18 Maret 2010

Serba tiga dari Pak KK


Pertengahan Februari lalu saya mendapat kesempatan ngobrol dengan Pak Kusmayanto Kadiman (KK, Kus). Senang sekali mendapat kesempatan menengok kantor beliau setelah tidak lagi menjadi menristek.

Sebagai orang yang merasa tidak sukses ketika kuliah, saya merasa bahwa bertemu dosen atau mantan dosen selalu membuat gugup alias ‘menakutkan’. Akan tetapi tidak demikian bagi saya ketika menemui Pak Kus. Gaya Pak Kus sama sekali tidak terasa mengintimidasi. Betapa mengasyikkan ada kesempatan bertemu mantan dosen tanpa merasa terbebani. Dalam jangka satu pekan saya mendapat kesempatan dua kali bertemu.

(Untungnya lagi, dulu saya tidak pernah mengambil mata kuliah yang diajar Pak Kus. Jadi, setidaknya, beliau, dulu, barangkali, tidak sempat menyadari betapa bodohnya saya. Dulu, kalau secara tak sengaja sedang bimbingan ke Pak Deddy di Ganesha 15 lalu ketemu Pak Kus, saya suka grogi dengan celetukan-celetukannya, hehehe)

Dari cerita ngalor-ngidul yang diselingi Jumatan dan makan siang pada Februari itu, ada banyak hal menarik terungkap. Salah satunya soal pola perjalanan karier mantan rektor ITB dan mantan dosen Teknik Fisika itu. Mungkin kita bisa menyebutnya sebagai siklus tiga tahunan. Hampir semua karier Pak Kus hanya dijalaninya dalam waktu tiga tahun (kuliah tidak termasuk). Setiap tiga tahun ganti jabatan atau bahkan pekerjaan.

“Saya tidak tahan lama di suatu tempat. Baru jadi Menteri ini saja, saya bisa tahan sampai lima tahun. Lainnya paling lama tiga tahun,” akunya. Dan beginilah bagian cerita lainnya:

***
Pak Kus menyelesaikan kuliah S1 di Teknik Fisika ITB selama 4,5 tahun. Menurut Pak Kus, proses ini tidak bisa tiga tahun karena programnya memang sepanjang itu. “Target saya waktu itu adalah tepat waktu. Yang penting tidak ngulang (mata kuliah). Nilai tidak masalah. Nilai saya tidak fantastis. Semua nilai, kecuali E dan F, pernah saya alami.”

Sekolah S2 dan S3 ditempuh dalam waktu 4,5 tahun, tetapi di dua tempat. Dua tahun di Sydney, dua setengah tahun di Canberra karena profesornya pindah kampus. “Profesornya pindah saya ikut pindah.”

Pak Kus pulang dari luar negeri, Februari 1988. Sebentar kemudian ditunjuk jadi pelaksana tugas PINK (Pascasarjana Instrumentasi dan Kontrol, Teknik Fisika ITB). “Murid angkatan pertama program itu salah satunya Suharna (Menristek saat ini).”

Menjelang tiga tahun, yaitu pada akhir 1989, Pak Kus diusulkan untuk menjadi direktur Pusat Komputer ITB. “Saya tadinya mau nolak. Dengan halus saya bilang, kalau digabung Piksi dan Puskom saya mau. Satu teknologinya satu pendidikannya,” kata Pak Kus.

“Sombong sekali kamu,” kata Pak Arifin Wardiman yang mengusulkan nama Pak Kus kepada Rektor ITB.

Usulan pak Arifin itu disetujui Pak Wiranto Arismunandar, rektor ITB saat itu. Pak Wiranto sudah mengenal Pak KK melalui Pak Saswinadi yang dianggap guru oleh Pak KK. (Cerita tentang hubungan Pak Sas dan Pak KK dapat dibaca dalam buku Bentang Ego Alunkan Simfoni)

"Kus, Senin kamu saya lantik pimpin gabungan Puskom dan Piksi,” kata Pak Wiranto.

Pak Arifin tidak mengizinkan Pak Kus keluar dari PINK. “Waduh, gaji kecil, kerjaan banyak sekali, tidak ada proyek. Tapi ya itu pengabdian.”

Tugas sebagai Direktur Piksi dan Puskom selesai dalam tiga tahun, berakhir pada 1993. “Saya tidak mau terus jadi Ketua Piksi karena saya merasa miskin. Saya tidak punya rumah. Kasih saya rumah deh Pak,” pinta pak Kus ke rektor.
“Enggak bisa Kus, kamu telat lahir,” kata Pak Wiranto.

Lalu bergilah pak KK ke swasta selama 3 tahun. (cerita tentang ini juga ada di buku BEOS)

“Tiga tahun kurang dua minggu saya menghadap ke Wiranto (rektor). Saya sudah punya rumah, punya BMW, mercy dan tabungan dalam dollar. Kembali ke kampus saya membangun Laboratorium Kontrol (labkon, di Teknik Fisika).”

Baru dua tahun memimpin labkon, pak Kus diminta rektor untuk pegang Pusat Pengembangan Teknologi (PPT). “Enggak jelas mau ngapain ini. Akhirnya saya pilih teknologi untuk mendukung teknologi seni rupa karena banyak yang jago di situ. Itu sampai 1997, belum 3 tahun.”

***Menjadi rektor
Berikut ini kutipan langsung cerita Pak Kus tentang proses menuju kursi rektor ITB.

“Pak Lilik Hendrajaya (rektor) minta saya jadi sekretaris rektor. Saya bilang prek dengan nama jabatan, yang penting apa tantangannya. Tantangannya membangun kerja sama internasional. Deal, jadi ada dua sekretaris. Sekretaris rektor bidang dalam negeri dan kehumasan yaitu Pak Doddy Abdasah. Saya pegang international cooperation. Saat itulah ITB mulai masuk ke Asia Uninet, Unet, membangun network di Asean, Eropa, dan sebagainya.

Tetapi kesalahan saya anak muda yang penuh semangat tidak pandai membuat bahwa sukses itu adalah sukses pimpinan.

Sebagai anak buah harusnya saya membuat sukses saya adalah sukses pimpinan. Lalu kantor saya mau ditutup dengan cara bujet ditekan jadi nol.

Pada 2001 saya ditawari jadi pembantu rektor 4 tetapi saya tolak karena saya mau maju jadi rektor. Saya ingin jadi rektor termuda, rektor pertama dan satu-satunya tanpa professor, rektor pertama sejak BHMN.

Nah, tahun 2001 itu jadi golden bagi saya. Untuk mengejar itu, saya belajar bagaimana pede, bagaimana pidato. Sampai ikut kursus-kursus pidato, di Jakarta. Saya iku program basic, advanced, serta leadership selama 3 bulan.

Di situ saya berani tampil. Arogansi dikurangi tanpa mengurangi pede. Walaupun orang bilang saya tetap arogan. Tapi menurut saya itu sudah berkurang banyak dibandingkan dulu.

Saya jadi pede, berani pidato. Dulu tdak berani kalau tidak pegang kertas di depan publik. Sekarang, alhamdulillah, bicara dua jam tanpa teks, hayo.

Tahun 2001 majulah saya jadi rektor. Ketika 15 besar saya no 7, dari 5 besar saya nomor 3, dari 3 besar saya nomor 1. Saya jadi rektor tidak lebih dari 3 tahun. Persisnya 3 tahun kurang 2 minggu, dari 9 Nov 2001-22 Oktober 2004.

Jadi angka tiga itu jarang saya lewati.