Di daerah Jawa Tengah dan Yogya, ada penganan yang diberi nama randha royal. Randha royal adalah tape singkong yang digoreng dengan balutan tepung terigu, mirip dengan pisang goreng tepung.
Sebagaimana pisang goreng, makanan semacam ini sangat enak dinikmati dalam keadaan hangat bersama teh manis panas atau kopi sambil duduk bersantai.
Royal dalam bahasa Indonesia, mungkin adopsi dari bahasa Jawa, sering didefinisikan sikap murah hati, mau berderma, tidak banyak menghitung-hitung dalam pemberian. Orang yang royal adalah pemurah yang siap mendermakan banyak hal untuk orang lain. Itu sisi baiknya. Sisi buruknya, royal juga berarti boros dan dekat dengan istilah obral.
Entah mengapa makanan tape goreng itu diberi nama randha alias janda, dan digabung dengan kata royal alias siap mengobral harta bendanya. Saya tidak berhasil menemukan arsip yang menjelaskan asal-muasal penamaan makanan itu.
Dalam Bahasa Inggris, kata royal digunakan untuk menyebut kerabat kerajaan dan hal-hal yang terkait dengan kerajaan, memiliki kesan kemegahan serta kemewahan.
Meski berbeda-beda, kata royal paling tidak mengesankan orang atau pihak banyak harta yang tampil megah, cenderung boros, dermawan, dan rela memberikan harta benda kepada orang atau pihak lain.
Lalu bagaimana hubungan antara royal dan loyal yang hanya berbeda 1 huruf itu?
Loyalitas sering dimaknai sebagai kesetiaan, kesediaan untuk berbuat senasib sepenanggunangan, bersama-sama dalam suka dan duka. Akan tetapi, berbeda dengan kesetiakawanan, dalam loyalitas ada unsur subordinasi antara pihak yang loyal dengan pihak yang menerima loyalitas. Pada zaman Orde Baru dulu, ada istilah monoloyalitas pegawai negeri sipil. Istilah itu merujuk pada keharusan bagi pegawai negeri sipil dalam menentukan pilihan politik.
Nah, di sanalah ada pertemuan antara royalitas dan loyalitas. Sikap royal hanya dapat dilakukan oleh pihak yang memiliki banyak sumber daya alias superordinat, sementara sikap loyal dipersembahkan oleh subordinat. Pihak superordinat dapat memilih bersikap royal dengan harapan mendapatkan sikap loyal dari subordinat.
Di dalam politik, lazim ada trade off yang sering diterjemahkan sebagai dagang sapi. Suatu pertukaran. Praktik-praktik politik yang terjadi saat ini barangkali terlalu kasar untuk disebut sebagai dagang sapi.
Akan tetapi, pernyataan-pernyataan para pemuka partai terkait dengan koalisi dan kondisi politik terkini mengindikasikan ada kaitan antara loyalitas dan royalitas dalam pembagian kue kekuasaan.
***Mencederai loyalitas
Bagi seorang pemimpin, loyalitas bawahan jelas menjadi hal penting untuk bisa menjalankan organisasi. Tanpa loyalitas, organisasi tidak bisa berjalan dengan efektif. Tidak mengherankan apabila seorang presiden mengingatkan soal loyalitas itu ketika melantik para menteri dalam kabinetnya.
Agaknya, belakangan ini loyalitas para pembantu presiden --yang kebetulan mendapat mobil dinas berupa Crown Royal Saloon--sedang diuji. Menarik untuk mencermati apakah sikap keras partai mitra koalisi, khususnya Golkar, PKS, dan PPP, dalam menyikapi kasus bailout Bank Century bisa dianggap mencederai loyalitas.
Banyak pengamat berpendapat koalisi sudah sangat rapuh. Tak sedikit pula usulan reshuffle serta penyusunan ulang peta koalisi. Pada intinya, dengan bahasa trade off, secara tak langsung banyak usulan untuk menimbang kembali pertukaran antara royalitas dan loyalitas. “Mestinya pakai mobil loyal saloon saja, kalau ada, biar loyal,” celetukku.
Bagaimana pun akhir wacana loyalitas, perlu jelas bahwa bagi rakyat, yang terpenting adalah semua pejabat, apa pun posisi dan kedudukannya, bisa berlaku royal sekaligus loyal terhadap rakyat. Rakyatlah boss yang sebenarnya dalam demokrasi, suatu muara bagi loyalitas sejati.
Mungkin kita perlu belajar kepada ahli kuliner, terutama cara membuat penikmat tape goreng selalu loyal terhadap randha royal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar