26 Juli 2009

Mencari sistem inovasi nasional


Kreatif tidak sama dengan inovatif, meskipun inovasi membutuhkan kreativitas. Seseorang yang kreatif belum tentu inovatif, apalagi jika kreativitas itu semata-mata bermotivasikan kesenangan diri sendiri, atau justru untuk merugikan orang lain. Jadi, teori tentang inovasi berbeda dengan teori tentang kreativitas.
Inovasi, jika terjadi, serang merupakan hasil kolektif, bukan hasil individual. Oleh karena itu, dalam literature akademik, teori-teori inovasi merujuk pada gagasan kesisteman melalui system inovasi (innovation system) atau jejaring inovasi (innovation network).

Itulah cuplikan yang sangat menggugah dalam prakata buku Simfoni Inovasi, Cita & Realita karya Kusmayanto Kadiman. Pak Kus alias Pak KK yang mantan Rektor ITB itu sekarang menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi.

Buku ini saya peroleh langsung dari beliau ketika mantan dosen Teknik Fisika ITB itu memanggil saya untuk ikut makan siang bersama di kantornya, pekan lalu.

Buku terbitan 2008 ini tidak tebal, hanya 224 halaman. Tapi sampul dan penampilannya lux karena menggunakan hard cover yang dilapisi pula dengan sampul luar terpisah. Formatnya unik. Sebagian besar berisi dialog antara Pak Kus dengan nara sumber yang dia pilih.

Kemudian pada bagian awal, tengah, serta akhir, Pak Kus berusaha menarik benang merah dari dialog dengan nara sumber, para pelaku di bidang industri dan social yang terkemuka, mengenai ide dasar pembentukan sistem inovasi nasional.

Ini format penulisan buku yang bagi saya agak baru. Buku yang mirip, misalnya, adalah karya para wartawan yang berisi kumpulan dialog dengan banyak nara sumber. Bedanya, kalau wartawan umumnya lebih banyak bertanya, kalau ini lebih banyak pertukaran pikiran antara dua atau tiga belah pihak.

Adanya pengantar dan upaya menjelaskan benang merah juga membuat dialog yang kadangkala melenceng ke sana dan ke sini bisa tetap menghasilkan kesimpulan yang selaras dengan topik utama.

**Kocak dan mendalam***
Ada keunggulan yang muncul dari format dialog ini. Yang paling menonjol adalah sikap atau pendapat spontan dari para nara sumber. Ini jelas berbeda jika yang bersangkutan diminta menulis tentang tema tertentu yang sifatnya searah. Selain itu ada diskusi, ada penggalian, ada pertukaran yang terjadi.

Format dialog semacam ini juga lebih mudah dicerna oleh akal saya yang pendek ini. Lebih menukik ke inti masalah, dengan contoh konkret berdasarkan pengalaman dan kearifan nara sumber.

Sifat spontan dalam dialog ini juga kadang memicu orang untuk berbicara lebih terbuka mengenai hal-hal yang tampak sensitive, misalnya menyangkut lambannya mesin birokrasi.

Karena sifatnya yang spontan, banyak juga dialog yang terkesan kocak. Misalnya, kata-kata Dirut PT Pindad Budi Santoso.
“Pesawat Hercules kita usianya sudah lebih tua dari pilotnya. Maka pilotnya harus baik-baik dengan pesawatnya [seperti baik-baik pada orang yang lebih tua].”

Banyak cerita yang menggugah, mengharukan, tapi juga membuat tertawa seperti cerita Dirut Pindad ketika belajar peluru kendali.
“Seluruh staf saya tidak ada yang tahu cara membuat peluru kendali. Sampai akhirnya saya minta peluru kendari dari TNI yang sudah tidak terpakai. Saya harus menandatangani perjanjian bahwa kalau peluru itu meledak, harus bertanggungjawab. Dan ketika peluru itu datang, kami semua bingung. Kami bingung bagaimana cara membongkarnya, mana bagian depannya, mana belakangnya. Kalau salah kan bisa meledak.”
Ada juga kutipan-kutipan filosofis seperti mengtip teori chaos bahwa kepakan kupu-kupu di satu belahan bumi bisa jadi berpengaruh besar terhadap kejadian di belahan bumi lain.

Ada kutipan Einstein bahwa penyederhanaan itu memberikan kepastian, tetapi bukan kenyataan. Kenyataan tidak bisa disederhanakan sehingga menimbulkan ketidakpastian. Dalam ketidakpastian itu terkandunglah banyak informasi tentang kehidupan.
Dialog dengan Arifin panigoro, CEO Medco, memberi saya banyak sekali informasi baru mengenai energi, pengembangan energi, energi alternatif, serta kebijakan yang tumpang tindih dalam mengaturnya.

Diskusi dengan Irwan Hidayat, Presiden Direktur PT Jamu Sido Muncul, membuka wawasan mengenai ilmu pengobatan yang berbeda paradigma dnegan ilmu kedokteran.
Apakah tidak lagi merasa sakit sama dengan sembuh dari sakit? Apakah kita tahu persis bagaimana cara obat itu bekerja dan bagaimana cara tubuh bereaksi? Bisakah kita mengukur “kadar kesakitan” itu? Dan banyak sekali hal menarik, pertanyaan-pertanyaan mengelitik tentang macam-macam hal.

*Beda pendekatan*
Pemaparan Pak Kus mengenai pendekatan instrumental dan pendekatan kapabilitas yang kita anut dalam beberapa dekade memberikan gambaran yang menarik.

Pendekatan instrumental menekankan perlunya alat, instrument, dalam hubungan manusia dengan iptek. Dalam pendekatan ini, ketika iptek sudah di tangan masyarakat, maka perubahan akan segera terjadi tanpa perlu upaya yang signifikan.

Pendekatan ini mirip dengan mengatakan bahwa dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Ada bebarapa varian dalam pendekatan ini yang dijelaskan pada bagian awal buku itu.

Pendekatan lain adalah pendekatan kapabilitas yang dimotori Amartya Sen. Dalam konteks ini yang berlaku adalah “di balik bangsa yang maju terdapat iptek yang maju.” Dalam pendekatan ini, jiwa yang sehat merupakan faktor intrinsik yang diperlukan untuk menyehatkan badan.

Pak Kus juga memaparkan bagaimana lintasan inovasi yang ditempuh oleh AS dan China dengan melihatnya berdasarkan empat variable yang diwakili empat sumbu yaitu Tarikan pasar, kepentingan swasta, dorongan kebijakan, serta misi negara.

Penjelasan tentang itu sangat menarik dan membuka mata saya mengenai hubungan-hubungan antara elemen akademisi (A), bisnis dan industi (B), serta pemerintah (G). Dari dulu, Pak Kus memang selalu mengkampanyekan kerja sama ABG ini. Terima kasih Pak Kus.

2 komentar:

Setyardi Widodo mengatakan...

Copy paste dari FB

Nano Estananto
wah "kadar kesakitan" itu juga menjadi topik diskusi kami dengan pak Gunawan Ismail, akupunkturis langganan abah RR. Ada nggak ya alat yang bisa mengukur rasa sakit?
July 26 at 9:49pm

Ahmad Fauzi Ihsan
Pengen baca buku ini, ma kasih mas
July 27 at 2:16pm

Haryo Tomo
saya termasuk yang setuju, bahwa budaya inovasi itu harus dilaksanakan secara kolektif. Mudah2an nanti masih kebagian membaca buku ini...:-)
July 28 at 3:03pm

Bustanus Salatin
good point :

sangat menarik dan membuka mata saya mengenai hubungan-hubungan antara elemen akademisi (A), bisnis dan industi (B), serta pemerintah (G). Dari dulu, Pak Kus memang selalu mengkampanyekan kerja sama ABG ini

Anonim mengatakan...

buku yang (sepertinya) sangat menarik...
bisa dibeli dimana ya ?? ada jasa penjualan delivery online gak ?