Saya mendengar istilah sosiologi pengehatuan pertama kali dari bukunya Karl Mannheim berjudul Ideologi dan Utopia. Buku Karl Mannheim ini mengulas banyak hal mengenai sosiologi pengetahuan.
Pada dasarnya saya tidak benar-benar mudeng uraian panjang lebar dalam buku tebal bersampul merah yang terkesan klasik banget itu. Yang paling mudah saya pahami adalah pengantar buku yang ditulis Arief Budiman. (Btw, Arief Budiman memang piawai menulis hal rumit dan filosofis dengan cara sederhana. Buku Ekonomi Pembangunan yang ditulisnya juga amat menarik)
Kembali ke sosiologi pengetahuan. Dalam konteks kekinian, sosiologi pengetahuan meburut saya menarik dikaitkan dengan isu hoax.
Sosiologi pengetahuan dapat menjelaskan bagaimana kearifan lokal dikemas dalam bentuk semacam hoax melalui legenda, tabu, mitos, doktrin, dan semacamnya, agar efektif merasuki kehidupan.
Pengantar dari Arief Budiman bahkan memberikan contoh konkret mengenai tabu memotong kuku pada malam hari (karena akan disantap harimau), larangan terkait dengan sapi, dll.
Lalu, apakah tabu-tabu tradisional itu semacam hoax putih atau hoax bertujuan mulia atau hoax yang dihasilkan oleh pihak yang otoritatif?
Inspirana
Berbagi inspirasi, bukan sekadar bertukar informasi
23 Januari 2017
19 Januari 2017
Bersyukur tidak sama dengan puas
Saya kira sering ada campur aduk antara bersyukur dan puas. Menurut saya ini cukup berbeda. Memang betul bahwa kepuasan barangkali adalah pengantar paling mudah menuju syukur. Akan tetapi, orang bisa saja bersyukur (terhadap sesuatu) meskipun tidak puas (terhadap apa yang ada itu). Dalam konsep agama, segala sesuatu tidak terjadi dengan sendirinya. Yang dimaksud sesuatu atau apa yang terjadi tentu merupakan kehendak Tuhan, takdir, karunia, anugerah, sesuatu yang telah ditetapkan, dan sebagainya.
Puas, menurut saya, berarti menyadari bahwa tidak ada hal yang lebih baik yang bisa dicapai. Misalnya saya puas bisa mendapatkan nilai 8. Itu berarti saya menyadari bahwa nilai itu sudah maksimal (atau optimal, bila variabelnya tidak tunggal). Saya tidak ekspektasi nilai 9, apalagi 10. Sudah puas dengan angka 8, dan menganggap karunia itu sungguh layak disyukuri. Saya menyadari tidak cukup layak untuk dapat nilai 9, atau 10. Itulah kuncinya.
Adapun bersyukur, adalah, menyadari ada hal lebih buruk yang bisa saja terjadi. Saya dapat nilai 7 sudah syukur, karena dengan kesempatan belajar yang terbatas itu, saya bisa saja kejeblos dapat nilai 6 atau bahkan 5. Saya tidak puas dengan pencapaian nilai 7 itu, tetapi saya bersyukur bahwa terhindar dari nilai 5.
Misalnya kita jatuh dari motor. Masih bersyukur tidak terluka, meskipun barangkali motornya rusak. Kuncinya adalah menyadari bahwa ada hal yang lebih buruk (yakni motor rusak, ditambah tubuh luka, ditambah tidak masuk kerja, kehilangan kesempatan berwisata, atau lainnya).
Dalam soal ini, saya kira kita perlu menyadari tahap-tahap suatu peristiwa agar bisa lebih mudah bersyukur. Saya akan memahami bahwa banyak skenario/ takdir/ ketentuan lebih buruk yang bisa saja menimpa saya.
Puas, menurut saya, berarti menyadari bahwa tidak ada hal yang lebih baik yang bisa dicapai. Misalnya saya puas bisa mendapatkan nilai 8. Itu berarti saya menyadari bahwa nilai itu sudah maksimal (atau optimal, bila variabelnya tidak tunggal). Saya tidak ekspektasi nilai 9, apalagi 10. Sudah puas dengan angka 8, dan menganggap karunia itu sungguh layak disyukuri. Saya menyadari tidak cukup layak untuk dapat nilai 9, atau 10. Itulah kuncinya.
Adapun bersyukur, adalah, menyadari ada hal lebih buruk yang bisa saja terjadi. Saya dapat nilai 7 sudah syukur, karena dengan kesempatan belajar yang terbatas itu, saya bisa saja kejeblos dapat nilai 6 atau bahkan 5. Saya tidak puas dengan pencapaian nilai 7 itu, tetapi saya bersyukur bahwa terhindar dari nilai 5.
Misalnya kita jatuh dari motor. Masih bersyukur tidak terluka, meskipun barangkali motornya rusak. Kuncinya adalah menyadari bahwa ada hal yang lebih buruk (yakni motor rusak, ditambah tubuh luka, ditambah tidak masuk kerja, kehilangan kesempatan berwisata, atau lainnya).
Dalam soal ini, saya kira kita perlu menyadari tahap-tahap suatu peristiwa agar bisa lebih mudah bersyukur. Saya akan memahami bahwa banyak skenario/ takdir/ ketentuan lebih buruk yang bisa saja menimpa saya.
Boncengan sepeda motor
Sepanjang sejarah, belum pernah ada kendaraan yang digunakan begitu masif dan massal, yang memungkinkan posisi duduk pria dan wanita begitu intim seperti halnya motor. Duduk saling menempel seperti itu.
Motor adalah kendaraan paling intim sepanjang sejarah. Kalau tidak karena naik motor rasanya tak mungkin ada orang duduk model begitu --baik sama-sama maupun satunya menghadap ke samping-- sepanjang jalan.
Memang betul bahwa dulu ada juga orang naik kuda atau onta dengan cara yang sama. Tetapi kuda dan onta bukanlah kendaraan milik umum dan jelata seperti motor. Penggunaan hewan itu tidaklah semasif dan massal seperti halnya motor. Dan berboncengan pakai kuda saya kira tidak lazim. Yang lebih sering adalah kuda narik delman atau bendi atau semacam itu.
Dalam konteks sepeda motor ini, desain kendaraan telah mempengaruhi atau bahkan membangun tata nilai tersendiri. Betul apa enggak ya? Ini sekadar refleksi seorang pengguna motor.
Motor adalah kendaraan paling intim sepanjang sejarah. Kalau tidak karena naik motor rasanya tak mungkin ada orang duduk model begitu --baik sama-sama maupun satunya menghadap ke samping-- sepanjang jalan.
Memang betul bahwa dulu ada juga orang naik kuda atau onta dengan cara yang sama. Tetapi kuda dan onta bukanlah kendaraan milik umum dan jelata seperti motor. Penggunaan hewan itu tidaklah semasif dan massal seperti halnya motor. Dan berboncengan pakai kuda saya kira tidak lazim. Yang lebih sering adalah kuda narik delman atau bendi atau semacam itu.
Dalam konteks sepeda motor ini, desain kendaraan telah mempengaruhi atau bahkan membangun tata nilai tersendiri. Betul apa enggak ya? Ini sekadar refleksi seorang pengguna motor.
Langganan Panjebar Semangat
Alhamdulillah, mulai awal tahun bisa langganan Panjebar Semangat, majalah mingguan berbahasa Jawa yang disajikan dalam huruf latin.
Majalah yang didirikan oleh dr Soetomo (pendiri Boedi Oetomo) itu terbit sejak 2 september 1933. Sudah tuaaa, sekali. Majalah ini terbit setiap sabtu dengan harga eceran rp14 ribu di jawa. harga langganan rp56 ribu.
Saya sudah lama ingin langganan majalah ini (atau majalah Jaya Baya yang juga berbahasa jawa) tetapi baru tahun ini terwujud.
Majalah yang didirikan oleh dr Soetomo (pendiri Boedi Oetomo) itu terbit sejak 2 september 1933. Sudah tuaaa, sekali. Majalah ini terbit setiap sabtu dengan harga eceran rp14 ribu di jawa. harga langganan rp56 ribu.
Saya sudah lama ingin langganan majalah ini (atau majalah Jaya Baya yang juga berbahasa jawa) tetapi baru tahun ini terwujud.
18 Januari 2017
Mengapa Orang Lebih Takut Kehilangan?
Hal-hal negatif lebih menonjol daripada hal positif. Tawaran untuk menghindari kerugian lebih efektif daripada tawaran untuk memperoleh keuntungan. Orang kehilangan Rp10 juta akan merasakan ketidakbahagiaan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kesenangan yang diperoleh apabila dia mendapatkan Rp10 juta.
Bahkan, sebuah penelitian menunjukkan bahwa secara emosional, kerugian berbobot dua kali lipat dibandingkan keuntungan dengan nominal yang sama besar. Menurut ilmuwan sosial, itulah yang kemudian memicu loss aversion, penghindaran kerugian.
Ketakutan akan kehilangan lebih memotivasi orang daripada kemungkinan untuk mendapatkan sesuatu dengan nilai (atau nominal) yang sama.
Oleh sebab itu, membujuk orang agar terhindar dari kehilangan sesuatu (yang berharga) itu jauh lebih efektif daripada membujuk orang dengan janji akan mendapatkan keuntungan atau kesenangan atau kebahagiaan (nantinya). Rolf Dobelli dalam The Art of Thinking Clearly menjelaskan hal ini dengan amat menarik dalam bab “Mengapa Sesuatu yang Buruk Lebih Mencolok daripada Hal yang Baik”
*) Foto tidak diketahui sumber aslinya
Bahkan, sebuah penelitian menunjukkan bahwa secara emosional, kerugian berbobot dua kali lipat dibandingkan keuntungan dengan nominal yang sama besar. Menurut ilmuwan sosial, itulah yang kemudian memicu loss aversion, penghindaran kerugian.
Ketakutan akan kehilangan lebih memotivasi orang daripada kemungkinan untuk mendapatkan sesuatu dengan nilai (atau nominal) yang sama.
Oleh sebab itu, membujuk orang agar terhindar dari kehilangan sesuatu (yang berharga) itu jauh lebih efektif daripada membujuk orang dengan janji akan mendapatkan keuntungan atau kesenangan atau kebahagiaan (nantinya). Rolf Dobelli dalam The Art of Thinking Clearly menjelaskan hal ini dengan amat menarik dalam bab “Mengapa Sesuatu yang Buruk Lebih Mencolok daripada Hal yang Baik”
*) Foto tidak diketahui sumber aslinya
Berhentilah Bila Seharusnya Berhenti
Para motivator selalu mengingatkan untuk jangan pernah menyerah. Jangan berhenti, karena (bisa jadi) Anda sudah sangat dekat kepada tujuan. Akan tetapi, Steven D. Levitt dan Stephen J. Dubner justru punya saran sebaliknya. Berhenti dan menyerahlah bila memang seharusnya begitu.
Salah satu meme tentang motivasi jangan menyerah yang sering beredar adalah gambaran mengenai orang menggali terowongan mencari harta karun. Dia sudah bekerja keras, sangat keras, sampai kelelahan. Kemudian dia berhenti karena menganggap gagal, atau tidak bisa sampai tujuan, atau apa pun lah alasannya.
Si penggali terowongan tidak menyadari bahwa jaraknya terhadap apa yang dituju tinggal sejengkal. Sedikit lagi saja, asal dia tidak menyerah, tujuannya pasti tercapai dan dia bahagia mendapatkan harta karun. Demikianlah penyederhanaan mengenai jangan menyerah. (Lihat gambar).
Apakah kenyataan memang seperti itu? Kalau kita lihat dari sisi semangat dan berorientasi hasil, mungkin saja memang dalam segala hal kita tidak boleh berhenti atau menyerah.
Akan tetapi, bila kita sudah berhadapan pada kasus demi kasus, maka kita mesti melihat soal-soal teknisnya dengan detail, baru disimpulkan perlu menyerah atau tidak.
***
Steven Levitt dan Stephen Dubner, pengarang buku best seller Freakonomics dan Super Freakonomics, punya rumusan yang layak disimak soal berhenti atau menyerah ini.
Mereka memaparkannya dalam buku Think Like a Freak. Levitt dan Dubner bahkan menyediakan satu bab tersendiri mengenai Sisi Baik dari Berhenti. Mereka mengidentifikasi tiga hal menyebabkan orang susah untuk berhenti.
Pertama, anggapan bahwa berhenti adalah tanda kegagalan.
Kedua, ada biaya hangus bila seseorang atau sebuah perusahaan berhenti dari sebuah proyek atau pekerjaan yang sedang berjalan. Dia memberikan contoh soal Concorde, pesawat penumpang supersonic yang beroperasi melintasi Samudera Atlantik. Pemerintah Inggris dan Prancis merasa bahwa pengoperasian Concorde tidak ekonomis, akan tetapi proyek ini sudah menghabiskan terlalu banyak biaya. Sayang sekali bila dihentikan. Semacam adagium too big to fail. Perlu keberanian luar biasa untuk menanggung “biaya hangus”.
Ketiga, terlalu banyak orang memberi perhatian kepada biaya konkret dan melupakan “biaya kesempatan”. Ketika seseorang sekolah lagi dengan biaya katakanlah Rp80 juta, dia lebih fokus perhatiannya pada angka 80 juta itu dan sering lupa memperhitungkan kesempatan lain yang bisa diperoleh dengan biaya Rp80 juta ditambah alokasi waktu dan perhatian selama sekian tahun menjalani sekolah.
Biaya konkret mudah dihitung, biaya kesempatan sulit dihitung. “Berhenti itu sulit, sebagian karena hal ini disamakan dengan kegagalan, dan tidak ada yang suka gagal atau terlihat gagal,” begitu mereka menulis.
***
Dalam ilmu Fisika, dikenal pula Hukum Newton mengenai kelembaman. Intinya, benda yang diam cenderung tetap diam, benda bergerak cenderung untuk tetap bergerak. Dalam kenyataan, untuk menghentikan kendaraan yang melaju, kita memerlukan rem.
Rolf Dobelli menyoroti sulitnya berhenti atau menyerah ini dengan cara mengaitkannya dengan sunk cost fallacy atau sesat pikir mengenai biaya yang telah dikeluarkan. Dia menyebut itu dalam bab “Anda Harus Melupakan Masa Lalu” sebagai bagian dari buku “The Art of Thinking Clearly”.
Dia bercerita mengenai upaya-upaya perusahaan maupun perorangan yang telah begitu susah dilakukan dan tidak menunjukkan hasil menggembirakan. Meski demikian, hal itu sulit dihentikan.
Alasan yang sering muncul, kata Dobelli, adalah”
“Kita telah menginvestasikan begitu banyak uang di sini. Jika kita menyerah sekarang, semua akan sia-sia.”
“Saya sudah menghabiskan dua tahun mengikuti kelas ini, apakah harus berhenti?”
“Aku sudah menginvestasikan begitu banyak tenaga dan waktu ke dalam hubungan ini, aku merasa salah bila membuangnya begitu saja.”
Menurut Dobelli, itu semua adalah bias tentang “biaya yang sudah dikeluarkan”. Jika terjebak pada pemikiran seperti itu dan tidak mau berhenti, yang terjadi adalah biaya yang semakin besar lagi.
***
Konon, salah satu tanda kematangan orang bijak adalah tahu kapan harus berhenti. Tidak terus berjalan meski tepuk tangan terus bergemuruh.
Dalam berbisnis maupun dalam kehidupan pribadi, exit strategy itu penting ketika semua opsi lain sudah tertutup. Ini jelas beda dengan escape strategy alias melarikan diri atau kabur dari masalah.
Pengambilan keputusan yang rasional, jelas Dobelli, mengharuskan kita untuk melupakan berapa pun "biaya" yang telah dihabiskan pada masa yang lalu. Berapa pun "biaya" itu, yang lebih perlu diperhatikan adalah analisis mengenai masa depan.
*)Caption: Foto/ilustrasi diambil dari Internet, saya tidak tahu siapa yang membuat.
Salah satu meme tentang motivasi jangan menyerah yang sering beredar adalah gambaran mengenai orang menggali terowongan mencari harta karun. Dia sudah bekerja keras, sangat keras, sampai kelelahan. Kemudian dia berhenti karena menganggap gagal, atau tidak bisa sampai tujuan, atau apa pun lah alasannya.
Si penggali terowongan tidak menyadari bahwa jaraknya terhadap apa yang dituju tinggal sejengkal. Sedikit lagi saja, asal dia tidak menyerah, tujuannya pasti tercapai dan dia bahagia mendapatkan harta karun. Demikianlah penyederhanaan mengenai jangan menyerah. (Lihat gambar).
Apakah kenyataan memang seperti itu? Kalau kita lihat dari sisi semangat dan berorientasi hasil, mungkin saja memang dalam segala hal kita tidak boleh berhenti atau menyerah.
Akan tetapi, bila kita sudah berhadapan pada kasus demi kasus, maka kita mesti melihat soal-soal teknisnya dengan detail, baru disimpulkan perlu menyerah atau tidak.
***
Steven Levitt dan Stephen Dubner, pengarang buku best seller Freakonomics dan Super Freakonomics, punya rumusan yang layak disimak soal berhenti atau menyerah ini.
Mereka memaparkannya dalam buku Think Like a Freak. Levitt dan Dubner bahkan menyediakan satu bab tersendiri mengenai Sisi Baik dari Berhenti. Mereka mengidentifikasi tiga hal menyebabkan orang susah untuk berhenti.
Pertama, anggapan bahwa berhenti adalah tanda kegagalan.
Kedua, ada biaya hangus bila seseorang atau sebuah perusahaan berhenti dari sebuah proyek atau pekerjaan yang sedang berjalan. Dia memberikan contoh soal Concorde, pesawat penumpang supersonic yang beroperasi melintasi Samudera Atlantik. Pemerintah Inggris dan Prancis merasa bahwa pengoperasian Concorde tidak ekonomis, akan tetapi proyek ini sudah menghabiskan terlalu banyak biaya. Sayang sekali bila dihentikan. Semacam adagium too big to fail. Perlu keberanian luar biasa untuk menanggung “biaya hangus”.
Ketiga, terlalu banyak orang memberi perhatian kepada biaya konkret dan melupakan “biaya kesempatan”. Ketika seseorang sekolah lagi dengan biaya katakanlah Rp80 juta, dia lebih fokus perhatiannya pada angka 80 juta itu dan sering lupa memperhitungkan kesempatan lain yang bisa diperoleh dengan biaya Rp80 juta ditambah alokasi waktu dan perhatian selama sekian tahun menjalani sekolah.
Biaya konkret mudah dihitung, biaya kesempatan sulit dihitung. “Berhenti itu sulit, sebagian karena hal ini disamakan dengan kegagalan, dan tidak ada yang suka gagal atau terlihat gagal,” begitu mereka menulis.
***
Dalam ilmu Fisika, dikenal pula Hukum Newton mengenai kelembaman. Intinya, benda yang diam cenderung tetap diam, benda bergerak cenderung untuk tetap bergerak. Dalam kenyataan, untuk menghentikan kendaraan yang melaju, kita memerlukan rem.
Rolf Dobelli menyoroti sulitnya berhenti atau menyerah ini dengan cara mengaitkannya dengan sunk cost fallacy atau sesat pikir mengenai biaya yang telah dikeluarkan. Dia menyebut itu dalam bab “Anda Harus Melupakan Masa Lalu” sebagai bagian dari buku “The Art of Thinking Clearly”.
Dia bercerita mengenai upaya-upaya perusahaan maupun perorangan yang telah begitu susah dilakukan dan tidak menunjukkan hasil menggembirakan. Meski demikian, hal itu sulit dihentikan.
Alasan yang sering muncul, kata Dobelli, adalah”
“Kita telah menginvestasikan begitu banyak uang di sini. Jika kita menyerah sekarang, semua akan sia-sia.”
“Saya sudah menghabiskan dua tahun mengikuti kelas ini, apakah harus berhenti?”
“Aku sudah menginvestasikan begitu banyak tenaga dan waktu ke dalam hubungan ini, aku merasa salah bila membuangnya begitu saja.”
Menurut Dobelli, itu semua adalah bias tentang “biaya yang sudah dikeluarkan”. Jika terjebak pada pemikiran seperti itu dan tidak mau berhenti, yang terjadi adalah biaya yang semakin besar lagi.
***
Konon, salah satu tanda kematangan orang bijak adalah tahu kapan harus berhenti. Tidak terus berjalan meski tepuk tangan terus bergemuruh.
Dalam berbisnis maupun dalam kehidupan pribadi, exit strategy itu penting ketika semua opsi lain sudah tertutup. Ini jelas beda dengan escape strategy alias melarikan diri atau kabur dari masalah.
Pengambilan keputusan yang rasional, jelas Dobelli, mengharuskan kita untuk melupakan berapa pun "biaya" yang telah dihabiskan pada masa yang lalu. Berapa pun "biaya" itu, yang lebih perlu diperhatikan adalah analisis mengenai masa depan.
*)Caption: Foto/ilustrasi diambil dari Internet, saya tidak tahu siapa yang membuat.
02 Desember 2015
SPRAY AND PRAY
Kesalahan pemodal ventura adalah mengharapkan laba ventura akan terdistibusi secara normal. Maksudnya, perusahaan-perusahaan buruk akan gagal, perusahaan sedang akan tetap flat, dan yang baik akan memberikan pengembalian 2 kali atau 4 kali lipat.
Dengan mengandaikan pola sederhana ini, para pemodal kemudian merakit sebuah portofolio terdiversifikasi dan berharap (pengembalian dari) perusahaan-perusahaan yang sukses akan mengimbangi (kerugian dari) yang gagal.
Akan tetapi, pendekatan spray and pray ini biasanya hanya menghasilkan portofolio yang sepenuhnya gagal.Tanpa ada satu pun yang berhasil. Ini karena laba ventura sama sekali tidak mengikuti distribusi normal, melainkan mengikuti hukum pangkat (eksponensial). Artinya, segelintir kecil perusahaan secara radikal mengalahkan semua yang lain. (Peter Thiel & Blake Masters, Zero to One)
Dengan mengandaikan pola sederhana ini, para pemodal kemudian merakit sebuah portofolio terdiversifikasi dan berharap (pengembalian dari) perusahaan-perusahaan yang sukses akan mengimbangi (kerugian dari) yang gagal.
Akan tetapi, pendekatan spray and pray ini biasanya hanya menghasilkan portofolio yang sepenuhnya gagal.Tanpa ada satu pun yang berhasil. Ini karena laba ventura sama sekali tidak mengikuti distribusi normal, melainkan mengikuti hukum pangkat (eksponensial). Artinya, segelintir kecil perusahaan secara radikal mengalahkan semua yang lain. (Peter Thiel & Blake Masters, Zero to One)
26 November 2015
Sulitnya Jadi Pemodal Ventura
Andreessen Horowitz berinvestasi US$250.000 di Instagram pada 2010. Ketika Facebook membeli Instagram 2 tahun kemudian senilai US$1 miliar, Andreessen memperoleh hasil bersih US$78 juta. Artinya mereka dapat laba 312 kali lipat dalam waktu kurang dari 2 tahun. Itu sebuah laba yang dahsyat, yang menjadikan reputasi perusahaan itu sebagai salah satu pemodal ventura terbaik di Silicon Valley.
Namun, ternyata, hasil ini belum memadai sama sekali bagi Andreessen. Sebabnya, perusahaan ini telah mengucurkan US$1,5 miliar ke berbagai perusahaan lain. Berarti mereka perlu menemukan 19 Instagram sekadar untuk mencapai titik impas. (dikutip dari Peter Thiel dan Blake Masters dalam Zero to One)
Namun, ternyata, hasil ini belum memadai sama sekali bagi Andreessen. Sebabnya, perusahaan ini telah mengucurkan US$1,5 miliar ke berbagai perusahaan lain. Berarti mereka perlu menemukan 19 Instagram sekadar untuk mencapai titik impas. (dikutip dari Peter Thiel dan Blake Masters dalam Zero to One)
20 November 2015
Persaingan dan monopoli menurut pendiri Paypal
Perusahaan pemegang monopoli cenderung suka mengecilkan diri dan tidak mengakui bahwa mereka memiliki penguasaan pasar yang terlalu dominan. Sebaliknya, perusahaan yang lemah justru sering membesar-besarkan diri, mengaku memiliki posisi yang amat dominan, di segmen yang sengaja digambarkan sebagai terlalu kecil.
Begitulah salah satu pandangan Peter Thiel, salah satu pendiri Paypal, dalam bukunya yang berjudul Zero to One.
Thiel menggambarkan apa yang disebutnya sebagai kebohongan pelaku monopoli. Dia mengungkap pandangan bos Google mengenai bisnis yang dijalankan raksasa mesin pencarian Internet itu.
Sebagai gambaran, hingga Mei 2014, Google menguasai 68% pasar pencarian, jauh di atas pesaing terdekatnya yaitu Microsoft (19%) dan Yahoo (10%).
Lalu bagaimana Google membingkai bisnisnya ini? Selain menyediakan mesin pencari, perusahaan buatan Eric Schmidt dan Sergey Brin ini juga menggarap mobil robotik, sistem operasi Android, wearable device, dan sebagainya. Tapi perlu diingat bahwa 95% pendapatan Google masih berasal dari iklan melalui mesin pencari. Beragam produk lain hanya menghasilkan nilai yang sedikit, dan produk konsumernya lebih kecil lagi kontribusinya.
“Dengan membingkai diri sebagai sebuah perusahaan teknologi yang tidak banyak berbeda dari banyak perusahaan lain, Google berhasil lolos dari perhatian yang tidak diinginkan,” begitu Thiel menyimpulkan.
Dia mengutip pernyataan Chairman Google, Eric Schmidt, pada 2011 di Kongres: Kami menghadapi sebuah medan yang luar biasa kompetitif tempat konsumen memiliki begitu banyak opsi untuk mengakses informasi.
Thiel menyebut kalimat di atas maknanya adalah: Google adalah ikan kecil di kolam besar. Kami bisa tertelan habis-habisan kapan saja. Kami bukan pelaku monopoli yang dicari pemerintah.
***
Lain halnya dengan perusahaan yang tidak mempunyai monopoli atau posisi yang terlalu dominan di pasar. Mereka, menurut Thiel, justru cenderung melakukan “kebohongan” yang sebaliknya, yakni mengaku-ngaku memonopoli segmen tertentu. “Kami satu-satunya dalam pasar ini.”
Perusahaan semacam ini, kata Thiel, cenderung mengecilkan skala kompetisi. Ada godaan untuk menggambarkan pasarnya sebagai pasar yang luar biasa sempit sehingga dapat menguasainya.
Mungkin ini mirip dengan mengaku sebagai pecel lele terenak di pertigaan X (karena di sana memang Cuma ada satu penyedia pecel lele), atau penerbit nasional terbesar di kecamatan anu (karena di situ ya hanya ada satu penerbit), dan hal-hal serupa itu.
Baca juga: Kisah Shakespeare dan Tolstoy di dalam bisnis
Begitulah salah satu pandangan Peter Thiel, salah satu pendiri Paypal, dalam bukunya yang berjudul Zero to One.
Thiel menggambarkan apa yang disebutnya sebagai kebohongan pelaku monopoli. Dia mengungkap pandangan bos Google mengenai bisnis yang dijalankan raksasa mesin pencarian Internet itu.
Sebagai gambaran, hingga Mei 2014, Google menguasai 68% pasar pencarian, jauh di atas pesaing terdekatnya yaitu Microsoft (19%) dan Yahoo (10%).
Lalu bagaimana Google membingkai bisnisnya ini? Selain menyediakan mesin pencari, perusahaan buatan Eric Schmidt dan Sergey Brin ini juga menggarap mobil robotik, sistem operasi Android, wearable device, dan sebagainya. Tapi perlu diingat bahwa 95% pendapatan Google masih berasal dari iklan melalui mesin pencari. Beragam produk lain hanya menghasilkan nilai yang sedikit, dan produk konsumernya lebih kecil lagi kontribusinya.
“Dengan membingkai diri sebagai sebuah perusahaan teknologi yang tidak banyak berbeda dari banyak perusahaan lain, Google berhasil lolos dari perhatian yang tidak diinginkan,” begitu Thiel menyimpulkan.
Dia mengutip pernyataan Chairman Google, Eric Schmidt, pada 2011 di Kongres: Kami menghadapi sebuah medan yang luar biasa kompetitif tempat konsumen memiliki begitu banyak opsi untuk mengakses informasi.
Thiel menyebut kalimat di atas maknanya adalah: Google adalah ikan kecil di kolam besar. Kami bisa tertelan habis-habisan kapan saja. Kami bukan pelaku monopoli yang dicari pemerintah.
***
Lain halnya dengan perusahaan yang tidak mempunyai monopoli atau posisi yang terlalu dominan di pasar. Mereka, menurut Thiel, justru cenderung melakukan “kebohongan” yang sebaliknya, yakni mengaku-ngaku memonopoli segmen tertentu. “Kami satu-satunya dalam pasar ini.”
Perusahaan semacam ini, kata Thiel, cenderung mengecilkan skala kompetisi. Ada godaan untuk menggambarkan pasarnya sebagai pasar yang luar biasa sempit sehingga dapat menguasainya.
Mungkin ini mirip dengan mengaku sebagai pecel lele terenak di pertigaan X (karena di sana memang Cuma ada satu penyedia pecel lele), atau penerbit nasional terbesar di kecamatan anu (karena di situ ya hanya ada satu penerbit), dan hal-hal serupa itu.
Baca juga: Kisah Shakespeare dan Tolstoy di dalam bisnis
19 November 2015
Kisah Shakespeare dan Tolstoy di dalam bisnis
Pendiri Paypal, Peter Thiel, punya cara amat bagus dalam menggambarkan persaingan di dunia digital. Dalam bukunya yang berjudul Zero to One, Thiel menceritakan persaingan antara Microsoft dan Google. Menurut Thiel, yang terjadi di antara dua raksasa teknologi informasi itu mirip dengan perang antarkeluarga dalam novel Romeo dan Juliet karya Shakespeare.
“Dua keluarga, sama-sama memiliki martabat. Kedua keluarga itu serupa, tetapi mereka saling membenci. Mereka bahkan mirip satu sama lain sewaktu permusuhan meningkat. Tetapi pada akhirnya (bahkan) mereka lupa apa alasan mereka (dulunya) mulai berperang.”
Dalam dunia bisnis, kata Thiel, hal serupa terjadi. Perusahaan awalnya berdiri sendiri, lalu sukses, kemudian terobsesi dengan persaingan, akhirnya kehilangan wawasan dan malah fokus pada pesaing mereka.
Thiel menyebut apa yang terjadi antara Microsoft dan Google mirip dengan apa yang terjadi antara keluarga Montague dan keluarga Capulet dalam Romeo dan Juliet. Dua keluarga besar dengan pemimpin cerdas dan ambisius, dan justru saling berperang karena kesamaan mereka.
Sesungguhnya konflik itu bisa dihindari, lanjutnya. Masing-masing toh berasal dari daerah berbeda. Keluarga Montaque membangun sistem operasi dan aplikasi kantoran, sementara keluarga Capulet membuat mesin pencari. Apa yang sesungguhnya dipertaruhkan? Mengapa keluarga Montague mesti terobsesi dengan keluarga Capulet, dan begitu pula sebaliknya? Mengapa kemudian muncul Windows vs Chrome, Bing vs Google Search, Office vs Docs, Surface vs Nexus, dst?
Bukankah pada akhirnya Microsoft dan Google sama-sama kehilangan dominasi mereka dan malahan Apple yang datang mengambilalih posisi? Pada Januari 2013, kapitalisasi Apple telah melampaui gabungan Microsoft dan Google, padahal 3 tahun sebelumnya nilai Apple masih lebih rendah dibandingkan Microsoft sendiri atau Google sendiri.
***
Bagi saya, cara Thiel bertutur soal kompetisi dengan mengambil novel Shakespeare ini amat menarik. Setidaknya ada perspektif baru yang ditawarkan dalam memahami suatu persaingan. Terlepas apakah analoginya menggunakan cerita dan tokoh novel itu benar atau berlebihan, paling tidak ada sesuatu yang bisa diambil di sana.
Pada bagian lain, Thiel juga mengutip novel Tolstoy yang amat terkenal, Anne Karenina. “Semua keluarga bahagia itu sama. Akan tetapi, setiap keluarga yang tidak bahagia itu tidak bahagia dengan caranya masing-masing.”
Di dunia bisnis, menurut Thiel, justru sebaliknya. Semua perusahaan yang gagal itu sama: mereka gagal membebaskan diri dari kompetisi. Sedangkan perusahaan yang sukses itu berbeda: masing-masing memiliki cara yang unik dalam memecahkan masalahnya.
Peter Thiel, dalam Zero to One, terbukti mampu mengambil cuplikan yang bagus dari kisah-kisah sastra terkemuka dunia untuk dilihat polanya dalam dunia bisnis.
Di bagian lain, dia mengambil cuplikan dari mitologi Yunani dan kisah tenar lainnya. Buku yang versi Indonesia diterbitkan Gramedia Pustaka Utama itu awalnya adalah materi kuliah yang disampaikan Thiel di Stanford. Salah satu peserta kuliah, Blake Masters, mencatat materi itu dengan rapih. Dari catatan Blake Masters itulah buku yang enak dibaca ini disusun.
“Dua keluarga, sama-sama memiliki martabat. Kedua keluarga itu serupa, tetapi mereka saling membenci. Mereka bahkan mirip satu sama lain sewaktu permusuhan meningkat. Tetapi pada akhirnya (bahkan) mereka lupa apa alasan mereka (dulunya) mulai berperang.”
Dalam dunia bisnis, kata Thiel, hal serupa terjadi. Perusahaan awalnya berdiri sendiri, lalu sukses, kemudian terobsesi dengan persaingan, akhirnya kehilangan wawasan dan malah fokus pada pesaing mereka.
Thiel menyebut apa yang terjadi antara Microsoft dan Google mirip dengan apa yang terjadi antara keluarga Montague dan keluarga Capulet dalam Romeo dan Juliet. Dua keluarga besar dengan pemimpin cerdas dan ambisius, dan justru saling berperang karena kesamaan mereka.
Sesungguhnya konflik itu bisa dihindari, lanjutnya. Masing-masing toh berasal dari daerah berbeda. Keluarga Montaque membangun sistem operasi dan aplikasi kantoran, sementara keluarga Capulet membuat mesin pencari. Apa yang sesungguhnya dipertaruhkan? Mengapa keluarga Montague mesti terobsesi dengan keluarga Capulet, dan begitu pula sebaliknya? Mengapa kemudian muncul Windows vs Chrome, Bing vs Google Search, Office vs Docs, Surface vs Nexus, dst?
Bukankah pada akhirnya Microsoft dan Google sama-sama kehilangan dominasi mereka dan malahan Apple yang datang mengambilalih posisi? Pada Januari 2013, kapitalisasi Apple telah melampaui gabungan Microsoft dan Google, padahal 3 tahun sebelumnya nilai Apple masih lebih rendah dibandingkan Microsoft sendiri atau Google sendiri.
***
Bagi saya, cara Thiel bertutur soal kompetisi dengan mengambil novel Shakespeare ini amat menarik. Setidaknya ada perspektif baru yang ditawarkan dalam memahami suatu persaingan. Terlepas apakah analoginya menggunakan cerita dan tokoh novel itu benar atau berlebihan, paling tidak ada sesuatu yang bisa diambil di sana.
Pada bagian lain, Thiel juga mengutip novel Tolstoy yang amat terkenal, Anne Karenina. “Semua keluarga bahagia itu sama. Akan tetapi, setiap keluarga yang tidak bahagia itu tidak bahagia dengan caranya masing-masing.”
Di dunia bisnis, menurut Thiel, justru sebaliknya. Semua perusahaan yang gagal itu sama: mereka gagal membebaskan diri dari kompetisi. Sedangkan perusahaan yang sukses itu berbeda: masing-masing memiliki cara yang unik dalam memecahkan masalahnya.
Peter Thiel, dalam Zero to One, terbukti mampu mengambil cuplikan yang bagus dari kisah-kisah sastra terkemuka dunia untuk dilihat polanya dalam dunia bisnis.
Di bagian lain, dia mengambil cuplikan dari mitologi Yunani dan kisah tenar lainnya. Buku yang versi Indonesia diterbitkan Gramedia Pustaka Utama itu awalnya adalah materi kuliah yang disampaikan Thiel di Stanford. Salah satu peserta kuliah, Blake Masters, mencatat materi itu dengan rapih. Dari catatan Blake Masters itulah buku yang enak dibaca ini disusun.
27 April 2014
buku bagus
ini buku bagus. isinya hal mendasar, namun diungkapkan dengan bahasa yang sederhana. contoh contohnya pun disajikan dengan bahasa mudah, tanpa kerumitan matematika.
sayangnya tebal banget. berat untuk dibawa-bawa, dan tidak selesai-selesai ketika dibaca, hehehe.
Posted via Blogaway
14 Januari 2014
Blogging secara sederhana
Sudah lama sekali saya tidak mengisi blog ini. Sejauh ini isinya selalu agak serius dan panjang-panjang.
Sekarang kayaknya waktu untuk menulis lebih panjang semakin sempit. Jadi ya blogging pendek-pendek saja. Saya mulai kembali dengan mencoba aplikasi blogging lewat android. Sambil mengetes apakah aplikasi ini bisa berjalan dengan baik.
Mudah-mudahan pengisian blog yang mudah akan membuat saya lebih rajin mengisi blog kembali.
Posted via Blogaway
07 Mei 2013
Kembalinya Peran Ki Lurah
Beberapa pekan belakangan ini kita mendengar banyak cerita tentang lurah. Yang paling menonjol adalah cerita dari Jakarta, yakni lelang jabatan lurah dan camat yang diwarnai protes salah satu lurah existing.
Lurah saat ini lazim digunakan untuk sebutan jabatan setingkat dengan kepala desa. Kepala desa memimpin sebuah desa, sedangkan lurah memimpin kelurahan. Di perdesaan, satuan wilayahnya adalah desa, adapun di perkotaan satuan wilayahnya adalah kelurahan. Di sebagian perdesaan di Jawa, seorang kepala desa kadang masih disebut sebagai “Pak Lurah”.
Sebenarnya, sebutan lurah sudah dikenal di Jawa sejak lama. Dalam era Majapahit pada abad ke-14, contohnya, sebutan lurah untuk kepala wilayah tertentu sudah dikenal.
Selain sebagai sebutan untuk jabatan teritorial, lurah pada masa kerajaan yang silam juga digunakan untuk jabatan keprajuritan tertentu. Mas Karebet alias Joko Tingkir yang menjadi Raja Pajang, pernah menjadi lurah prajurit wiratamtama di Kerajaan Demak pada masa Sultan Trenggana pada abad ke-16. Di dalam era kerajaan itu, lurah adalah jabatan yang tidak terlalu rendah, namun juga bukan pejabat tinggi.
Adapun di dalam dunia wayang (Jawa) yang didominasi tokoh berupa para raja, adipati, serta pangeran, lurah adalah jabatan paling rendah. Tokoh wayang yang menyandang jabatan lurah adalah para punakawan.
Sebagai contoh, Ki Lurah Semar (Bodronoyo) adalah lurah di Karang Tumaritis. Kadangkala tempatnya tinggal disebut pula Karang Kadempel, Klampis Ireng, atau Karang Kabulutan. Memang di dalam dunia wayang, nama alias untuk orang dan tempat adalah lazim. Aliasnya bisa banyak sekali. Lurah lainnya dalam cerita wayang adalah anak-anak Semar, yakni Lurah Gareng, Lurah Petruk, serta Lurah Bagong.
Tidak jelas apakah lurah dalam wayang itu menunjukkan jabatan penguasa wilayah tertentu atau sekadar pangkat kehormatan.
Kendati dekat dengan para pejabat yang disebut sebagai majikan dari punokawan itu, lurah dalam dunia wayang seperti Lurah Semar dan anak-anaknya lebih sering dianggap sebagai simbol rakyat daripada sebagai alat kekuasaan.
***
Di Jakarta ada cara baru untuk mengisi jabatan lurah, yakni lelang jabatan. Pada intinya, yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo adalah memberi kesempatan kepada orang-orang yang berminat dan berpotensi untuk mendapatkan jabatan lurah. Bersamaan dengan itu, para lurah existing juga harus mengikuti proses yang sama untuk ”mempertahankan” posisinya. Semacam uji kompetensi untuk memperebutkan jabatan yang terbatas.
Ini merupakan langkah baru yang belum pernah diterapkan di tempat lain. Meskipun sempat menimbulkan kontroversi dan diwarnai penolakan, sejauh ini pelaksananaan lelang jabatan lurah ini berlangsung lancar. Semua pihak tentu berharap cara baru ini menghasilkan pejabat yang lebih baik dibandingkan cara sebelumnya.
Jika dibandingkan dengan jabatan yang (hampir) setara di perdesaan di Jawa, proses pemilihan lurah memang berbeda. Pemilihan kepala desa, misalnya, dilakukan secara langsung dengan calon yang harus lebih dari satu orang.
Bahkan, ketika proses pemilihan presiden, gubernur, hingga bupati dan camat dilakukan dengan penunjukan atau demokrasi perwakilan pada Era Orde Baru, proses pemilihan kepala desa di perdesaan tetap menggunakan sistem pemilihan langsung.
Sampai sekarang, proses pemilihan kepala desa secara langsung masih terjadi. Bila jumlah calon hanya satu, panitia akan menyediakan pilihan alternatif yang disebut sebagai bumbung kosong. Dan seorang calon kepala desa kadangkala bisa kalah melawan bumbung kosong ini.
Hal itu menunjukkan bahwa jabatan setara lurah itu memang penting. Dia menjadi simpul penghubung tersendiri bagi masyarakat dan pemerintah. Bagi pemerintah, harapannya lurah bisa dekat sebagaimana punokawan dekat dengan para pangeran alias tokoh yang diikuti. Bagi masyarakat, para lurah juga diharapkan bisa menjadi wakil yang menyalurkan aspirasi ketika berhadapan dengan penguasa. Kita berharap peran para Ki Lurah ini bisa semakin baik. (Bersambung, bila memungkinkan hehehe)
Gambar semar diambil nusanthara dot wordpress dot com
Lurah saat ini lazim digunakan untuk sebutan jabatan setingkat dengan kepala desa. Kepala desa memimpin sebuah desa, sedangkan lurah memimpin kelurahan. Di perdesaan, satuan wilayahnya adalah desa, adapun di perkotaan satuan wilayahnya adalah kelurahan. Di sebagian perdesaan di Jawa, seorang kepala desa kadang masih disebut sebagai “Pak Lurah”.
Sebenarnya, sebutan lurah sudah dikenal di Jawa sejak lama. Dalam era Majapahit pada abad ke-14, contohnya, sebutan lurah untuk kepala wilayah tertentu sudah dikenal.
Selain sebagai sebutan untuk jabatan teritorial, lurah pada masa kerajaan yang silam juga digunakan untuk jabatan keprajuritan tertentu. Mas Karebet alias Joko Tingkir yang menjadi Raja Pajang, pernah menjadi lurah prajurit wiratamtama di Kerajaan Demak pada masa Sultan Trenggana pada abad ke-16. Di dalam era kerajaan itu, lurah adalah jabatan yang tidak terlalu rendah, namun juga bukan pejabat tinggi.
Adapun di dalam dunia wayang (Jawa) yang didominasi tokoh berupa para raja, adipati, serta pangeran, lurah adalah jabatan paling rendah. Tokoh wayang yang menyandang jabatan lurah adalah para punakawan.
Sebagai contoh, Ki Lurah Semar (Bodronoyo) adalah lurah di Karang Tumaritis. Kadangkala tempatnya tinggal disebut pula Karang Kadempel, Klampis Ireng, atau Karang Kabulutan. Memang di dalam dunia wayang, nama alias untuk orang dan tempat adalah lazim. Aliasnya bisa banyak sekali. Lurah lainnya dalam cerita wayang adalah anak-anak Semar, yakni Lurah Gareng, Lurah Petruk, serta Lurah Bagong.
Tidak jelas apakah lurah dalam wayang itu menunjukkan jabatan penguasa wilayah tertentu atau sekadar pangkat kehormatan.
Kendati dekat dengan para pejabat yang disebut sebagai majikan dari punokawan itu, lurah dalam dunia wayang seperti Lurah Semar dan anak-anaknya lebih sering dianggap sebagai simbol rakyat daripada sebagai alat kekuasaan.
***
Di Jakarta ada cara baru untuk mengisi jabatan lurah, yakni lelang jabatan. Pada intinya, yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo adalah memberi kesempatan kepada orang-orang yang berminat dan berpotensi untuk mendapatkan jabatan lurah. Bersamaan dengan itu, para lurah existing juga harus mengikuti proses yang sama untuk ”mempertahankan” posisinya. Semacam uji kompetensi untuk memperebutkan jabatan yang terbatas.
Ini merupakan langkah baru yang belum pernah diterapkan di tempat lain. Meskipun sempat menimbulkan kontroversi dan diwarnai penolakan, sejauh ini pelaksananaan lelang jabatan lurah ini berlangsung lancar. Semua pihak tentu berharap cara baru ini menghasilkan pejabat yang lebih baik dibandingkan cara sebelumnya.
Jika dibandingkan dengan jabatan yang (hampir) setara di perdesaan di Jawa, proses pemilihan lurah memang berbeda. Pemilihan kepala desa, misalnya, dilakukan secara langsung dengan calon yang harus lebih dari satu orang.
Bahkan, ketika proses pemilihan presiden, gubernur, hingga bupati dan camat dilakukan dengan penunjukan atau demokrasi perwakilan pada Era Orde Baru, proses pemilihan kepala desa di perdesaan tetap menggunakan sistem pemilihan langsung.
Sampai sekarang, proses pemilihan kepala desa secara langsung masih terjadi. Bila jumlah calon hanya satu, panitia akan menyediakan pilihan alternatif yang disebut sebagai bumbung kosong. Dan seorang calon kepala desa kadangkala bisa kalah melawan bumbung kosong ini.
Hal itu menunjukkan bahwa jabatan setara lurah itu memang penting. Dia menjadi simpul penghubung tersendiri bagi masyarakat dan pemerintah. Bagi pemerintah, harapannya lurah bisa dekat sebagaimana punokawan dekat dengan para pangeran alias tokoh yang diikuti. Bagi masyarakat, para lurah juga diharapkan bisa menjadi wakil yang menyalurkan aspirasi ketika berhadapan dengan penguasa. Kita berharap peran para Ki Lurah ini bisa semakin baik. (Bersambung, bila memungkinkan hehehe)
Gambar semar diambil nusanthara dot wordpress dot com
31 Maret 2013
Informasi di Bawah Plang Nama Jalan
Kita kesal kalau melewati jalan rusak. Bahkan, kalaupun tidak taat dalam membayar pajak, kita toh tetap merasa punya hak untuk diberi jalan yang mulus, bukan dibangunkan jalan jelek nan rusak.
Kalau (sedang) berpikir buruk, sebagai pengguna jalan inginnya mengumpati mereka yang harusnya bertanggungjawab mengelola jalan. Eh, tetapi ternyata jalan itu punya tingkatan-tingkatan. Pengelolanya pun beda-beda.
Ada jalan yang dikelola oleh pemerintah pusat, ada yang ditangani pemerintah provinsi, dan ada pula yang pemeliharaannya di bawah tanggung jawab pemerintah kota/kabupaten. Nah, dalam soal ”menyumpahi” atau ”mengumpat” atau ”mengutuk” ini kan kita juga maunya tepat. Jangan sampai kita menyumpahi pemerintah daerah karena jalan A rusak, eh, ternyata pemeliharaan jalan itu di bawah pemerintah pusat.
Dalam soal memuji pun demikian. Walau pun masyarakat secara umum jarang yang memuji jalan bagus, tetap saja ada toh yang suka memuji. Nah, kita kan juga tidak ingin memuji dengan sasaran yang keliru. Misalkan, kita mengira jalan mulus di jalur selatan Jawa Barat itu karya pemerintah pusat, eh ternyata itu karyanya pemerintah provinsi. Begitu pula dengan jalan yang lainnya.
Oleh sebab itu, saya usul agar di plang nama jalan itu ditambah informasi mengenai siapa yang bertanggungjawab atas jalan itu. Kalau bisa dengan nomor telepon pengaduan kalau-kalau jalan itu rusak. Boleh juga ditambahkan nomor telepon untuk mengirimkan pujian apabila jalan itu mulus terus, atau perbaikan sering dilakukan.
Usul itu saya sampaikan di facebook. Ada teman yang menambahkan sebaiknya biar gampang, warna plang informasi itu dibedakan. Jadi orang bisa langsung lihat, misalnya kalau merah itu tanggung jawab pemerintah pusat, biru pemerintah provinsi, hitam pemerintah kota/kabupaten.
Kalau (sedang) berpikir buruk, sebagai pengguna jalan inginnya mengumpati mereka yang harusnya bertanggungjawab mengelola jalan. Eh, tetapi ternyata jalan itu punya tingkatan-tingkatan. Pengelolanya pun beda-beda.
Ada jalan yang dikelola oleh pemerintah pusat, ada yang ditangani pemerintah provinsi, dan ada pula yang pemeliharaannya di bawah tanggung jawab pemerintah kota/kabupaten. Nah, dalam soal ”menyumpahi” atau ”mengumpat” atau ”mengutuk” ini kan kita juga maunya tepat. Jangan sampai kita menyumpahi pemerintah daerah karena jalan A rusak, eh, ternyata pemeliharaan jalan itu di bawah pemerintah pusat.
Dalam soal memuji pun demikian. Walau pun masyarakat secara umum jarang yang memuji jalan bagus, tetap saja ada toh yang suka memuji. Nah, kita kan juga tidak ingin memuji dengan sasaran yang keliru. Misalkan, kita mengira jalan mulus di jalur selatan Jawa Barat itu karya pemerintah pusat, eh ternyata itu karyanya pemerintah provinsi. Begitu pula dengan jalan yang lainnya.
Oleh sebab itu, saya usul agar di plang nama jalan itu ditambah informasi mengenai siapa yang bertanggungjawab atas jalan itu. Kalau bisa dengan nomor telepon pengaduan kalau-kalau jalan itu rusak. Boleh juga ditambahkan nomor telepon untuk mengirimkan pujian apabila jalan itu mulus terus, atau perbaikan sering dilakukan.
Usul itu saya sampaikan di facebook. Ada teman yang menambahkan sebaiknya biar gampang, warna plang informasi itu dibedakan. Jadi orang bisa langsung lihat, misalnya kalau merah itu tanggung jawab pemerintah pusat, biru pemerintah provinsi, hitam pemerintah kota/kabupaten.
06 Februari 2013
Sanjaya, Si Wartawan dalam Dunia Wayang
Dalam cerita Mahabharata yang di Jawa dikenal sebagai cerita wayang, ada lho yang bertindak sebagai wartawan. Adalah seorang tokoh tak terkenal namun perannya penting bernama Sanjaya. Dia bertugas sebagai pengemudi kereta (sopir lah kalau zaman sekarang) sekaligus penasehat Drestarata.
Drestarata adalah raja Hastina, ayah dari para Korawa sekaligus pakdhe dari para Pandawa. Pak Drestarata ini buta, tidak bisa melihat, jadi perlu orang yang memberikan laporan pandangan mata terhadap segala kejadian di sekitarnya.
Nah, dalam perang di antara keturunan Bharata--yakni antara Pandawa dan Korawa-- yang kemudian disebut Bharatayudha, laporan pandangan mata ini dilakukan oleh Sanjaya. Dia melaporkan apa yang dilihatnya di lapangan kepada Drestarata.
Konon, Sanjaya ini diberi kelebihan berupa kemampuan melihat dan mendengar jauh dengan detail dan jelas. Mungkin dia menguasai teknologi tertentu seperti teropong, alat perekam, alat tulis dsb—yang ketika itu dianggap sebagai kesaktian yang diperoleh melalui tapa brata.
Begitu besar peran Sanjaya, bahkan, dialog Kresna dan Arjuna yang begitu terkenal, adalah hasil rekaman tokoh ini. Jadi, Sanjaya lah yang berjasa mengabadikan dialog nan fenomenal itu.
Begitu sekilas mengenai Sanjaya, Sang Wartawan Mahabharata. Sayangnya dalam versi wayang Jawa, peran Sanjaya ini tidak banyak disebut. Perannya sering tertukar-tukar dengan ayahnya, Widura, yang juga dikenal sebagai adik Drestarata atau penasehat Sang Raja.
Drestarata adalah raja Hastina, ayah dari para Korawa sekaligus pakdhe dari para Pandawa. Pak Drestarata ini buta, tidak bisa melihat, jadi perlu orang yang memberikan laporan pandangan mata terhadap segala kejadian di sekitarnya.
Nah, dalam perang di antara keturunan Bharata--yakni antara Pandawa dan Korawa-- yang kemudian disebut Bharatayudha, laporan pandangan mata ini dilakukan oleh Sanjaya. Dia melaporkan apa yang dilihatnya di lapangan kepada Drestarata.
Konon, Sanjaya ini diberi kelebihan berupa kemampuan melihat dan mendengar jauh dengan detail dan jelas. Mungkin dia menguasai teknologi tertentu seperti teropong, alat perekam, alat tulis dsb—yang ketika itu dianggap sebagai kesaktian yang diperoleh melalui tapa brata.
Begitu besar peran Sanjaya, bahkan, dialog Kresna dan Arjuna yang begitu terkenal, adalah hasil rekaman tokoh ini. Jadi, Sanjaya lah yang berjasa mengabadikan dialog nan fenomenal itu.
Begitu sekilas mengenai Sanjaya, Sang Wartawan Mahabharata. Sayangnya dalam versi wayang Jawa, peran Sanjaya ini tidak banyak disebut. Perannya sering tertukar-tukar dengan ayahnya, Widura, yang juga dikenal sebagai adik Drestarata atau penasehat Sang Raja.
31 Januari 2013
Kisah Presiden Pandu yang Tersandung Sapi
Pandu adalah ayah dari Pandawa. Dia menjadi raja atau presiden di Hastina karena kakaknya, Destarastra, buta dan tidak bisa menjalankan tugas sebagai raja.
Nah, atau Presiden Pandu ini tidak berusia panjang. Dalam Mahabharata versi India, dikisahkan bahwa pandu membunuh kijang yang sedang bercumbu. Kijang yang merupakan penjelmaan seorang brahmana itu mengutuk Pandu akan mati ketika bercumbu dengan istrinya. Oleh sebab kutukan itu, pandu mati muda ketika bercumbu dengan istri mudanya, Madri (atau Madrim).
Dalam cerita wayang Jawa, cerita soal kematian Pandu ini lebih dramatis. Alkisah, Presiden Pandu (lengkapnya Pandu Dewanata) adalah tokoh hebat. Dewa pun berhutang budi padanya karena menyelamatkan kahyangan alias istana dewa dari serbuan raksasa jahat.
Nah, istri kedua Pandu, Dewi Madrim, suatu saat mengajukan permintaan aneh ketika hamil. Dia minta agar bis naik lembu (sapi) Andini. Padahal ini bukan sembarang sapi. Ini sapi adalah kendaraan khusus milik Batara Guru si raja di istana para dewa. Sebuah permintaan yang bisa dibilang kurangajar.
Begitu mendesaknya permintaan Madrim yang sedang nyidam itu, akhirnya dengan berat hati Pandu meminta kepada Batara Guru agar diizinkan meminjam sapi itu. Toh para dewa juga berhutang budi padanya.
Batara Guru mengizinkan permintaan ”kurangajar” ini namun dengan syarat Pandu harus rela berusia singkat (alias cepat mati), dan setelah mati akan dijebloskan ke kawah candradimuka alias neraka. Presiden Pandu yang sudah kepepet itu menyetujui syarat tersebut.
Maka demikianlah, akhirnya Pandu mati muda (tentu saja dengan meningalkan jabatannya sebagai presiden Hastina), lalu dijebloskan ke kawah candradimuka, nerakanya dunia pewayangan. Sepeninggalnya, bangsa kuru (yang diwakili oleh anaknya, Pandawa, serta keponakannya, Kurawa) berselisih dna terlibat perang besar Baratayuda.
***
Saya jadi teringat cerita Presiden Pandu ini ketika menyimak kabar mengejutkan mengenai kasus daging sapi yang menyeret seorang ”presiden”. Duhai, sungguh kabar yang menyedihkan dan mengejutkan.
*) Foto wayang pandu diambil dari wikipedia Indonesia.
Nah, atau Presiden Pandu ini tidak berusia panjang. Dalam Mahabharata versi India, dikisahkan bahwa pandu membunuh kijang yang sedang bercumbu. Kijang yang merupakan penjelmaan seorang brahmana itu mengutuk Pandu akan mati ketika bercumbu dengan istrinya. Oleh sebab kutukan itu, pandu mati muda ketika bercumbu dengan istri mudanya, Madri (atau Madrim).
Dalam cerita wayang Jawa, cerita soal kematian Pandu ini lebih dramatis. Alkisah, Presiden Pandu (lengkapnya Pandu Dewanata) adalah tokoh hebat. Dewa pun berhutang budi padanya karena menyelamatkan kahyangan alias istana dewa dari serbuan raksasa jahat.
Nah, istri kedua Pandu, Dewi Madrim, suatu saat mengajukan permintaan aneh ketika hamil. Dia minta agar bis naik lembu (sapi) Andini. Padahal ini bukan sembarang sapi. Ini sapi adalah kendaraan khusus milik Batara Guru si raja di istana para dewa. Sebuah permintaan yang bisa dibilang kurangajar.
Begitu mendesaknya permintaan Madrim yang sedang nyidam itu, akhirnya dengan berat hati Pandu meminta kepada Batara Guru agar diizinkan meminjam sapi itu. Toh para dewa juga berhutang budi padanya.
Batara Guru mengizinkan permintaan ”kurangajar” ini namun dengan syarat Pandu harus rela berusia singkat (alias cepat mati), dan setelah mati akan dijebloskan ke kawah candradimuka alias neraka. Presiden Pandu yang sudah kepepet itu menyetujui syarat tersebut.
Maka demikianlah, akhirnya Pandu mati muda (tentu saja dengan meningalkan jabatannya sebagai presiden Hastina), lalu dijebloskan ke kawah candradimuka, nerakanya dunia pewayangan. Sepeninggalnya, bangsa kuru (yang diwakili oleh anaknya, Pandawa, serta keponakannya, Kurawa) berselisih dna terlibat perang besar Baratayuda.
***
Saya jadi teringat cerita Presiden Pandu ini ketika menyimak kabar mengejutkan mengenai kasus daging sapi yang menyeret seorang ”presiden”. Duhai, sungguh kabar yang menyedihkan dan mengejutkan.
*) Foto wayang pandu diambil dari wikipedia Indonesia.
28 Januari 2013
Menyimak Mahabarata dan Ramayana “Versi Asli”
Saya baru saja selesai membaca buku Mahabharata dan Ramayana versi India. Dua buku ini karangan C. Rajagopalchari dan di halaman muka ditulisi “Edisi Asli”.
Sebenarnya sudah agak lama saya ingin membeli dua buku itu. Namun desain covernya yang “India banget” membuat saya tidak nyaman. Nah, pekan lalu ada diskon sampai 40% dan saya kebetulan lagi cuti agak panjang, jadi saya beli. Masing-masing buku seharga Rp30.000.
Pertama-tama saya membeli buku Mahabharata dan saya baca sampai selesai. Setelah itu, karena merasa cara bercecitanya menarik, saya membeli yang Ramayana. Sampai selesai membaca dua buku itu, saya tidak mengerti apa yang dimaksud dengan klaim “edisi asli” dalam covernya.
Ini sebenarnya bukan terjemahan karya kuno Walmiki dan Wiyasa, atau pujangga lain pada masa yang lalu. Ini adalah karya pada dekade 1950-an yang ditulis Rajagopalchari untuk generasi muda India. Mungkin yang dimaksud asli adalah asli India, bukan asli terjemahan dari edisi kuno.
Tentu saja semua basisnya adalah karya Walmiki (Ramayana) dan Wiyasa (Mahabharata). Baik Walmiki maupun Wiyasa pada dasarnya bukan sepenuhnya pengarang cerita itu, melainkan orang yang mengumpulkan cerita itu sehingga dapat dirampaikan kepada generasi di bawahnya secara lebih sistematis.
Ada banyak versi Mahabharata dan Ramayana yang berkembang di India. Enaknya, dalam buku ini Rajagopalchari memberikan penjelasan mengenai adanya perbedaan versi. Sebagai contoh, dia menyebut versi Walmiki menjelaskan cerita bagian ini begini, sedangkan versi lain (misalnya versi Kamban) menyebut begitu.
Bahkan kadangkala Rajagopalchari menyebutkan contoh-contoh cerita kekinian (misalnya serangan Jepang ke pearl Harbour) yang dianggapnya relevan untuk menjelaskan mengapa tokoh-tokoh dalam ceritanya mengambil keputusan beini atau begitu.
***
Saya adalah penggemar wayang Jawa yang kisahnya sebagian besar diambil dengan latar belakang Mahabarata serta Ramayana. Namun membaca dua buku ini tidak seperti membaca cerita wayang.
Ini lebih mirip membaca mitologi Yunani atau terjemahan Kalilah wa Dimnah. Untungnya, waktu kecil saya pernah membaca cerita Mahabharata yang ditulis oleh Padmosukoco dan dimuat bersambung selama beberapa tahun oleh Majalah Bahasa Jawa Jayabaya. Cerita Padmosukoco itu mirip dengan versi India.
Ada beberapa perbedaan antara cerita Mahabarata versi India ini dengan Mahabharata versi wayang Jawa. Tokoh punakawan seperti Semar Gareng Petruk Bagong jelas tidak ada dalam versi India. Begitu pula dengan Togok, Batara Guru serta Sanghyang Wenang. Namun tokoh Batara Indra, Wisnu, Brahma, Bayu dan sebagainya, ada dalam versi India.
Dalam wayang Jawa, gandarwa, yaksa, serta raksasa dianggap sama. Dalam cerita India, itu adalah kelompok makhluk yang berbeda.
Dalam cerita Jawa, Pandu adalah anak Abiyasa dan cucu Palasara. Dalam versi India, Pandu adalah cucu Santanu dan keponakan Bhisma. Dalam wayang Jawa, saya merasa tidak pernah jelas bagaimana bubungan antara Bhisma dengan Abiyasa, serta hubungan Palasara dengan Santanu.
Adapun uraian untuk perang Barata Yudha yang berlangsung selama 18 hari versi India terasa amat bertele-tele. Lebih menarik cerita versi wayang Jawa yang menjelaskan siapa yang mati pada hari pertama, hari kedua, dst secara lebih efisien.
***
Saya kira Ramayana versi Rajagopalchari ini sudah diringkas dari versi panjang. Soalnya, tidak ada cerita mengenai Arjuna Sasrabahu, Sumantri, Sukrasana. Juga soal Wisrawa dan Danaraja. Cerita mengenai Parasurama juga hanya dalam konteks pertemuannya dengan Rama.
Cerita Ramayana dalam buku ini langsung dimulai saat kelahiran Rama bersaudara dan kisruh berpangkal dari pewarisan tahta yang gagal dari Dasarata ke Rama.
Menariknya, pengarang cerita ini mencoba memberikan penjelasan mengenai hal-hal kontroversial menyangkut kepahlawanan Rama. Banyak buku—terutama yang kemudian menyebut Rahwana sebagai pahlawan—mempertanyakan kejanggalan sikap Rama.
Hal yang paling menonjol adalah bagaimana Rama dan Lesmana, memperlakukan Sarpanaka, adik perempuan Rahwana, yang jatuh hati kepada Lesmana namun justru diejek dan diperlakukan dengan menyedihkan.
Hal lainnya adalah keputusan Rama untuk membunuh Subali dengan cara membidikkan panah dari belakang ketika Subali sedang berperang-tanding melawan adiknya, Sugriwa. Ini dianggap sikap yang tidak ksatria.
Kontroversi lainnya soal sikap Rama terhadap Sinta setelah menang perang melawan pasukan Rahwana. Dengan kejam Rama mempertanyakan kesucian Sinta yang direspons Sinta membakar diri (dalam versi lain disebut diasingkan ke hutan). Nah, Rajagopalchari mencoba menjelaskan berbagai hal tadi dari sudut pandang Rama. Dia memberikan alasan-alasan yang bisa mematahkan argumen ang menyalahkan Rama.
Sebenarnya sudah agak lama saya ingin membeli dua buku itu. Namun desain covernya yang “India banget” membuat saya tidak nyaman. Nah, pekan lalu ada diskon sampai 40% dan saya kebetulan lagi cuti agak panjang, jadi saya beli. Masing-masing buku seharga Rp30.000.
Pertama-tama saya membeli buku Mahabharata dan saya baca sampai selesai. Setelah itu, karena merasa cara bercecitanya menarik, saya membeli yang Ramayana. Sampai selesai membaca dua buku itu, saya tidak mengerti apa yang dimaksud dengan klaim “edisi asli” dalam covernya.
Ini sebenarnya bukan terjemahan karya kuno Walmiki dan Wiyasa, atau pujangga lain pada masa yang lalu. Ini adalah karya pada dekade 1950-an yang ditulis Rajagopalchari untuk generasi muda India. Mungkin yang dimaksud asli adalah asli India, bukan asli terjemahan dari edisi kuno.
Tentu saja semua basisnya adalah karya Walmiki (Ramayana) dan Wiyasa (Mahabharata). Baik Walmiki maupun Wiyasa pada dasarnya bukan sepenuhnya pengarang cerita itu, melainkan orang yang mengumpulkan cerita itu sehingga dapat dirampaikan kepada generasi di bawahnya secara lebih sistematis.
Ada banyak versi Mahabharata dan Ramayana yang berkembang di India. Enaknya, dalam buku ini Rajagopalchari memberikan penjelasan mengenai adanya perbedaan versi. Sebagai contoh, dia menyebut versi Walmiki menjelaskan cerita bagian ini begini, sedangkan versi lain (misalnya versi Kamban) menyebut begitu.
Bahkan kadangkala Rajagopalchari menyebutkan contoh-contoh cerita kekinian (misalnya serangan Jepang ke pearl Harbour) yang dianggapnya relevan untuk menjelaskan mengapa tokoh-tokoh dalam ceritanya mengambil keputusan beini atau begitu.
***
Saya adalah penggemar wayang Jawa yang kisahnya sebagian besar diambil dengan latar belakang Mahabarata serta Ramayana. Namun membaca dua buku ini tidak seperti membaca cerita wayang.
Ini lebih mirip membaca mitologi Yunani atau terjemahan Kalilah wa Dimnah. Untungnya, waktu kecil saya pernah membaca cerita Mahabharata yang ditulis oleh Padmosukoco dan dimuat bersambung selama beberapa tahun oleh Majalah Bahasa Jawa Jayabaya. Cerita Padmosukoco itu mirip dengan versi India.
Ada beberapa perbedaan antara cerita Mahabarata versi India ini dengan Mahabharata versi wayang Jawa. Tokoh punakawan seperti Semar Gareng Petruk Bagong jelas tidak ada dalam versi India. Begitu pula dengan Togok, Batara Guru serta Sanghyang Wenang. Namun tokoh Batara Indra, Wisnu, Brahma, Bayu dan sebagainya, ada dalam versi India.
Dalam wayang Jawa, gandarwa, yaksa, serta raksasa dianggap sama. Dalam cerita India, itu adalah kelompok makhluk yang berbeda.
Dalam cerita Jawa, Pandu adalah anak Abiyasa dan cucu Palasara. Dalam versi India, Pandu adalah cucu Santanu dan keponakan Bhisma. Dalam wayang Jawa, saya merasa tidak pernah jelas bagaimana bubungan antara Bhisma dengan Abiyasa, serta hubungan Palasara dengan Santanu.
Adapun uraian untuk perang Barata Yudha yang berlangsung selama 18 hari versi India terasa amat bertele-tele. Lebih menarik cerita versi wayang Jawa yang menjelaskan siapa yang mati pada hari pertama, hari kedua, dst secara lebih efisien.
***
Saya kira Ramayana versi Rajagopalchari ini sudah diringkas dari versi panjang. Soalnya, tidak ada cerita mengenai Arjuna Sasrabahu, Sumantri, Sukrasana. Juga soal Wisrawa dan Danaraja. Cerita mengenai Parasurama juga hanya dalam konteks pertemuannya dengan Rama.
Cerita Ramayana dalam buku ini langsung dimulai saat kelahiran Rama bersaudara dan kisruh berpangkal dari pewarisan tahta yang gagal dari Dasarata ke Rama.
Menariknya, pengarang cerita ini mencoba memberikan penjelasan mengenai hal-hal kontroversial menyangkut kepahlawanan Rama. Banyak buku—terutama yang kemudian menyebut Rahwana sebagai pahlawan—mempertanyakan kejanggalan sikap Rama.
Hal yang paling menonjol adalah bagaimana Rama dan Lesmana, memperlakukan Sarpanaka, adik perempuan Rahwana, yang jatuh hati kepada Lesmana namun justru diejek dan diperlakukan dengan menyedihkan.
Hal lainnya adalah keputusan Rama untuk membunuh Subali dengan cara membidikkan panah dari belakang ketika Subali sedang berperang-tanding melawan adiknya, Sugriwa. Ini dianggap sikap yang tidak ksatria.
Kontroversi lainnya soal sikap Rama terhadap Sinta setelah menang perang melawan pasukan Rahwana. Dengan kejam Rama mempertanyakan kesucian Sinta yang direspons Sinta membakar diri (dalam versi lain disebut diasingkan ke hutan). Nah, Rajagopalchari mencoba menjelaskan berbagai hal tadi dari sudut pandang Rama. Dia memberikan alasan-alasan yang bisa mematahkan argumen ang menyalahkan Rama.
08 Januari 2013
Kehidupan dalam Gorong-gorong
Jakarta akan membangun gorong-gorong alias terowongan raksasa? Begitulah yang kita baca dari berita-berita tentang Ibu Kota dalam dua pekan terakhir. Hal ini dipicu oleh pernyataan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, ketika meninjau gorong-gorong di sekitar Bundaran Hotel Indonesia kira-kira sepekan sebelum tahun 2012 berakhir.
Rencana membangun gorong-gorong di kota metropolitan ini sontak mengingatkan saya akan cerita pendek karya Seno Gumira Ajidarma berjudul Klandestin. Itu sebuah cerita pendek tentang hidup dan perjuangan “manusia gorong-gorong”.
Cerpen itu dimuat Kompas pada Agustus 1993. Si tokoh yang disebut sebagai “Aku” hidup dalam gorong-gorong di bawah kota yang ternyata berisi banyak manusia.
Para manusia yang hidup seperti di dalam rangkaian gorong-gorong seperti sebuah labirin itu seolah membangun kotanya sendiri. Jadi mereka membangun sebuah kota di bawah kota.
Awalnya, si tokoh ”Aku” merasa tidak nyaman dengan kehidupan perkotaan yang dirasakannya penuh tirani di sekitarnya. Maka dengan senang hati dia bergabung ketika diajak masuk ke dalam kehidupan di bawah tanah itu. ”Aku datang untuk berpikir bebas,” begitulah pernyataannya ketika pertama kali masuk ke dalam gorong-gorong.
Akan tetapi, kemudian muncul banyak hal yang dianggap tidak sesuai dengan pemikiran merdekanya. Ketaatan mutlak, teror, dan perlawanan adalah ”ideologi” dalam dunia gorong-gorong itu.
Si tokoh ingin keluar dan kembali hidup dalam dunia normal di atas tanah, namun dia menemui kesulitan. Tidak mudah untuk bisa menemukan jalan ke luar dari bawah tanah.
Dia terus menggali dan berupaya. Wajahnya sudah penuh dengan tanah. si ”Aku” tetap tidak kunjung pula sampai ke atas tanah. Namun dia tetap berjuang tak kenal lelah.
****
Kita tinggalkan gorong-gorong Klandestin Seno Gumiro. Kita ikuti cerita lain yang juga bertutur mengenai gorong-gorong atau terowongan. Kali ini cerita pewayangan. Dalam lakon wayang Lahirnya Parikesit, ada kisah menarik mengenai upaya membuat terowongan.
Lakon ini berlatar belakang situasi tepat seusai Baratayuda, yakni perang besar antarketurunan Barata yang diwakili oleh Pandawa dari Amarta di satu sisi dan Kurawa yang mempertahankan Hastina di sisi yang lain.
Dalam perebutan Hastina itu, Kurawa kalah. Nyaris semua tokoh pendukung Kurawa tewas. Istana Hastina dikuasai Pendawa. Tinggal tersisa dua orang petinggi Hastina yakni Aswatama dan Kartamarma.
Aswatama adalah anak dari Resi Durna yang amat sakti. Dia mewarisi senjata sakti ayahnya, yakni Cundamanik, dan didukung oleh ibunya, seorang dewi bernama Wilotama.
Nah, Aswatama ingin membalas dendam kepada keluarga Pandawa. Dia berusaha menyusup ke dalam istana. Caranya, dengan membuat terowongan yang langsung tembus ke dalam istana. Sebagaimana khas cerita wayang, Aswatama membuat terowongan ke istana bermodalkan keampuhan senjata Cundamanik dan dukungan Wilotama.
Setelah masuk ke istana, Aswatama membuat onar. Dalam kekacauan itulah tewas beberapa tokoh penting dari pihak Amarta seperti Drestajumena, Pancawala, Sumbadra, Banowati, serta Setyaki.
Terowongan alias gorong-gorong ini memang dibuat dengan fungsi tunggal yakni menyusup ke sarang musuh. Aswatama bersama Kartamarma berhasil memanfaatkan torowongan yang dibuatnya itu dengan efektif.
****
Bila gorong-gorong labirin Klandestin dan terowongan Aswatama adalah cerita fiksi, lain pula dengan rencana Gubernur DKI Jakarta dalam membangun gorong-gorong atau terowongan ini.
Di Jakarta saat ini fungsi utama gorong-gorong adalah sebagai sarana drainase untuk mengalirkan air buangan. Ada fungsi lain juga seperti untuk saluran kabel dan pipa. Secara umum ukuran gorong-gorong ini kecil. Nah, Pak Jokowi ingin mengembangkan gorong-gorong dengan konsep yang agak berbeda.
Gorong-gorong alias terowongan ini, dalam kondisi kering, akan menggabungkan antara saluran air dan jalan dua tingkat. Terowongan juga berfungsi sebagai jalur untuk pipa air bersih, aliran lustrik PLN, gas, kabel telepon, dan sarana utilitas lainnya. Ukuran tunnel ini tentu saja besar. Diameter sekitar 16 meter dan panjangnya 19 kilometer.
Diperlukan biaya sekitar Rp16 triliun untuk membangunnya. Karena posisi Jakarta yang begitu dekat dengan laut dengan permukaan tanah yang relatif landai, maka terowongan air sedalam 40 meter—60 meter itu memerlukan pompa berukuran sangat besar agar air benar-benar bisa mengalir dan dibuang ke laut.
Ada banyak kendala teknis dan biaya yang mengadang pembangunan gorong-gorong alias terowongan besar ini. Akan ada lebih banyak lagi problem sosial yang mengikutinya. Sebagai contoh, masalah yang terkait dengan kebiasaan warga dalam membuang sampah, memperlakukan saluran air, serta penggunaan ruang publik yang mudah diakupansi warga jika tidak dijaga.
****
Gorong-gorong yang dimaksud dalam cerpen Klandestin tentu bukan gorong-gorong harfiah. Ini adalah pengandaian dari kehidupan bawah tanah alias kehidupan klandestin, seperti judul cerpen itu, yang ditulis dengan gaya khas Seno Gumira Ajidarma.
Gorong-gorong Klandestin adalah terowongan jalan hidup, adapun terowongan Aswatama adalah gorong-gorong perang, sedangkan tunnel Jokowi adalah sarana utilitas.
Lalu apa persamaannya? Semuanya dibangun dengan semangat tinggi, keberanian, pengorbanan besar, serta ”kesaktian” baik senjata maupun modal.
*Gambar wayang Aswatama diambil dari wayang dot wordpress dot com
Rencana membangun gorong-gorong di kota metropolitan ini sontak mengingatkan saya akan cerita pendek karya Seno Gumira Ajidarma berjudul Klandestin. Itu sebuah cerita pendek tentang hidup dan perjuangan “manusia gorong-gorong”.
Cerpen itu dimuat Kompas pada Agustus 1993. Si tokoh yang disebut sebagai “Aku” hidup dalam gorong-gorong di bawah kota yang ternyata berisi banyak manusia.
Para manusia yang hidup seperti di dalam rangkaian gorong-gorong seperti sebuah labirin itu seolah membangun kotanya sendiri. Jadi mereka membangun sebuah kota di bawah kota.
Awalnya, si tokoh ”Aku” merasa tidak nyaman dengan kehidupan perkotaan yang dirasakannya penuh tirani di sekitarnya. Maka dengan senang hati dia bergabung ketika diajak masuk ke dalam kehidupan di bawah tanah itu. ”Aku datang untuk berpikir bebas,” begitulah pernyataannya ketika pertama kali masuk ke dalam gorong-gorong.
Akan tetapi, kemudian muncul banyak hal yang dianggap tidak sesuai dengan pemikiran merdekanya. Ketaatan mutlak, teror, dan perlawanan adalah ”ideologi” dalam dunia gorong-gorong itu.
Si tokoh ingin keluar dan kembali hidup dalam dunia normal di atas tanah, namun dia menemui kesulitan. Tidak mudah untuk bisa menemukan jalan ke luar dari bawah tanah.
Dia terus menggali dan berupaya. Wajahnya sudah penuh dengan tanah. si ”Aku” tetap tidak kunjung pula sampai ke atas tanah. Namun dia tetap berjuang tak kenal lelah.
****
Kita tinggalkan gorong-gorong Klandestin Seno Gumiro. Kita ikuti cerita lain yang juga bertutur mengenai gorong-gorong atau terowongan. Kali ini cerita pewayangan. Dalam lakon wayang Lahirnya Parikesit, ada kisah menarik mengenai upaya membuat terowongan.
Lakon ini berlatar belakang situasi tepat seusai Baratayuda, yakni perang besar antarketurunan Barata yang diwakili oleh Pandawa dari Amarta di satu sisi dan Kurawa yang mempertahankan Hastina di sisi yang lain.
Dalam perebutan Hastina itu, Kurawa kalah. Nyaris semua tokoh pendukung Kurawa tewas. Istana Hastina dikuasai Pendawa. Tinggal tersisa dua orang petinggi Hastina yakni Aswatama dan Kartamarma.
Aswatama adalah anak dari Resi Durna yang amat sakti. Dia mewarisi senjata sakti ayahnya, yakni Cundamanik, dan didukung oleh ibunya, seorang dewi bernama Wilotama.
Nah, Aswatama ingin membalas dendam kepada keluarga Pandawa. Dia berusaha menyusup ke dalam istana. Caranya, dengan membuat terowongan yang langsung tembus ke dalam istana. Sebagaimana khas cerita wayang, Aswatama membuat terowongan ke istana bermodalkan keampuhan senjata Cundamanik dan dukungan Wilotama.
Setelah masuk ke istana, Aswatama membuat onar. Dalam kekacauan itulah tewas beberapa tokoh penting dari pihak Amarta seperti Drestajumena, Pancawala, Sumbadra, Banowati, serta Setyaki.
Terowongan alias gorong-gorong ini memang dibuat dengan fungsi tunggal yakni menyusup ke sarang musuh. Aswatama bersama Kartamarma berhasil memanfaatkan torowongan yang dibuatnya itu dengan efektif.
****
Bila gorong-gorong labirin Klandestin dan terowongan Aswatama adalah cerita fiksi, lain pula dengan rencana Gubernur DKI Jakarta dalam membangun gorong-gorong atau terowongan ini.
Di Jakarta saat ini fungsi utama gorong-gorong adalah sebagai sarana drainase untuk mengalirkan air buangan. Ada fungsi lain juga seperti untuk saluran kabel dan pipa. Secara umum ukuran gorong-gorong ini kecil. Nah, Pak Jokowi ingin mengembangkan gorong-gorong dengan konsep yang agak berbeda.
Gorong-gorong alias terowongan ini, dalam kondisi kering, akan menggabungkan antara saluran air dan jalan dua tingkat. Terowongan juga berfungsi sebagai jalur untuk pipa air bersih, aliran lustrik PLN, gas, kabel telepon, dan sarana utilitas lainnya. Ukuran tunnel ini tentu saja besar. Diameter sekitar 16 meter dan panjangnya 19 kilometer.
Diperlukan biaya sekitar Rp16 triliun untuk membangunnya. Karena posisi Jakarta yang begitu dekat dengan laut dengan permukaan tanah yang relatif landai, maka terowongan air sedalam 40 meter—60 meter itu memerlukan pompa berukuran sangat besar agar air benar-benar bisa mengalir dan dibuang ke laut.
Ada banyak kendala teknis dan biaya yang mengadang pembangunan gorong-gorong alias terowongan besar ini. Akan ada lebih banyak lagi problem sosial yang mengikutinya. Sebagai contoh, masalah yang terkait dengan kebiasaan warga dalam membuang sampah, memperlakukan saluran air, serta penggunaan ruang publik yang mudah diakupansi warga jika tidak dijaga.
****
Gorong-gorong yang dimaksud dalam cerpen Klandestin tentu bukan gorong-gorong harfiah. Ini adalah pengandaian dari kehidupan bawah tanah alias kehidupan klandestin, seperti judul cerpen itu, yang ditulis dengan gaya khas Seno Gumira Ajidarma.
Gorong-gorong Klandestin adalah terowongan jalan hidup, adapun terowongan Aswatama adalah gorong-gorong perang, sedangkan tunnel Jokowi adalah sarana utilitas.
Lalu apa persamaannya? Semuanya dibangun dengan semangat tinggi, keberanian, pengorbanan besar, serta ”kesaktian” baik senjata maupun modal.
*Gambar wayang Aswatama diambil dari wayang dot wordpress dot com
28 Desember 2012
Bersepeda Kurang Aman?
Mengapa bersepeda di jalan raya cenderung kurang aman? Karena, dalam berbagai aspek, sepeda sangat berbeda dengan rata-rata kendaraan lain. Ukuran sepeda jauh lebih kecil daripada ukuran rata-rata kendaraan seperti motor dan apalagi mobil atau bahkan bus dan truk.
Kecepatan rata-ratanya juga jauh lebih rendah dibandingkan laju rata-rata kendaraan lain yang dominan di jalan raya.
Akselerasinya pun kalah jauh. Untuk menggenjot dari berhenti menuju kecepatan 20km per jam pada sepeda perlu waktu lebih lama daripada hal serupa pada motor dan mobil. Di sisi lain, kepakeman remnya juga kalah.
Pada dasarnya, berkendara paling aman itu bila kita sama atau mirip dengan rata-rata kendaraan lain baik dalam hal ukuran, kecepatan, akselerasi, maupun pengereman.
Foto sepeda diambil dari sausedo dot net
Wiyasa dan Ganapati
Mahabharata adalah sebuah cerita besar. Di Jawa kebanyakan orang mengertinya sebagai cerita wayang. Mahabharata dikarang oleh Resi Wiyasa atau Begawan Wiyasa atau Vyasa.
Dalam cerita mengenai asal-usul pembukuan Mahabharata, C. Rajagopalachari menyatakan bahwa Resi Wiyasa meminta kepada seseorang bernama Ganapati untuk menjadi juru tulisnya.
Ganapati mengajukan syarat: Wiyasa harus mendiktekan cerita tanpa jeda. Sebab, pena Ganapati tak boleh berhenti.
Nah, bubungan antara Wiyasa dan Ganapati ini menggelitikku. Ganapati bisa menjadi sebuah kiasan mengenai medium yang tak boleh berhenti beredar, tak bisa berhenti turbit. Ini bisa seperti media massa, atau katakanlah koran.
Jadi, hubungan Wiyasa-Ganapati ini bisa mirip hubungan antara penulis cerita bersambung (cembung) dengan pengelola koran. Penulis cerbung gak boleh berhenti berkisah karena tiap hari harus terbit ceritanya.
Memang ada juga sih media yang minta penulis menyelesaikan cerita lengkapnya dulu baru dimuat secara bersambung. Akan tetapi, untuk kasus cerbung yang belasan atau likuran tahun baru tamat, misalnya cerita Api di Bukit Menoreh, tentu pola seperti Wiyasa dan Ganapati lah yang berlaku. Wallahu a’lam.
Gambar wayang Gatotkaca diambil dari IndoArtNet
Langganan:
Postingan (Atom)