22 Maret 2010

Menghargai kemalasan & kelambatan


Jagad raya beroperasi mengikuti asas tindakan terkecil atau the principle of least action. Dalam segala hal, alam ini memilih pelepasan energi sekecil mungkin, sehemat mungkin.

Itu merupakan prinsip dasar yang disepakati oleh para ahli Fisika. Air mengalir ke posisi yang lebih rendah, lintasan dari bola yang dilempar ke udara tidak berkelok-kelok, semua mengikuti prinsip tersebut.

Berdasarkan prinsip itu, Fred Gratzon menafsirkan jagad raya sebagai pemalas dan menyukai serta mendukung kemalasan. Alam tidak menyukai kerja keras. Kerja keras hanya menghasilkan stress dan penderitaan. Kemalasanlah yang akan berbuah sukses.

Begitulah Gratzon mencoba membalik cara berpikir yang telah turun-temurun disepakati di sebagian besar belahan dunia bahwa kesuksesan adalah buah kerja keras. Buku Malas Tapi Sukses (The Lazy Way to Success) adalah penjelasan mengenai pandangan yang berada di luar arus utama itu.

Menurut dia, bekerja adalah hal yang tidak alamiah. Serangan jantung, sakit kepala, kemacetan, keluarga tidak harmonis, insomnia, pola makan tidak teratur, adalah buah dari kerja. Bekerja, bagi Gratzon, adalah pangkal dari berbagai jenis penderitaan.

Jalan terbaik untuk menjalani hidup, katanya, adalah malas. Dunia menjadi maju justru karena orang malas, bukan karena bekerja keras. Orang mendapatkan cara-cara yang lebih efisien, kreatif, menghasilkan banyak penemuan, justru karena menghindari kerja keras.

Akan tetapi, malas bukan berarti tidak melakukan apa pun. Gratzon memaknai kerja sebagai kegiatan yang didasarkan keterpaksaan, menimbulkan stress, tekanan jiwa, memicu penyakit jantung serta depresi. Sebagai lawan dari itu, kemalasan dimaknai sebagai mengerjakan sesuatu dengan kegembiraan, cinta, sepenuh hati, sebagaimana orang sedang menjalani permainan.

Orang akan sukses bila melakukan kegiatan berdasarkan kegembiraan dan suka cita serta cinta, dan tidak akan sukses jika bekerja dalam keadaan tertekan.

Oleh sebab itu, sebagai cara untuk mengubah kemalasan menjadi sukses adalah dengan melakukan apa yang menjadi panggilan jiwa. Gratzon mengajukan usul mengenai bagaimana mengenali panggilan jiwa atau panggilan kehidupan, bagaimana menangkap ilham-ilham jenius lewat kemalasan, mencari keberuntungan, bagaimana berdamai dan memaknai kegagalan agar dapat diubah menjadi sukses, dan berbagai trik lain yang dianggapnya identik dengan kemalasan.

Pada ujung belakang, dia mengajukan banyak paparan mengenai perlunya yoga dan meditasi untuk menangkap ilham dan menghayati kemalasan.

Buku Gratzon ini tampil unik dengan banyak ilustrasi yang digarap apik oleh Lawrence Sheaff. Buku ini banyak mengajukan pertanyaan menggugah yang terkait dengan kerja keras, kemalasan, serta implikasi-implikasinya terhadap kehidupan. Sayangnya, tidak semua pertanyaan itu dijawabnya dengan memuaskan. Salah satu yang bagi saya agak mengganjal adalah soal bagaimana menemukan panggilan hidup.

****Cara lambat
Buku tulisan Gratzon itu senada dengan buku In Praise of Slow karya Carl Honore. Sama-sama mengajukan premis yang bertentangan dengan pandangan arus utama. Jika Gratzon membahas soal kemalasan sebagai lawan kerja keras, Honore membahas soal perlunya kelambatan sebagai lawan dari sikap serba terburu-buru serta pandangan bahwa ‘lebih cepat lebih baik’.

Honore memamparkan perlunya orang menghentikan sikap tergesa-gesa karena ketergesaan telah menimbulkan banyak sekali penderitaan dan bahaya yang tidak perlu.

Beberapa hal yang menurut dia jelas-jelas perlu dilakukan dengan lebih lambat adalah makan, membangun kota, pengobatan, dan sex. Dia juga mengajukan usul tentang perlunya orang bekerja lebih santai, mengoptimalkan waktu luang, serta tidak menggesa pertumbuhan anak-anak.

Akan tetapi, Honore mengingatkan bahwa lambat tidak sama dengan pelan. Lambat dalam versi Honer, saya kira lebih dekat dengan jenak atau tuma’ninah dalam melakukan aktivitas.

Honore memaknai cepat sebagai sibuk, agresif, bergegas, analitis, penuh tekanan, dangkal, tak sabar, aktif, kuantitas mendahului kualitas. Adapun lambat dimaknai sebagai kebalikannya: tenang, hati-hati, reseptif, diam, intuitif, tidak tergesa-gesa, sabar, reflektif, dan kualitas mendahului kuantitas. Lambat juga berarti menjalin hubungan yang nyata dan berarti dengan orang lain, dengan budaya, dengan pekerjaan, makanan, dan segalanya.

Nah, kita selalu mengeluh kehabisan waktu, tetapi masih banyak menghabiskannya untuk menonton televisi. Setiap saat harus mengecek BlackBerry yang mengirimkan ratusan email dan notifikasi jejaring sosial. Alat ini seolah membuat segala hal menjadi urgent (mendesak) untuk dijawab dan diselesaikan. Bangun tidur harus mengecek jam dan memastikan deadline tidak terlewati. Hidup terasa begitu gaduh dan serba kepepet. Di era yang sangat tergesa-gesa seperti saat ini, membaca dua buku di atas tentulah sangat menarik.

Dua buku di atas memberikan saran yang sama bagi upaya membangun ketenangan: meditasi dan yoga.

Saya kira, bagi muslim, jawabannya justru lebih mudah: sholat yang khusyu’ dan tuma’ninah. Embuhlah kebenarannya.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Keduanya mengingatkan kita akan hal-hal yang dilakukan manusia modern tetapi sebenarnya tidak apa-apa jika tidak dilakukan. Banyak kebutuhan2 (baca: pekerjaan2) yang tumbuh masa kini yang pada ujungnya bermuara hanya pada pemenuhan kebutuhan naluriah yang sudah dilakukan manusia beribu2 tahun lalu yaitu: sandang, pangan, papan. Kerumitan justru dimulai saat manusia menemukan alat (cara) untuk menuntaskan kerumitan. Dan kerumitan-kerumitan itu mendorong manusia untuk cemas dan berpikir lebih keras lagi...

Setyardi Widodo mengatakan...

terima kasih mas Sunu. manusia memang biasa mencoba mengatasi kerumitan dengan kerumitan yang lain agaknya...

Achmad Hazmy mengatakan...

manteb , itu sudah diajarkan dalam Islam 14 abad yang lalu ...