28 Maret 2010
Cerita tentang pencari berlian
Pria Persia itu bernama Ali Hafid. Dia memiliki lahan pertanian yang sangat luas yang dijadikan kebun buah, ladang gandum, serta kebun bunga. Dia juga memiliki banyak uang. Ali Hafid adalah orang kaya yang bahagia. Dia bahagia karena kaya dan dia kaya karena bahagia.
Suatu ketika datanglah pendeta Budha dari Timur singgah ke rumahnya. Pendeta itu bercerita tentang banyak hal, termasuk, yang istimewa, tentang berlian. Dia bilang kalau Ali Hafid punya sebutir berlian sebesar ibu jari, dia bisa membeli kota. Kalau dia punya tambang berlian, dia bisa membuat anak-anaknya menjadi raja.
Ali Hafid mendengar tentang berlian, sadar betapa tinggi nilai benda tersebut, dan malam itu dia tidur sebagai orang miskin. Dia tidak kehilangan apa pun, tetapi dia miskin karena tidak merasa bahagia dan dia merasa tidak bahagia karena miskin. "Aku harus punya tambang berlian."
Dan semalam suntuk dia tidak bisa tidur.
Esoknya, pagi-pagi sekali dia menemui pendeta dan bertanya di mana dia bisa menemukan tambang berlian. Pendeta menunjukkan tempat yang jauh, berada di antara gunung-gunung, beserta ciri-ciri suatu tambang berlian. Dia percaya kalau Ali Hafid mau mencari maka dia akan menemukannya.
Ali Hafid segera menjual seluruh kebunnya, membawa hasilnya, menitipkan keluarganya kepada tetangga, serta berangkat mencari tambang berlian. Dia menempuh banyak perjalanan, banyak negeri, mencari apa yang diimpikannya. Hasilnya nihil, sampai seluruh perbekalan dan hartanya habis. Akhirnya Ali Hafid menceburkan diri ke laut dan tidak pernah kembali lagi.
***
Suatu hari, orang yang membeli tanah Ali Hafid menuntun untanya ke sungai dangkal yang mengalir di kebun itu. Dia melihat sesuatu berkilat-kilat. Diambilnya. Sebuah batu yang bercahaya. Dia tidak tahu apa benda itu, namun dibawanya benda itu pulang dan disimpannya di ruang tamu.
Tak lama kemudian si pendeta kembali mampir ke rumah bekas Ali Hafid. Melihat benda cemerlang itu dia mengira Ali Hafid sudah kembali dengan membawa berlian. Tentu saja dugaannya keliru. Mereka berdua segera bergegas ke sungai kecil dan menemukan lebih banyak lagi batu-batu bercahaya yang tak lain adalah berlian.
Ternyata di kebun Ali Hafid itulah sebenarnya tersimpan berlian-berlian yang dia cari ke ujung dunia. Demikianlah cerita tentang ditemukannya tambang berlian Golcanda. Konon, berlian-berlian Kohinoor dan Orloff berasal dari tambang ini.
***
Cerita tentang Ali Hafid, serta beberapa cerita lain yang coraknya serupa, dapat kita temukan dalam buku tipis berjudul Acres of Diamonds (Meraih sukses di 'halaman' kita sendiri) karya Russell Conwell. Versi yang saya beli terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2010, tebal 94 halaman, harga Rp20.000 (masih tambah diskon 20%, hehehe).
Dalam buku ini ada cerita tentang anak muda dari Massachusetts yang sekolah pertambangan di Universitas Yale. Dia menjual lahan peninggalan orang tuanya untuk bekerja di perusahaan tambang tembaga. Padahal di tanah yang dia tinggalkan itulah akhirnya ditemukan bijih perak yang berlimpah ruah. Hal yang sama pernah terjadi pada pencari minyak bumi.
Conwell memberi saran agar orang mengoptimalkan lingkungannya sendiri untuk mencari kekayaan dan kebahagiaan. Dia mengajukan rumus sederhana dalam berbisnis: kenalilah apa yang dibutuhkan orang-orang sekitar Anda, sediakan, maka itu akan menjadi bisnis yang menguntungkan.
***
Rumus yang disajikan Conwell itu sederhana dan tepat. Cerita-ceritanya pun menggugah. Jika pemaknaannya diperluas, mungkin kita pernah punya pengalaman agak serupa dengan Ali Hafid dan orang-orang setipe dengannya.
Mungkin kita pernah mengabaikan berlian yang ada di halaman sendiri untuk mengejar mutiara yang belum jelas juntrungnya. Boleh jadi karena kebodohan, mungkin karena kemalasan, mungkin pula karena keserakahan (mungkin juga karena takdir?).
Atau bisa jadi saat ini kita sedang menyia-nyiakan mutiara yang ada di gudang dan kampung halaman (tanpa sadar kalau mutiara itu ada) untuk mengejar mutiara lain yang belum jelas keberadaannya di Ibukota.
Mungkin kita merasa miskin bukan karena miskin absolut, melainkan hanya karena menyadari ada berlian yang begitu berharga yang membuat seluruh kekayaan kita seolah-olah tak berharga. Banyak pelajaran lain yang barangkali bisa kita tangkap dari uraian pendek pendeta kelahiran 1842 itu.
Catatan:
*) Kalau suatu saat terbukti bahwa cerita Conwell tentang Ali Hafid dan orang Massachusetts serta pencari minyak itu keliru, maka tidak berlakulah semua premis utama buku ini. Dan mungkin, ternyata, bahwa berlian itu harus dicari nun jauh di sana. Di pelosok-pelosok yang sepi, di antara hutan, gunung, lautan, serta padang pasir. Jangan menyesal mereka yang mencari. Kalaupun gagal menemukan, setidaknya sudah pernah atau sedang berusaha. Tak perlu menyesal mereka yang 'ditakdirkan' gagal menemukan berlian. Wallahu alam.
22 Maret 2010
Menghargai kemalasan & kelambatan
Jagad raya beroperasi mengikuti asas tindakan terkecil atau the principle of least action. Dalam segala hal, alam ini memilih pelepasan energi sekecil mungkin, sehemat mungkin.
Itu merupakan prinsip dasar yang disepakati oleh para ahli Fisika. Air mengalir ke posisi yang lebih rendah, lintasan dari bola yang dilempar ke udara tidak berkelok-kelok, semua mengikuti prinsip tersebut.
Berdasarkan prinsip itu, Fred Gratzon menafsirkan jagad raya sebagai pemalas dan menyukai serta mendukung kemalasan. Alam tidak menyukai kerja keras. Kerja keras hanya menghasilkan stress dan penderitaan. Kemalasanlah yang akan berbuah sukses.
Begitulah Gratzon mencoba membalik cara berpikir yang telah turun-temurun disepakati di sebagian besar belahan dunia bahwa kesuksesan adalah buah kerja keras. Buku Malas Tapi Sukses (The Lazy Way to Success) adalah penjelasan mengenai pandangan yang berada di luar arus utama itu.
Menurut dia, bekerja adalah hal yang tidak alamiah. Serangan jantung, sakit kepala, kemacetan, keluarga tidak harmonis, insomnia, pola makan tidak teratur, adalah buah dari kerja. Bekerja, bagi Gratzon, adalah pangkal dari berbagai jenis penderitaan.
Jalan terbaik untuk menjalani hidup, katanya, adalah malas. Dunia menjadi maju justru karena orang malas, bukan karena bekerja keras. Orang mendapatkan cara-cara yang lebih efisien, kreatif, menghasilkan banyak penemuan, justru karena menghindari kerja keras.
Akan tetapi, malas bukan berarti tidak melakukan apa pun. Gratzon memaknai kerja sebagai kegiatan yang didasarkan keterpaksaan, menimbulkan stress, tekanan jiwa, memicu penyakit jantung serta depresi. Sebagai lawan dari itu, kemalasan dimaknai sebagai mengerjakan sesuatu dengan kegembiraan, cinta, sepenuh hati, sebagaimana orang sedang menjalani permainan.
Orang akan sukses bila melakukan kegiatan berdasarkan kegembiraan dan suka cita serta cinta, dan tidak akan sukses jika bekerja dalam keadaan tertekan.
Oleh sebab itu, sebagai cara untuk mengubah kemalasan menjadi sukses adalah dengan melakukan apa yang menjadi panggilan jiwa. Gratzon mengajukan usul mengenai bagaimana mengenali panggilan jiwa atau panggilan kehidupan, bagaimana menangkap ilham-ilham jenius lewat kemalasan, mencari keberuntungan, bagaimana berdamai dan memaknai kegagalan agar dapat diubah menjadi sukses, dan berbagai trik lain yang dianggapnya identik dengan kemalasan.
Pada ujung belakang, dia mengajukan banyak paparan mengenai perlunya yoga dan meditasi untuk menangkap ilham dan menghayati kemalasan.
Buku Gratzon ini tampil unik dengan banyak ilustrasi yang digarap apik oleh Lawrence Sheaff. Buku ini banyak mengajukan pertanyaan menggugah yang terkait dengan kerja keras, kemalasan, serta implikasi-implikasinya terhadap kehidupan. Sayangnya, tidak semua pertanyaan itu dijawabnya dengan memuaskan. Salah satu yang bagi saya agak mengganjal adalah soal bagaimana menemukan panggilan hidup.
****Cara lambat
Buku tulisan Gratzon itu senada dengan buku In Praise of Slow karya Carl Honore. Sama-sama mengajukan premis yang bertentangan dengan pandangan arus utama. Jika Gratzon membahas soal kemalasan sebagai lawan kerja keras, Honore membahas soal perlunya kelambatan sebagai lawan dari sikap serba terburu-buru serta pandangan bahwa ‘lebih cepat lebih baik’.
Honore memamparkan perlunya orang menghentikan sikap tergesa-gesa karena ketergesaan telah menimbulkan banyak sekali penderitaan dan bahaya yang tidak perlu.
Beberapa hal yang menurut dia jelas-jelas perlu dilakukan dengan lebih lambat adalah makan, membangun kota, pengobatan, dan sex. Dia juga mengajukan usul tentang perlunya orang bekerja lebih santai, mengoptimalkan waktu luang, serta tidak menggesa pertumbuhan anak-anak.
Akan tetapi, Honore mengingatkan bahwa lambat tidak sama dengan pelan. Lambat dalam versi Honer, saya kira lebih dekat dengan jenak atau tuma’ninah dalam melakukan aktivitas.
Honore memaknai cepat sebagai sibuk, agresif, bergegas, analitis, penuh tekanan, dangkal, tak sabar, aktif, kuantitas mendahului kualitas. Adapun lambat dimaknai sebagai kebalikannya: tenang, hati-hati, reseptif, diam, intuitif, tidak tergesa-gesa, sabar, reflektif, dan kualitas mendahului kuantitas. Lambat juga berarti menjalin hubungan yang nyata dan berarti dengan orang lain, dengan budaya, dengan pekerjaan, makanan, dan segalanya.
Nah, kita selalu mengeluh kehabisan waktu, tetapi masih banyak menghabiskannya untuk menonton televisi. Setiap saat harus mengecek BlackBerry yang mengirimkan ratusan email dan notifikasi jejaring sosial. Alat ini seolah membuat segala hal menjadi urgent (mendesak) untuk dijawab dan diselesaikan. Bangun tidur harus mengecek jam dan memastikan deadline tidak terlewati. Hidup terasa begitu gaduh dan serba kepepet. Di era yang sangat tergesa-gesa seperti saat ini, membaca dua buku di atas tentulah sangat menarik.
Dua buku di atas memberikan saran yang sama bagi upaya membangun ketenangan: meditasi dan yoga.
Saya kira, bagi muslim, jawabannya justru lebih mudah: sholat yang khusyu’ dan tuma’ninah. Embuhlah kebenarannya.
'Mengeksploitasi' beta
Beta adalah huruf kedua dalam alfabet Yunani. Dalam jagad teknologi informasi, versi beta biasa digunakan untuk menyebut produk yang belum sepenuhnya jadi. Versi beta merupakan penyempurnaan dari versi alfa yang berupa bentuk awal sebuah produk. Versi beta adalah perbaikan dari versi alfa namun masih mengandung berbagai kelemahan.
Produk versi beta sudah siap digunakan tetapi dalam skala terbatas. Fungsinya dapat bekerja namun belum maksimal. Versi alfa dan beta merupakan tahap menuju produk final.
Google Inc, salah satu perusahaan global yang berkembang paling pesat dalam 12 tahun kehadirannya, memiliki hubungan sangat erat dengan huruf kedua abjad Yunani itu.
Perusahaan yang didirikan Larry Page dan Sergey Brin itu, secara khas, selalu meluncurkan produknya dalam versi beta. Produk hebatnya yang mengguncang dunia, termasuk Google Maps dan Google Mail, dilepas ke pasar dalam versi beta. Dan uniknya, tidak jelas kapan status beta dari produk-produk itu dicabut untuk diganti dengan versi final.
Oleh sebab itu, di Silicon Valley berkembang guyonan tentang Google dan versi beta ini: Produk Google akan selalu beta untuk selamanya.
Kita bisa tengok Google Maps dan Google Earth yang diperkenalkan pertama pada 2005 dan kini digunakan sangat luas dan mencakup hampir seluruh permukaan bumi. Sudah banyak sekali aplikasi yang dibangun oleh orang dan perusahaan di luar Google memanfaatkan Google Maps. Tidak jelas kapan status beta pada produk ini dihapuskan.
Begitu pula dengan Google Mail yang diperkenalkan kepada publik pada 1 April 2004. Produk web mail gratis itu awalnya hanya dapat dinikmati mereka yang mendapat undangan. Kehadirannya yang disertai kapasitas penyimpanan pesan hingga ratusan kali lipat di atas penyelenggara lainnya ketika itu, mengguncang pasar web mail. Belakangan, fitur ini dapat dinikmati tanpa undangan.
“Beta adalah cara Google untuk mengatakan bahwa mereka perlu meminta maaf. Itu cara Google untuk mengatakan: pasti ada kesalahan di sini, tolonglah kami dalam menemukan dan memperbaiki untuk meningkatkan kualitas produk,” papar Jeff Jarvis dalam buku What Would Google Do.
Belakangan ini kita dikejutkan oleh Buzz, sebuah beta baru dari Google. Fitur yang dalam beberapa hal mirip dengan Twitter dan dalam hal lain mirip Facebook ini otomatis dapat dinikmati oleh pengguna Gmail dan Gtalk. Tidak banyak gembar-gembor di sekitar hadirnya Buzz, akan tetapi banyak harapan dan kecemasan terhadap fungsinya sebagai microblog maupun jejaring sosial.
***Kesalahan dan inovasi
Izin untuk membuat sesuatu yang keliru adalah rumus inovasi. Tanpa keberanian berbuat salah, tak akan ada inovasi yang dapat dihasilkan. Kultur inovatif itulah agaknya yang ingin dibangun Google di kantor pusatnya, Googleplex.
Google, yang sering menjadi kata pertama bagi banyak orang yang baru mengenal Internet, memiliki aturan yang unik dalam mengelola inovasi. Mereka menyebutnya sebagai Aturan 20%. Para insinyur Google diberi keleluasaan untuk menyisihkan 20% waktunya untuk proyek pribadi yang bebas.
Krisna Bharat, seorang insinyur Google yang memang sejak kuliah keranjingan berita dan terobsesi membuat surat kabar gaya baru, berusaha mengembangkan gagasan memanfaatkan 20% waktu kerjanya. Ternyata konsepnya menarik minat Page dan Brin sehingga mendapat dukungan untuk menjadi salah satu produk unggulan yaitu Google News.
“Jatah waktu 20% sejak awal ditujukan untuk eksplorasi. Orang jadi produktif saat mengerjakan sesuatu yang menurut mereka penting, temuan mereka sendiri, atau sesuatu yang mereka untungkan,” papar Bharat seperti dikutip The Google Story karya David A Vise dan Mark Malseed.
Dan terbukti, Google memperoleh banyak keuntungan dari aturan ini. Suatu ketika, CEO Google Eric Schmidt berkata bahwa dia sudah tidak punya ide lagi untuk pengembangan produk baru. “Tampaknya semua gagasan produk Google berasal dari aturan 20% itu,” ujarnya seperti dikutip Don Tapscott dalam Wikinomics.
Di tengah kompetisi yang kian kuat, time to market menjadi masalah penting, Alih-alih menanti kesempurnaan suatu produk yang entah kapan terwujud, Google lebih suka melemparkan ke pasar, memanfaatkan wisdom of the crowd untuk mendapatkan produk yang baik.
Ada kata-kata legendaris dari pemimpin Google soal kesempatan untuk mencoba dan salah. “Tolong gagallah dengan cepat, agar kamu dapat segera mencoba lagi,” papar Schmidt suatu ketika.
Jadi, seperti nasihat Jarvis, Google adalah contoh bagaimana mengelola sebuah kesalahan secara tepat. “Hidup adalah sebuah beta,” tandasnya.
*) Dimuat di Bisnis Indonesia edisi Minggu, 21 Maret 2010, hal 11: Korporasi
18 Maret 2010
Serba tiga dari Pak KK
Pertengahan Februari lalu saya mendapat kesempatan ngobrol dengan Pak Kusmayanto Kadiman (KK, Kus). Senang sekali mendapat kesempatan menengok kantor beliau setelah tidak lagi menjadi menristek.
Sebagai orang yang merasa tidak sukses ketika kuliah, saya merasa bahwa bertemu dosen atau mantan dosen selalu membuat gugup alias ‘menakutkan’. Akan tetapi tidak demikian bagi saya ketika menemui Pak Kus. Gaya Pak Kus sama sekali tidak terasa mengintimidasi. Betapa mengasyikkan ada kesempatan bertemu mantan dosen tanpa merasa terbebani. Dalam jangka satu pekan saya mendapat kesempatan dua kali bertemu.
(Untungnya lagi, dulu saya tidak pernah mengambil mata kuliah yang diajar Pak Kus. Jadi, setidaknya, beliau, dulu, barangkali, tidak sempat menyadari betapa bodohnya saya. Dulu, kalau secara tak sengaja sedang bimbingan ke Pak Deddy di Ganesha 15 lalu ketemu Pak Kus, saya suka grogi dengan celetukan-celetukannya, hehehe)
Dari cerita ngalor-ngidul yang diselingi Jumatan dan makan siang pada Februari itu, ada banyak hal menarik terungkap. Salah satunya soal pola perjalanan karier mantan rektor ITB dan mantan dosen Teknik Fisika itu. Mungkin kita bisa menyebutnya sebagai siklus tiga tahunan. Hampir semua karier Pak Kus hanya dijalaninya dalam waktu tiga tahun (kuliah tidak termasuk). Setiap tiga tahun ganti jabatan atau bahkan pekerjaan.
“Saya tidak tahan lama di suatu tempat. Baru jadi Menteri ini saja, saya bisa tahan sampai lima tahun. Lainnya paling lama tiga tahun,” akunya. Dan beginilah bagian cerita lainnya:
***
Pak Kus menyelesaikan kuliah S1 di Teknik Fisika ITB selama 4,5 tahun. Menurut Pak Kus, proses ini tidak bisa tiga tahun karena programnya memang sepanjang itu. “Target saya waktu itu adalah tepat waktu. Yang penting tidak ngulang (mata kuliah). Nilai tidak masalah. Nilai saya tidak fantastis. Semua nilai, kecuali E dan F, pernah saya alami.”
Sekolah S2 dan S3 ditempuh dalam waktu 4,5 tahun, tetapi di dua tempat. Dua tahun di Sydney, dua setengah tahun di Canberra karena profesornya pindah kampus. “Profesornya pindah saya ikut pindah.”
Pak Kus pulang dari luar negeri, Februari 1988. Sebentar kemudian ditunjuk jadi pelaksana tugas PINK (Pascasarjana Instrumentasi dan Kontrol, Teknik Fisika ITB). “Murid angkatan pertama program itu salah satunya Suharna (Menristek saat ini).”
Menjelang tiga tahun, yaitu pada akhir 1989, Pak Kus diusulkan untuk menjadi direktur Pusat Komputer ITB. “Saya tadinya mau nolak. Dengan halus saya bilang, kalau digabung Piksi dan Puskom saya mau. Satu teknologinya satu pendidikannya,” kata Pak Kus.
“Sombong sekali kamu,” kata Pak Arifin Wardiman yang mengusulkan nama Pak Kus kepada Rektor ITB.
Usulan pak Arifin itu disetujui Pak Wiranto Arismunandar, rektor ITB saat itu. Pak Wiranto sudah mengenal Pak KK melalui Pak Saswinadi yang dianggap guru oleh Pak KK. (Cerita tentang hubungan Pak Sas dan Pak KK dapat dibaca dalam buku Bentang Ego Alunkan Simfoni)
"Kus, Senin kamu saya lantik pimpin gabungan Puskom dan Piksi,” kata Pak Wiranto.
Pak Arifin tidak mengizinkan Pak Kus keluar dari PINK. “Waduh, gaji kecil, kerjaan banyak sekali, tidak ada proyek. Tapi ya itu pengabdian.”
Tugas sebagai Direktur Piksi dan Puskom selesai dalam tiga tahun, berakhir pada 1993. “Saya tidak mau terus jadi Ketua Piksi karena saya merasa miskin. Saya tidak punya rumah. Kasih saya rumah deh Pak,” pinta pak Kus ke rektor.
“Enggak bisa Kus, kamu telat lahir,” kata Pak Wiranto.
Lalu bergilah pak KK ke swasta selama 3 tahun. (cerita tentang ini juga ada di buku BEOS)
“Tiga tahun kurang dua minggu saya menghadap ke Wiranto (rektor). Saya sudah punya rumah, punya BMW, mercy dan tabungan dalam dollar. Kembali ke kampus saya membangun Laboratorium Kontrol (labkon, di Teknik Fisika).”
Baru dua tahun memimpin labkon, pak Kus diminta rektor untuk pegang Pusat Pengembangan Teknologi (PPT). “Enggak jelas mau ngapain ini. Akhirnya saya pilih teknologi untuk mendukung teknologi seni rupa karena banyak yang jago di situ. Itu sampai 1997, belum 3 tahun.”
***Menjadi rektor
Berikut ini kutipan langsung cerita Pak Kus tentang proses menuju kursi rektor ITB.
“Pak Lilik Hendrajaya (rektor) minta saya jadi sekretaris rektor. Saya bilang prek dengan nama jabatan, yang penting apa tantangannya. Tantangannya membangun kerja sama internasional. Deal, jadi ada dua sekretaris. Sekretaris rektor bidang dalam negeri dan kehumasan yaitu Pak Doddy Abdasah. Saya pegang international cooperation. Saat itulah ITB mulai masuk ke Asia Uninet, Unet, membangun network di Asean, Eropa, dan sebagainya.
Tetapi kesalahan saya anak muda yang penuh semangat tidak pandai membuat bahwa sukses itu adalah sukses pimpinan.
Sebagai anak buah harusnya saya membuat sukses saya adalah sukses pimpinan. Lalu kantor saya mau ditutup dengan cara bujet ditekan jadi nol.
Pada 2001 saya ditawari jadi pembantu rektor 4 tetapi saya tolak karena saya mau maju jadi rektor. Saya ingin jadi rektor termuda, rektor pertama dan satu-satunya tanpa professor, rektor pertama sejak BHMN.
Nah, tahun 2001 itu jadi golden bagi saya. Untuk mengejar itu, saya belajar bagaimana pede, bagaimana pidato. Sampai ikut kursus-kursus pidato, di Jakarta. Saya iku program basic, advanced, serta leadership selama 3 bulan.
Di situ saya berani tampil. Arogansi dikurangi tanpa mengurangi pede. Walaupun orang bilang saya tetap arogan. Tapi menurut saya itu sudah berkurang banyak dibandingkan dulu.
Saya jadi pede, berani pidato. Dulu tdak berani kalau tidak pegang kertas di depan publik. Sekarang, alhamdulillah, bicara dua jam tanpa teks, hayo.
Tahun 2001 majulah saya jadi rektor. Ketika 15 besar saya no 7, dari 5 besar saya nomor 3, dari 3 besar saya nomor 1. Saya jadi rektor tidak lebih dari 3 tahun. Persisnya 3 tahun kurang 2 minggu, dari 9 Nov 2001-22 Oktober 2004.
Jadi angka tiga itu jarang saya lewati.
16 Maret 2010
Belajar loyal lewat randha royal
Di daerah Jawa Tengah dan Yogya, ada penganan yang diberi nama randha royal. Randha royal adalah tape singkong yang digoreng dengan balutan tepung terigu, mirip dengan pisang goreng tepung.
Sebagaimana pisang goreng, makanan semacam ini sangat enak dinikmati dalam keadaan hangat bersama teh manis panas atau kopi sambil duduk bersantai.
Royal dalam bahasa Indonesia, mungkin adopsi dari bahasa Jawa, sering didefinisikan sikap murah hati, mau berderma, tidak banyak menghitung-hitung dalam pemberian. Orang yang royal adalah pemurah yang siap mendermakan banyak hal untuk orang lain. Itu sisi baiknya. Sisi buruknya, royal juga berarti boros dan dekat dengan istilah obral.
Entah mengapa makanan tape goreng itu diberi nama randha alias janda, dan digabung dengan kata royal alias siap mengobral harta bendanya. Saya tidak berhasil menemukan arsip yang menjelaskan asal-muasal penamaan makanan itu.
Dalam Bahasa Inggris, kata royal digunakan untuk menyebut kerabat kerajaan dan hal-hal yang terkait dengan kerajaan, memiliki kesan kemegahan serta kemewahan.
Meski berbeda-beda, kata royal paling tidak mengesankan orang atau pihak banyak harta yang tampil megah, cenderung boros, dermawan, dan rela memberikan harta benda kepada orang atau pihak lain.
Lalu bagaimana hubungan antara royal dan loyal yang hanya berbeda 1 huruf itu?
Loyalitas sering dimaknai sebagai kesetiaan, kesediaan untuk berbuat senasib sepenanggunangan, bersama-sama dalam suka dan duka. Akan tetapi, berbeda dengan kesetiakawanan, dalam loyalitas ada unsur subordinasi antara pihak yang loyal dengan pihak yang menerima loyalitas. Pada zaman Orde Baru dulu, ada istilah monoloyalitas pegawai negeri sipil. Istilah itu merujuk pada keharusan bagi pegawai negeri sipil dalam menentukan pilihan politik.
Nah, di sanalah ada pertemuan antara royalitas dan loyalitas. Sikap royal hanya dapat dilakukan oleh pihak yang memiliki banyak sumber daya alias superordinat, sementara sikap loyal dipersembahkan oleh subordinat. Pihak superordinat dapat memilih bersikap royal dengan harapan mendapatkan sikap loyal dari subordinat.
Di dalam politik, lazim ada trade off yang sering diterjemahkan sebagai dagang sapi. Suatu pertukaran. Praktik-praktik politik yang terjadi saat ini barangkali terlalu kasar untuk disebut sebagai dagang sapi.
Akan tetapi, pernyataan-pernyataan para pemuka partai terkait dengan koalisi dan kondisi politik terkini mengindikasikan ada kaitan antara loyalitas dan royalitas dalam pembagian kue kekuasaan.
***Mencederai loyalitas
Bagi seorang pemimpin, loyalitas bawahan jelas menjadi hal penting untuk bisa menjalankan organisasi. Tanpa loyalitas, organisasi tidak bisa berjalan dengan efektif. Tidak mengherankan apabila seorang presiden mengingatkan soal loyalitas itu ketika melantik para menteri dalam kabinetnya.
Agaknya, belakangan ini loyalitas para pembantu presiden --yang kebetulan mendapat mobil dinas berupa Crown Royal Saloon--sedang diuji. Menarik untuk mencermati apakah sikap keras partai mitra koalisi, khususnya Golkar, PKS, dan PPP, dalam menyikapi kasus bailout Bank Century bisa dianggap mencederai loyalitas.
Banyak pengamat berpendapat koalisi sudah sangat rapuh. Tak sedikit pula usulan reshuffle serta penyusunan ulang peta koalisi. Pada intinya, dengan bahasa trade off, secara tak langsung banyak usulan untuk menimbang kembali pertukaran antara royalitas dan loyalitas. “Mestinya pakai mobil loyal saloon saja, kalau ada, biar loyal,” celetukku.
Bagaimana pun akhir wacana loyalitas, perlu jelas bahwa bagi rakyat, yang terpenting adalah semua pejabat, apa pun posisi dan kedudukannya, bisa berlaku royal sekaligus loyal terhadap rakyat. Rakyatlah boss yang sebenarnya dalam demokrasi, suatu muara bagi loyalitas sejati.
Mungkin kita perlu belajar kepada ahli kuliner, terutama cara membuat penikmat tape goreng selalu loyal terhadap randha royal.
Sebagaimana pisang goreng, makanan semacam ini sangat enak dinikmati dalam keadaan hangat bersama teh manis panas atau kopi sambil duduk bersantai.
Royal dalam bahasa Indonesia, mungkin adopsi dari bahasa Jawa, sering didefinisikan sikap murah hati, mau berderma, tidak banyak menghitung-hitung dalam pemberian. Orang yang royal adalah pemurah yang siap mendermakan banyak hal untuk orang lain. Itu sisi baiknya. Sisi buruknya, royal juga berarti boros dan dekat dengan istilah obral.
Entah mengapa makanan tape goreng itu diberi nama randha alias janda, dan digabung dengan kata royal alias siap mengobral harta bendanya. Saya tidak berhasil menemukan arsip yang menjelaskan asal-muasal penamaan makanan itu.
Dalam Bahasa Inggris, kata royal digunakan untuk menyebut kerabat kerajaan dan hal-hal yang terkait dengan kerajaan, memiliki kesan kemegahan serta kemewahan.
Meski berbeda-beda, kata royal paling tidak mengesankan orang atau pihak banyak harta yang tampil megah, cenderung boros, dermawan, dan rela memberikan harta benda kepada orang atau pihak lain.
Lalu bagaimana hubungan antara royal dan loyal yang hanya berbeda 1 huruf itu?
Loyalitas sering dimaknai sebagai kesetiaan, kesediaan untuk berbuat senasib sepenanggunangan, bersama-sama dalam suka dan duka. Akan tetapi, berbeda dengan kesetiakawanan, dalam loyalitas ada unsur subordinasi antara pihak yang loyal dengan pihak yang menerima loyalitas. Pada zaman Orde Baru dulu, ada istilah monoloyalitas pegawai negeri sipil. Istilah itu merujuk pada keharusan bagi pegawai negeri sipil dalam menentukan pilihan politik.
Nah, di sanalah ada pertemuan antara royalitas dan loyalitas. Sikap royal hanya dapat dilakukan oleh pihak yang memiliki banyak sumber daya alias superordinat, sementara sikap loyal dipersembahkan oleh subordinat. Pihak superordinat dapat memilih bersikap royal dengan harapan mendapatkan sikap loyal dari subordinat.
Di dalam politik, lazim ada trade off yang sering diterjemahkan sebagai dagang sapi. Suatu pertukaran. Praktik-praktik politik yang terjadi saat ini barangkali terlalu kasar untuk disebut sebagai dagang sapi.
Akan tetapi, pernyataan-pernyataan para pemuka partai terkait dengan koalisi dan kondisi politik terkini mengindikasikan ada kaitan antara loyalitas dan royalitas dalam pembagian kue kekuasaan.
***Mencederai loyalitas
Bagi seorang pemimpin, loyalitas bawahan jelas menjadi hal penting untuk bisa menjalankan organisasi. Tanpa loyalitas, organisasi tidak bisa berjalan dengan efektif. Tidak mengherankan apabila seorang presiden mengingatkan soal loyalitas itu ketika melantik para menteri dalam kabinetnya.
Agaknya, belakangan ini loyalitas para pembantu presiden --yang kebetulan mendapat mobil dinas berupa Crown Royal Saloon--sedang diuji. Menarik untuk mencermati apakah sikap keras partai mitra koalisi, khususnya Golkar, PKS, dan PPP, dalam menyikapi kasus bailout Bank Century bisa dianggap mencederai loyalitas.
Banyak pengamat berpendapat koalisi sudah sangat rapuh. Tak sedikit pula usulan reshuffle serta penyusunan ulang peta koalisi. Pada intinya, dengan bahasa trade off, secara tak langsung banyak usulan untuk menimbang kembali pertukaran antara royalitas dan loyalitas. “Mestinya pakai mobil loyal saloon saja, kalau ada, biar loyal,” celetukku.
Bagaimana pun akhir wacana loyalitas, perlu jelas bahwa bagi rakyat, yang terpenting adalah semua pejabat, apa pun posisi dan kedudukannya, bisa berlaku royal sekaligus loyal terhadap rakyat. Rakyatlah boss yang sebenarnya dalam demokrasi, suatu muara bagi loyalitas sejati.
Mungkin kita perlu belajar kepada ahli kuliner, terutama cara membuat penikmat tape goreng selalu loyal terhadap randha royal.
07 Maret 2010
Kekeliruan dalam adopsi dunia Google
Buku What Would Google Do karya Jeef Jarvis cukup memikat, kendati dalam berbagai hal tampak berlebihan.
Saya coba kutipkan beberapa hal yang terkait dengan masa depan koran dan wartawan. Ini merupakan kutipan sporadis, semoga tidak menyebabkan kekeliruan. Versi lebih utuh insya Allah kapan-kapan saya tulis dalam format yang berbeda.
Penulis sepakbola Inggris Rick Waghorn diberhentikan dari korannya di Norwich. Dia mulai menulis blog tentang sepakbola dan komunitasnya dengan beberapa kolega bisnisnya.
Koran lamanya memandang mereka sebagai pesaing. Bodoh. Koran itulah yang telah membangun merek dan pembaca Waghorn. Pada saat mereka memecat Waghorn, mereka kehilangan investasi tersebut berikut kontennya.
Seharusnya tidak perlu begitu. Sebaliknya, koran itu mestinya menjual iklan Waghorn dan mempromosikan situsnya. Koran itu bisa mengambil keuntungan dari keahlian, pekerjaan, reputasi, dan pembaca Waghorn tanpa harus membayar gajinya.
Sementara itu, Waghorn akan mampu membuat sebuah perusahaan. Setiap pihak menang. Kalau saya menjadi orang yang menjalankan koran itu, saya akan berinvestasi pada Waghorn. Saya akan membangun sebuah jaringan Waghorn.
Namun menjadi Waghorn tidaklah semudah itu. Tanpa koran bertindak sebagai promotornya, dia dan orang-orang seperti dia mengalami masa-masa sulit membangun jumlah minimal pembaca dan iklan yang mereka butuhkan.
Walaupun berkembang dalam era “yang kecil adalah yang besar berikutnya”, namun mungkin saja yang kecil itu terlalu kecil. (Hal 103)
***
Pada 2005, Los Angeles Times memutuskan untuk bergaya di dunia Internet dengan membuat wikitorial. Ini sebuah editorial di mana publik diundang untuk ikut serta menulis ulang.
Dalam waktu singkat, kualitas wacana pertama wikitorial turun ke tingkat kerusuhan penjara karena Times telah melakukan kesalahan fundamental: Wiki adalah sebuah alat yang digunakan untuk kolaborasi, tetapi tidak ada yang harus dikolaborasikan dalam topik wikitorial Times, yaitu perang Irak.
Saya melihat segala sesuatunya menjadi hancur dan saya menulis blog bahwa Times seharusnya lebih bijaksana dengan cara menciptakan dua wiki. Satu profesional dan satu lagi lawannya. Jadi terstruktur seperti debat Oxford.
Tantangan yang akan melawan kelompok banyak seharusnya: Beri kami kesempatan terbaik Anda dan biarkan pembaca yang menilai. Berbagai usulan brilian diajukan, termasuk dari pendiri Wikipedia Jimmy Wales, tetapi sudah terlambat.
Times sudah menusuk jantung wikitorial. Sejak saat itu, kalau orang bicara mengenai surat kabar interaktif, seseorang akan menunjuk titik bahaya wikitorial. (Hal 164)
04 Maret 2010
Tips mengunjungi pameran komputer
Pameran komputer makin sering digelar. Berdasarkan pengamatan di Jakarta dan Bandung, pengunjungnya kian hari kian padat. Jumlah stand juga terus meningkat. Jenis produk terus berkembang.
Saya sering merasa sayang untuk melewatkan mengunjungi pameran komputer, kendati hanya melihat-lihat sekilas. Dalam pameran-pameran di Indonesia sih rasanya tidak ada teknologi baru. Tapi banyak produk baru dan merek baru.
Makin hari, kegiatan mengunjungi pameran komputer makin membingungkan. Melelahkan dan bikin frustasi karena padatnya pengunjung dan luasnya tempat pameran. Beberapa hal yang saya rasa perlu diperhatikan ketika mengunjungi pameran komputer sbb:
1. Jangan mengajak anak kecil. Kasihan kalau cape’ dan berdesak-desak. Sebisa mungkin hindari hari libur atau akhir pekan karena jumlah pengunjung kemungkinan besar membeludak.
2. Bawa makanan, minuman, atau bekal. Harga makanan di sekitar lokasi pameran biasanya mahal banget. Bahkan makanan yang di bagian luar juga mahal dan bagi saya sering tidak mengundang selera.
3. Tentukan target apa yang akan dibeli. Survei dulu melalui Internet atau iklan untuk menentukan produk idaman yang ingin dikejar.
4. Kenali pembagian lokasi. Biasanya ada booth untuk merek-merek terkumuka. Ada juga lokasi untuk kumpulan penjual aksesori termasuk PC jangkrik. Aksesori ini bisa berupa kabel-kabel USB, mouse, flash memori, keyboard, tas, kertas foto, cartridge, dan sebagainya.
5. Kalau sudah menentukan produk idaman langsung saja tuju ke booth yang menyediakan merek itu. Bandingkan harga dengan booth lain. Kendati sudah menentukan merek, jangan menutup diri terhadap kemungkinan ada produk baru yang selama ini tidak tampak pada iklan. Seiring perkembangan pasar, banyak produk baru yang tidak tampak dalam iklan-iklan di koran.
6. Jangan terlalu lama di lokasi pameran. Makin lama akan makin melelahkan dan bisa-bisa membuat frustasi berdesak-desakan.
Semoga membantu.
Langganan:
Postingan (Atom)