07 Juli 2009

Pepsi dan presiden tampan Warren Harding

(bagian ketiga review buku Blink)

Harry Daugherty, seorang politisi kawakan yang pintar menilai peluang politik, suatu ketika bertemu dengan Warren Harding. Harding, ketika itu, adalah pria berusia 35 tahun, seorang redaktur pada surat kabar kecil di kota kecil Marion, Ohio.

Daugherty mengamati Harding dan dalam sekejab terpesona dengan apa yang dilihatnya. Dia melihat Harding sebagai sosok yang layak diorbitkan ke panggung politik.

Harding yang tampan dan gagah itu bukanlah orang yang sangat cerdas. Dia gemar main poker, golf, minum-minum sampai mabok, dan hampir selalu memanfaatkan kelebihannya untuk merayu perempuan. Selama menjalankan karir politik, dia sama sekali tidak pernah sengaja menonjolkan diri. Dia peragu dan plin plan dalam hal-hal menyangkut kebijakan. Pidato-pidatonya, kelak digambarkan sebagai "serangkaian ungkapan kosong yang baru sampai tahap mencari gagasan."

Pada 1914 dia terpilih menjadi anggota senat, lalu pada 1920 dia terpilih menjadi presiden AS. Komentar yang sering muncul terhadap Harding sebelum dia terkenal adalah: "Lihat, tampangnya seperti senator" "Bukankah penampilannya mirip seorang calon presiden?"

Menurut buku Blink karya Malcoml Gladwell, sebagian besar sejarawan setuju bahwa Warren Harding adalah salah satu presiden sangat buruk dalam sejarah AS.

Gladwell berpendapat kesalahan bangsa Amerika sampai memilih Warren Harding sebagai presiden merupakan sisi gelap dari pemahaman cepat (rapid cognition). Pangkalnya sebagian besar adalah prasangka dan diskriminasi. Prasangka bahwa orang yang tepat menjadi pemimpin negeri haruslah sosok yang gagah, tampan, berbadan proporsional, dan seterusnya.

***
Kasus kesalaham memaknai kesan pertama sering juga terjadi pada para penjual yang kurang berpengalaman. Dalam penjualan mobil, orang yang berpenampilan petani dengan pakaian lusuh seringkali diabaikan. Padahal orang seperti ini justru mampu membeli kendaraan secara cash. Seorang anak muda yang datang siang hari dengan gaya tidak meyakinkan, ternyata malam harinya datang bersama orangtuanya untuk membeli sebuah mobil. Dan seorang gadis yang tampak centil ternyata adalah orang yang ditunjuk oleh keluarganya untuk memilih mobil keluarga yang tepat.

Dalam sebuah penelitian di Chicago terungkap bahwa para penjual mobil cenderung menawarkan harga yang lebih tinggi terhadap pembeli wanita dan pembeli kulit hitam. Alasannya, ada prasangka bahwa pembeli semacam itulah yang lebih mudah dibodohi.

Gladwell menyimpulkan bahwa para pemberi suara dalam pemilu 1920 di AS tidak mengira bahwa mereka "dibodohi" oleh ketampanan Warren Harding, sama seperti para penjual mobil di Chicago tidak sadar telah melakukan kejahatan karena berusaha "membodohi" para pembeli perempuan dan kulit hitam.

***
Gladwell dengan pintar sekali memberikan banyak sekali contoh ketika snap judgement serta rapid cognition berpeluang salah. Dalam kasus riset pemasaran, hal ini telah membawa korban perusahaan besar.

Coke dari Coca Cola merupakan minuman ringan paling populer di AS ketika Pepsi berusaha merebut pangsa pasarnya. Pepsi meluncurkan strategi pemasaran melalui apa yang disebut sebagai Tantangan Pepsi. Mereka menantang masyarakat untuk mencicipi produk minuman ringan dan menentukan mana yang lebih enak. Dalam sebagian besar testimoni terbukti bahwa Pepsi lebih disukai daripada Coke.

Pangsa pasar Pepsi meningkat. Hal ini menggelisahkan Coca cola. Bahkan dalam uji cicip yang sama yang dilakukan Coca cola, peserta memang cenderung memilih Pepsi. Maka Coca cola bekerja keras berusaha menemukan formula baru, resep baru, yang kemudian diberi nama New Coke

Ternyata produk baru ini justru membuat Coca cola semakin terpuruk. New Coke tidak disukai pelanggannya. Hal ini memaksa Coca cola kembali ke resep lama dengan label Classic Coke.

***
Menurut Gladwell, apa yang dialami oleh Coca cola menunjukkan respons yang keliru dalam memahami snap judgement. Pada kenyataannya, orang memang lebih senang dengan Pepsi ketika mencicipi. Akan tetapi, mencicipi tidak sama dengan meminum satu botol sampai tuntas. Apalagi meminumnya sehari-hari di rumah.

Uji cicip ini, menurut Gladwell, baru akan mencerminkan respons yang tepat jika pencicip diberi sekerat minum dan diminta membawa pulang, lalu baru diminta mengisi kuisioner setelah satu kerat itu habis.

Hal yang mestinya dilakukan Coca cola ketika menanggapi Tantangan Pepsi bukanlah mengubah resep, melainkan menciptakan srategi kampanye pemasaran lain yang bisa menangkal sistem cicip ala Pepsi itu.

***
Kasus lain di mana kesan pertama telah "menipu" adalah kasus produk kursi Herman Miller. Herman Miller berusaha menciptakan kursi yang ergonimis dengan desain yang sama sekali baru. Akan tetapi hasilnya adalah produk yang bertentangan sama sekali dengan stereotipe mengenai kursi nyaman yang ada dalam masyarakat AS seperti empuk, menggunakan busa, tebal, dan sebagainya.

Dalam berbagai uji pemasaran, produk ini selalu mendapat nilai jeblok. Penyebabnya, orang yang diuji tidak bisa membedakan mana yang disebut sebagai jelek dan mana yang disebut aneh. Apalagi kuisioner yang disedikan umumnya juga tidak menampung ungkapan "aneh". Ketika orang melihat desain yang aneh, ketika dituntut menjelaskan, maka yang keluar kemudian adalah kesimpulan bahwa produk itu jelek.

Gladwell mengajak kita berhati-hati dalam memaknai kesan pertama. Dalam banyak kasus, orang tidak bisa menjelaskan apa yang dirasakannya pada kesan pertama, sama dengan kenyataan bahwa orang tidak bisa menggambarkan wajah orang lain semata-mata dari kata-kata. Jadi, ketika meminta mereka menjelaskan alasan di balik snap judgement, peluang terjadi kesalahan sangatlah besar.

***
Kembali ke kasus Warren Harding yang sangat relevan dengan pemilihan Presiden di Indonesia. Saya berpendapat bahwa "prasangka", "stereotip", "kesan" masih akan sangat menentukan hasil pemilu di Indonesia.

Prasangka suku ini suku itu, sosok yang seperti ini, kesantunan, kerendahatian, gaya yang pas atau tidak pas ketika berbicara, masih sangat menentukan bagi kebanyakan pemilih.

Mungkin ketika menimbang-nimbang, orang cenderung pada pilihan X yang agak radikal, menawarkan debirokratisasi, dan sebagainya. Akan tetapi, sampai bilik suara, kembali ke alam bawah sadar yang sangat dipengaruhi prasangka dan stereotip. Hehehehe. Wallahu alam.

Gambar: northvalleymagazine.com

3 komentar:

Setyardi Widodo mengatakan...

copy paste dari Facebook

AFI: jadi segala sesuatu bergantung pencitraan, disini kayaknya mitos ambil peran setuju?
July 7 at 12:54pm

Setyardi 'Kelik' Widodo: setuju kang
July 7 at 12:55pm

HT: Marketing mengambil porsi 60-70% harga pasar suatu produk, no wonder....hehehe. Tapi bagaimana menilai keberhasilan pemasaran atau pencitraan? Permasalahan klasik akan mengemuka : Process vs Result oriented by time.
July 7 at 1:49pm

GP: tapi jangan lupa faktor budaya dan wawasan responden mempengaruhi hasil loh.
July 7 at 7:31pm

Setyardi 'Kelik' Widodo: ilmu memanipulasi kesan kayaknya sangat menarik ya. itu pelajaran orang marketing atau orang mana ya?
July 7 at 8:41pm

HT: ajining diri saka lathi, ajining sarira saka busana....maka untuk memoles citra, iklan produk (capres hehehe...ampun dah) harus menyentuh 5 panca indera kita. Resultan respon akan membentuk opini individu dan akhirnya menjadi opini publik.
July 8 at 2:24pm

AT: punten mas bade ngeshare, oleh dari Indonsia he he

ceight mengatakan...

visit the site description a fantastic read best replica bags this hyperlink article

Anonim mengatakan...

k8e12o5x68 n5x66x7a36 y5m22k1h75 t9u65b6v51 m9l60h9b65 c0d68v2a62