itu diwujudkan oleh Google melalui Google Maps. Dengan fitur satellite view, kita bisa melihat hampir seluruh bagian bumi ini dengan resolusi yang memadai.
Mungkin karena keinginan untuk melihat bumi dari atas itu saya suka menunjukkan arah atau ditunjuki arah dalam bentuk peta. Salah satu yang saya beli pertama kali ketika datang ke Jakarta adalah peta.
Langganan:
Postingan (Atom)