28 April 2008

ISS08, bagian keenam: Gadget wartawan


Ada 11 wartawan non-Thailand yang ikut acara Intel Solutions Summit 2008 (ISS08) di Bangkok pekan lalu. Sebagian besar (kalau tidak seluruhnya) adalah orang yang sehari-hari meliput bidang teknologi informasi. Beberapa di antaranya memang berasal dari media bidang TI.

Dua wartawan dari Australia, satu di antaranya perempuan, tidak tampak membawa gadget atau barang tentengan yang canggih. Bahkan Julia, si cewek, merekam dengan tape recorder kaset besar yang terkesan kuno. Saya tahu karena kami sama-sama mewawancarai Tom Rompone dalam satu meja.

Dua wartawan dari India, satu di antaranya cewek, juga tidak tampak membawa perangkat yang canggih atau unik.

Dua wartawan dari Taiwan tampak sangat asyik dengan kamera besar SLR. Hampir setiap slide dipotret. Si cowok adalah seorang managing editor pada salah satu media yang membahas peranti keras. Dia menggunakan ponsel Treo 650 yang masih memiliki antena.

Adapun si cewek adalah reporter. Ketika dia lihat saya mengeluarkan Eee PC, dia langsung bilang,”Eee PC,” sambil tersenyum.
Sewaktu ada kesempatan duduk satu meja, dia bilang bahwa dia punya Eee PC warna putih dengan memori 4GB. ”Asustek memberi setiap wartawan satu Eee PC.”
Mbak Monica ini banyak bertanya (meski lewat penerjemah) dan tampak sangat antusias. Dia juga mencantumkan alamat MSN pada kartu namanya.

Dua wartawan dari Filipina tampak sangat santai. Satu di antaranya membawa notebook dan bahkan membuka YahooMail saat satu presentasi sedang berlangsung. Satu lagi membawa perekam digital kecil sekaligus sebagai pemutar musikMP3.

Satu wartawan dari Malaysia menggunakan ponsel Sony Ericsson seri K (mungkin K800) serta PDA Ipaq (versi agak lawas, tetapi lebih baru dari punyaku, warna hitam kotak ukuran 4 inci. Saya lupa serinya).

Wartawan dari Vietnam, tampaknya masih sangat muda, juga asyik dengan kamera (sama dengan wartawan Taiwan maupun wartawan Vietnam lain yang kutemui tahun lalu di Jepang). Teman dari Vietnam ini menggunakan ponsel O2 yang memiliki papan ketik geser.

Saya tidak melihat satu pun wartawan di sini yang menggunakan Blackberry. Juga tidak ada yang menggunakan Nokia Communicator. Bahkan waktu di lift saya ketemu Steve Dallman, salah satu petinggi Intel, masih menggunakan Blackberry model lama (mungkin seri 87xx).

26 April 2008

ISS08, bagian kelima: Balada TKI "R"


Konter check in Garuda baru dibuka mendekati jam 24.00, dua setengah jam sebelum keberangkatan pesawat. Setelah check in saya pun masuk, lalu mampir minum teh hangat serta berjalan-jalan di area pertokoan.

Semula saya menduga bahwa jumlah penumpang Garuda kali ini seperti halnya waktu berangkat, kurang dari 30 orang. Akan tetapi sewaktu boarding saya terkejut, ada banyak sekali orang yang sudah masuk. Sebagian besar penumpang wanitanya memakai pakaian hitam dan berkerudung. Sebagian berbicara dalam bahasa Indonesia serta bahasa Jawa.

Salah satu penumpang pria berteriak dalam bahasa Jawa di dekat pintu boarding, “Jangan pisah-pisah, nanti kamu susah masuk, soalnya paspornya bareng-bareng.”

Sewaktu masuk pesawat saya tanya pramugari di depan pintu, “Wah penumpangnya padat, Mbak.”
'Iya pak, ada rombongan dari Jeddah. Tumben-tumbenan ini.”

Entah mengapa saya diberi tempat duduk 22D, hampir di ujung belakang, bersama para rombongan dari Jeddah ini. Para penumpang non-TKI lainnya setahu saya mendapat posisi di bagian depan. Saya terkepung di antara 'lautan' TKI.

***
Perempuan di sebelah saya bernama R, orang Bojonegoro kelahiran tahun 1977. Saya tahu nama dan tanggal lahirnya karena saya ikut membantu menuliskan formulir kedatangan dan pernyataan untuk bea cukai.

R sudah tiga tahun berada di Saudi Arabia. Ini merupakan kepulangannya pertamakali dan dia tidak berminat kembali ke Saudi. Satu tahun pertama, katanya, dia tidak digaji oleh majikannya. Lalu tahun berikutnya dia dibayar secara bulanan. Tetapi dia mengaku uangnya habis untuk kebutuhan sehari-hari. “Yang jahat itu telepon Mas, bayarnya mahal.”

R sudah punya anak yang kini berusia enam tahun dan tinggal bersama orangtuanya di Bojonegoro. Suaminya belum lama ini menceraikannya dan kawin lagi. “Saya tidak keberatan dia kawin lagi, tetapi cara menceraikannya yang membuat saya dan orangtua tersinggung. Saya kan bukan orang yang ditemui di jalan waktu dinikahi dulu.”

***
Menurut R, dia berangkat dari penampungan TKI sejak Selasa sore. Rabu pagi naik pesawat dari Jeddah ke Oman. Di sana istirahat satu hari. Sampai Bangkok Kamis pagi, lalu berangkat dari Bangkok Jumat pagi. Begitu lamanya perjalanan sehingga R bahkan sudah tidak tahu persis ini hari apa tanggal berapa.

Di Bangkok inilah dia bertemu dengan rombongan lain yang jumlahnya lebih banyak dan sama-sama ke Jakarta. Dia tidak tahu persis berapa orang dalam rombongan besarnya ini.

Di Oman, katanya, ada yang memberi mereka makan dan penginapan. Tetapi di Bangkok ini tidak ada sama sekali. Dia mengaku badannya tidak sehat. Di penampungan TKI sebelum berangkat dia sempat sakit panas tinggi.

Saya lihat sebagian besar TKI yang ada di pesawat dalam kondisi kurang sehat. Batuk-batuk, kelelahan, serta banyak yang mabok, termasuk yang di sebelah R, selang satu bangku dari kursiku.

Para TKI kebingungan ketika harus mengisi formulir kedatangan. Pertama karena hampir tidak ada yang membawa pena. Maka penaku pun beredar dari satu bangku ke bangku lain, dan baru kembali setelah pesawat berhenti.

Masalah lainnya adalah satu paspor digunakan untuk 12 orang. Jadi mereka tidak tahu nomor paspor dan masa berlaku masing-masing kecuali orang yang memegangnya. Dan posisi duduk dari tiap 12 orang itu terpencar-pencar.

Menurut R, paspor itu dibuat oleh petugas kedutaan/konsulat ketika mereka berada di penampungan karena paspor dari Indonesia ditahan oleh majikan. Orang dalam rombongan ini, katanya, adalah orang-orang yang melarikan diri dari majikannya.

“Kalau yang menyerahkan diri seperti saya sudah punya persiapan. Tetapi kalau yang masuk penampungan karena ditangkap polisi mereka tidak punya apa-apa. Uang juga tidak punya. Saya menyerahkan diri karena sudah tiga tahun di sana, sudah boleh pulang.”

R berada di penampungan selama dua pekan. Di penampungan itu, menurut R, ada bermacam-macam orang. “Ada yang hamil, membawa anak kecil, dan bahkan ada yang gila. Untung di rombongan ini tidak ada yang membawa anak kecil.”

Mbak R ini tidak tahu bagaimana dia akan menempuh perjalanan dari Cengkareng ke Bojonegoro. Barang-barang berharganya, seperti Nokia N73, sudah dikirim melalui kargo untuk menghindari pemerasan atau perusakan barang di bandara.


***
Pesawat mendarat di Cengkareng jam 06.00 sesuai jadwal. Saya lihat beberapa orang TKI yang ada di depan saya tidak mengalami masalah dengan imigrasi.

Begitu ambil bagasi, saya langsung ke luar, menunggu bus bandara. Pagi itu udara cerah, bus jurusan kampung rambutan hampir kosong. Jalan melewati pusat kota Jakarta masih sepi, belum macet.

Allah menunjukkan padaku betapa banyak orang yang jauh lebih menderita. Pergi ke negeri yang jauh tanpa kejelasan nasib, malah kehilangan banyak hal-hal yang paling berharga, dan menempuh perjalanan lama dan jauh dalam penderitaan.

Duh, nasib bangsaku, para tetanggaku.

25 April 2008

ISS08 bagian keempat: Paradoks dan keramahan orang Thailand


Dalam acara Gala Dinner Intel Solutions Summit 2008 (ISS08) tadi malam, saya melihat paradoks orang Thailand. Menjelang pintu masuk ke Centara, Bangkok Convention Center, peserta disambut dengan sejumlah tarian. Kalau tidak salah ada lima kelompok penari masing-masing kelompok terdiri atas dua penari dan satu pengiring yang duduk. Meraka seolah-olah ingin menunjukkan kelembutan perempuan dan anak-anak Thailand.

Acara dibuka dengan tarian para bencong, lelaki yang berpakaian dan bergaya perempuan. Lalu di tengah acara diisi dengan tarian kekerasan. Ada tiga pasang lelaki yang berkelahi. Perkelahian pertama antara dua orang bersenjata bambu. Perkelahian kedua antara dua orang bersenjata pedang. Adapun perkelahian ketiga, yang paling lama, antara dua orang setengah telanjang tanpa senjata yang mempertunjukkan Thai Boxing alias Muathai.

Inilah yang saya sebut paradoks Thailand. Ada lelaki yang begitu gemulai di awal acara, dan ada yang begitu macho dengan penampilan penuh kekerasan di tengah acara.

Berhubung saya sudah ngantuk dan acara gala dinner itu menyebalkan (makan sepotong-sepotong begitu lamadengan hidangan yang sama sekali tidak menarik lidahku, saya tinggalkan sebelum selesai. Lagian saya harus hemat energi untuk 'keleleran' pada hari berikutnya.

***
Acara resmi untuk Kkmis pagi tidak banyak. Hanya ada satu presentasi soal pemasaran online dari dua mitra Intel, serta satu workshop soal Intel Classmate. Semua sudah kelar jam 11.30

Sejak pagi saya sudah mengemasi barang. Jadi begitu selesai acara saya langsung check out. Jam 11.45 semua sudah selesai. Saya tinggalkan tas besar di hotel, dan dimulailah petualangan tanpa arah.

Saya mencoba jalan-jalan sesuai lokasi yang disampaikan Na, wartawan The Bangkok Post, via SMS yaitu ke daerah Maboonkrong alias MBK. Udara siang itu terasa luar biasa panasnya. Jauh lebih panas dan lebih menyengat dibandingkan dengan udara Jakarta.

MBK itu sebuah mall besar. Banyak orang berjualan pakaian, sepatu, sandal, souvenir, topi, ponsel, makanan dan sebagainya. Saya keliling-keliling lalu membeli satu topi Jepang dan dua buah rok panjang. Setelah tiga jam jalan-jalan, kaki ini terasa lelah dan pegal sekali. Saya pun mampir ke Mc D, makan kentang goreng dan minum coca cola. Saya duduk-duduk selama sekitar satu jam sambil mencoba tidur, tetapi tidak bisa.

Pukul empat lebih sedikit saya meninggalkan MBK. Sebelumnya sempat sholat dulu. Ternyata udara di luar masih terasa sangat panas. Pada saat saya jalan-jalan tanpa arah itu tak terasa K mengontak lewat SMS. Saya baru sadar ketika sampai di Siam Center, sebelah Siam Paragon,hampir setengah jam kemudian.

***
Menjelang jam lima saya baru menjawab SMS K dan memastikan di mana bisa bertemu. Dalam masa menunggu itu turun hujan. Tampaknya di Bangkok ini hujan sering terjadi sore hari setelah siang yang menyengat. Mirip dengan Jakarta.

K tiba sekitar jam setengah enam. Sosoknya tidak banyak berbeda dibandingkan Juni tahun lalu waktu kami bertemu di Jepang. Sebenarnya selama di Jepang saya tidak cukup akrab dengannya. Dan selama ini jarang juga berkontak. Eh, tapi ternyata dia yang pertamakali bertemu kembali. Dan kami adalah peserta 30th NSK-CAJ Fellowship Program lintasnegara yang pertama melakukan reuni.

Dia mengajakku minum kopi di Starbuck. Wah kasihan juga sebenarnya dia ini, wong ke mana-mana naik bus kok malah nraktir di tempat yang mahal. Dia bahkan membelikan oleh-oleh dan menyambutku dengan penuh keramahan.

Selain bertukar cerita, kami juga mengontak Gina di Filipina dan Thanh di Vietnam, mengabarkan bahwa kami sudah bertemu. Reuni virtual lah.

Rupanya liputan K ini bidang wisata, transportasi, travel dan semacamnya. Dan saya baru tahu kalau dia sebentar lagi akan pindah kerja, tidak lagi di The Nation.

Kantornya jauh dari tempat kami bertemu. Dan rumah kontrakannya jauh dari kantor dan jauh pula dari tempat kami bertemu.

Menjelang jam delapan saya kembali ke hotel. K mengantar jalan kaki sampai saya mengambil barang-barang yang saya titipkan di hotel dan memesan taxi. Dia belum beranjak sampai saya masuk ke dalam taxi.

K benar-benar menunjukkan keramahan orang Thailand.

***
Sebelum pukul sembilan malam saya sudah tiba di Suvarnabhumi Airport. Sopir taxi kali ini sangat berbeda dibandingkan dengan sopir yang mengantarku tiba beberapa waktu lalu.

Petugas di hotel mengatakan taxi ini pakai meter alias argo. Tetapi begitu aku masuk, dia minta saya bayar 500 baht. Wah mahal banget. Saya nego akhirnya jatuhnya 400 baht dan toll dia yang bayar.

Sewaktu turun saya minta kuitansi dia tidak mau kasih. Katanya taksi tidak ada kuitansi. Wah parah sekali. Benar-benar gawat naik taxi di Bangkok ini.Untung saya kemarin pas malam-malam tidak ketemu yang terlalu aneh begini.

***
Masih ada waktu enam jam menunggu penerbangan Garuda jam 02.30. Mau check in konternya belum buka. Jadi tiga tas ini masih harus saya bawa ke mana-mana. Saya mencoba tidur,tidak bisa.

Saya buka sepatu dan kaus kaki biar agak santai. Ada bagian yang agak bengkak (karena terlalu banyak jalan dan bergesakan dengan sepatu, hehehe. Maklum sehari-haripakai sepatu hanya saat berangkat dan pulang kerja sih)

Untuk mengisi waktu kosong ini saya coba tulis cerita ini. Sekarang jam 22.35 waktu Bangkok (sama dengan waktu Indonesia)

23 April 2008

ISS08 bagian ketiga: Sibuk dan siap 'menggelandang'?



Rabu merupakan hari yang sibuk bagiku karena hari ini acara utama Intel Solutions Summit 2008 (ISS08) dimulai.

Pagi-pagi saya ke press room untuk akses Internet. Rungan sepi sekali. Belum ada wartawan lain sama sekali. Tiba-tiba ada petugas hotel menyapa,”Pak Setyardi,ya?”

Saya kaget. Ternyata petugas itu adalah Pak Sammy, orang Indonesia yang bekerja di hotel tersebut. Saya pun berikan kartu nama. Dia lagi tidak bawa kartu nama.Dia hanya bilang dulu tugas di Bali dan sekarang di Grand Hyatt Bangkok.

Beberapa saat kemudian dia datang kembali membawa kartu nama. Ternyata Pak Sammy Carolus ini adalah salah satu direktur di hotel ini. Wah.
“Kalau ada apa-apa hubungi saya ya Pak,” katanya.

***
Jam setengah sembilan sesuai jadwal, acara dimulai. Ternyata acara untuk wartawan berbeda dengan acara utama. Kami 'diasingkan' dengan acara yang full terpisah. Jadi kami tidak bisa melihat dan mengikuti keynote speech seperti yang ada di jadwal. Saya juga sama sekali tidak ketemu orang Indonesia yang mengikuti acara Intel ini, wong beda tempat.

Intel mengajak 11 wartawan non-Thailand serta 7 wartawan lokal untuk meliput acara ini. Saya satu-satunya wartawan ras melayu. wartawan lainnya memiliki ras India, China, Indo China, serta bule (Australia).

Acara untuk wartawan ini sangat padat. Presentasi silih berganti. Menjelang sore melihat-lihat pameran. Tetapi melihat-lihat tidak bisa sembarangan sebab semua dikasih kuisioner yang harus diisi. Kami harus menilai beberapa produk peserta pameran yang ditunjuk. Sebal deh.

Setelah itu masih ada group interview. Mandi sebentar, lalu ada acara lagi sampai malam di lokasi yang berbeda, di luar hotel.

***
Capek sekali rasanya. (Apalagi ada beban menulis berita untuk dotcom dan edisi cetak. Juga kirim foto, hehehe)
Tapi tidak apa-apa. Ada hal yang lebih mencemaskan lagi. Besok ada acara sampai jam 12.
Dan setelah itu harus langsung check out. Sesuai keterangan tertulis dari panitia, check out terakhir jam 12.Kalau mau extend bayar sendiri US$244++. Waduh.

Mencemaskan karena pesawatku baru berangkat Jumat pagi jam 02.30. Jadi di mana aku harus mandi, sholat, makan bekal dan indomie yang kubawa ini?

Aku males lah ngomong dengan panitia, wong jelas-jelas sudah ditulis begitu. Ntar dikira kampungan, ndesit.

Yang salah itu pesanan tiketnya, kenapa mesti pakai Garuda yang jadwalnya hanya satu kali sehari dari dan ke Bangkok. Kenapa tidak pesan penerbangan lain yang 'lebih manusiawi'? Mungkin karena murah?

Aku juga belum dapat kejalasan dari K, wartawan The Nation yang tahun lalu sama-sama jadi peserta NSK-CAJ Fellowship Program di Jepang, apakah dia mau mengajakku jalan-jalan atau tidak.

Bagaimana aku harus mengisi 15 jam di sini tanpa kamar, tanpa akses Internet? Entahlah. Kita tunggu saja perkembangan besok. Hehehe.
Semoga Allah berkenan memberi kemudahan.

Intel Solutions Summit 2008, bagian kedua: Hotel dan pasar


Grand Hyatt Erawan tempat saya menginap ini merupakan hotel bintang lima di pusat kota Bangkok. Tidak jauh dari hotel ini ada hotel Intercontinental, Four Seasons dan sebagainya.

Semua hotel di sekitar sini melakukan pemeriksaan terhadap mobil yang masuk. Satpam membuka bagasi dan memeriksa bagian bawah menggunakan cermin yang berlengan panjang. Bedanya, kalau di Jakarta banyak hotel dan perkantoran dilengkapi tempat pemeriksaan dengan portalpemeriksaan yang seperti benteng, di sini tidak. jalan dan bangunan tidak berubah. Mereka hanya meletakkan beberapa rambu sebagai tanda tempat pemeriksaan.

Tadi malam satpam yang memeriksa taxi hanya satu orang. Siang ini saya lihat dua orang. Kalau di Jakarta, setahu saya, pemeriksaan bisa an biasa dilakukan oleh banyak satpam.

Pengunjung yang membawa tas juga harus mampir ke meja pemeriksaan. Seorang petugas yang membawa detektor logam akan memeriksa isi tas, lalu bilang terimakasih dan menempatkan tangan di dada (tanda salam) sambil membungkuk.

Di kamar yang saya tempati ini tersedia akses Internet, tetapi tidak gratis. Saya baca petunjuknya, biaya dikenakan per menit. Wah, tidak jadi deh browsing, blogging, chatting dan akses email dari kamar. Bisa bangkrut nih.

Untungnya Intel menyediakan satu ruang khusus untuk wartawan yang telah dilengkapi dengan akses Wi-Fi. Tapi ya, itu, di ruang press tidak ada komputer. Sejak awal penyelenggara bilang “bring your own laptop”.

***
Mungkin saya adalah wartawan pertama yang registrasi dan masuk ke ruang wartawan. Buktinya, waktu pagi-pagi saya registrasi, petugasnya masih bingung, bahkan sempat bilang bahwa delegasi dari Indonesia mestinya di Hotel Intercontinental. Saya harus menunggu beberapa lama sebelum akhirnya registrasi kelar.

Rupanya, para undangan yang bukan wartawan sudah punya jadwal sendiri untuk acara Selasa pagi. Mereka ada kesempatan berwisata ke berbagai lokasi. Lah,tapi nama saya kan tidak ada di situ. Saya tahu itu ketika bertemu banyak orang di tempat registrasi.

Adapun pada jadwal kegiatan yang saya pegang (jadwal kegiatan wartawan) hari ini bebas sampai sore. Jadi hanya dipersilakan makan Internet sampai tuntas di ruang wartawan (hehehe).

***
Ya sudah, saya kembali ke kamar untuk mengetik blog dan email. Kemudian saya masuk ke ruang yang diperuntukkan wartawan. Di sana masih kosong. Tidak ada satu orang pun. Masalah teknis mulai timbul.

Saya coba connect ke Internet menggunakan Eee PC yang kubawa ini. Berkali-kali saya coba, Mozilla Firefox pada komputer kecilku ini terus membawa masalah. Saya restart, coba lagi, restart, coba lagi. Akhirnya berhasil masuk ke blog. Eh, di tengah jalan hang lagi. Firefox terus bengong yang merembet ke File Manager dan sebagainya.

Restart lagi. Setelah beberapa kali, berhasil posting tulisan ke blog. Tetapi masalah kembali berulang ketika saya mencoba mengakses email (Gmail). Firefox kembali membuat hang.

Akhirnya saya menyerah. Saya mencoba mengakses Wi-Fi mengunakan Ipaq 4350 yang saya punya. Eh, berhasil. Akses email juga lancar. Alhamdulillah. Ternyata Ipaq yang sudah udzur ini masih jauh lebih andal dibandingkan dengan EeePC. Masalah sempat muncul lagi ketika ada kesulitan memindahkan file dari USB flash disk kekartu SD yang bisa dibaca Ipaq.

***
Waktu kosong menunggu acara sore hari saya isi dengan jalan-jalan. Udara di Bangkok hari ini sangat panas, sedikit lebih menyengat dibandingkan dengan Jakarta.

Di sekitar hotel ada banyak orang berjualan makanan di pinggir jalan. Pedagang kaki lima kalau di Jakarta. Cara orang menunggu bus, naik dan turun, serta keadaan bus (serta metromini) yang ada di sini benar-benar mirip dengan Jakarta. Cara orang-orang berebut naik bus yang tidak benar-benar berhenti benar-benar mengingatkan saya akan suasana Jakarta. Ada perasaan senang dan tenang mengamati orang-orang dengan kultur yang sama ini.

***
Saya beruntung punya dua kawan wartawan di sini yang bisa ditanya lokasi-lokasi belanja murah yang bisa saya kunjungi. Na menyarankan saya untuk berjalan-jalan ke Pratunam, semacam pasar atau mall dekat hotel.

Sepanjang jalan ke Patrunam, saya melintasi banyak sekali pedagang kaki lima. Mereka menjajakan makanan, pakaian, aksesoris, mainan anak-anak, perlengkapan rumah tangga, dan sebagainya. Benar-benar mirip Jakarta. Cara orang berjualan di Pratunam juga mirip dengan ITC Cibinong atau Tamini Square. Wah, pokoknya Jakarta banget deh.

22 April 2008

Intel Solutions Summit 2008, bagian pertama: Naik taxi


Keberangkatan saya ke Bangkok ini dipenuhi dengan banyak kecemasan. Ini perjalanan yang jauh lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan perjalanan saya ke luar negeri sebelumnya. Salah satu yang terus membebani sebelum saya berangkat adalah jadwal kedatangan dan keberangkatan yang tengah malam.

Garuda GA 866 yang saya tumpangi harus take off pukul 22.00 dan tiba di bandara Suvarnabhumi Bangkok pada 01.30 (tidak ada perbedaan waktu antara Bangkok dan Jakarta). Berhubung sudah terlalu malam, tidak ada jemputan sehingga saya harus naik taxi malam itu atau menunggu matahari terbit di bandara.

Saya membayangkan Bangkok tidak berbeda terlalu jauh dengan Jakarta. Lha wong di Jakarta saja saya masih pikir-pikir untuk naik taxi dari bandara, lha kok ini di Bangkok. Sendirian pula, dhewe emple.

***
Taxi Bluebird yang saya pesan berangkat dari rumah jam 16.10, enam jam sebelum jadwal penerbangan untuk mengantisipasi kemacetan jalan ke bandara. Apalagi perjalanan dari Gunungputri, Bogor, ke bandara harus melewati pusat kota Jakarta pada saat jam bubaran kantor. Pasti muacet, pikirku.

Jam setengah lima lebih sedikit taxi sudah tiba di Kampung Rambutan. Tetapi aneh sekali, tidak ada bus Damri Bandara di terminal bus antarkota terbesar Jakarta itu. Beberapa orang yang juga mau ke bandara menghampiriku, mengajak untuk naik omprengan Carry ke bandara. Ya sudah aku ikut. Aku adalah penumpang ke-7 alias penumpang terakhir sehingga omprengan pun segera berangkat.

Saya tertawakecut dalam hati, berangkat keluar negeri kok naik omprengan Carry duduk berdesakan di kursi belakang. Tetapi omprengan ini berjalan sangat cepat. Menyusup kiri, kanan, melintas bahu jalan tol, menyalip dan mengerem dengan sangat berani. Hasilnya, pukul 18.00 aku sudah tiba di bandara. Empat jam sebelum jadwal penerbangan.

***
Penerbangan Garuda ke Thailand di tengah malam ini memang sepi. Hanya ada sekitar 30 penumpang di pesawat. Jadi sangat longgar. Tiap orang bisa duduk sendiri dalam baris tiga bangku. Bahkan masih banyak juga bangku yang kosong blong. Jadi, sebagian besar penumpang bisa beristirahat dengan baik.

Mendarat di Suvarnabhumi alhamdulillah tidak ada masalah dengan bagasi dan imigrasi. Semua berjalan lancar dan cepat.

Saat ke luar dari imigrasi ini saya hanya bawa uang dollah AS dan rupiah. Semula mau menukarkan uang di Jakarta untuk mengantisipasikemungkinan sulit mencari money changer di bandara Bangkok malam-malam, tetapi kursnya luar biasa rendah, 100 dollar AS hanya dapat 2.500 baht.

Maka saya pun mampir dulu ke money changer dekat pintu ke luar bandara Suvarnabhumi. Alhamdulillah 100 dollar AS masih dihargai 3.200 baht. Sangat berbeda dengan di Jakarta. Selisihnya hampir 25%.

Lalu saya pun pergi ke tempat pemesanan taxi. Di meja petugas ada tulisan meter + toll payment + 50baht. Artinya penumpang bisa membayar biaya taxi berdasarkan argometer, ditambah tarif toll (entah berapa), ditambah lagi dengan 50 baht. Ini sesuai dengan kata temanku, K, wartawan The Nation Thailand yang saya tanya soal taxi lewat SMS.

Tetapi begitu masuk ke taxi dan saya minta menghidupkan meter, si sopir bilang bayarnya 400 baht sudah semua termasuk toll dan biaya lainnya. Karena sebelumnya saya sudah dapat informasi dari penyelenggara acara dan dari Na, wartawan The Bangkok Post, soal biaya taxi dari bandara yang katanya sekitar itu, saya bilang okay.

Pak sopir ini cukup ramah. Dia berusaha mengajak bicara dan menjalin kontak. Ketika saya sebut Jakarta dan Indonesia, dia langsung bilang banyak muslim di sana ya? Tetapi saya tetap saja masih ketar-ketir dengan pak sopir ini.

Lalu ngobrollah ke sana ke mari, omong antah berantah. Dan tiba-tiba saya melihat di bagian kaca depan bagian atas taxi ada tulisan bismillahi- rrahmani- rrahim dalam huruf Arab (huruf Al Quran). Itu tulisan yang besar dan dibacanya dari depan taxi (bukan dari sisi penumpang).

Saya tanya, apakah dia muslim, dia jawab iya. Lalu dia tanya balik dan saya jawab iya. Tiba-tiba dia bilang assalamu alikum. Alhamdulillah, lega lah saya. Hilang semua kecemasan saya soal taxi, soal kesasar, dan sebagainya.

Pak sopir ini mengaku bernama Sulaiman. Dia punya dua anak lelaki dan satu anak perempuan. Sulaiman berasal dari daerah sekitar Pattaya (saya lupa nama tempat yang di sebut).

Sepanjang perjalanan dia juga menunjukkan ini masjid ini, ini masjid itu, ini kawasan muslim, dan sebagainya. Ternyata banyak juga masjid di Bangkok ini.

Perjalanan sekitar 30 menit ke Hotel Grand Hyatt Erawan itu jadi terasa menyenangkan. Masuk hotel ada pemeriksaan sedikit oleh satpam. Pemeriksaan ketika masuk ke hotel ini mirip dengan di Jakarta tetapi di Bangkok hotel-hotel tidak dipasangi portal, hanya pembatas yang bisa digeser-geser, diangkat dan dijinjing.

Uniknya, pak sopir ini memberi saya kuitansi yang nilainya 450 baht. Dia bilang saya kasih kamu 450 baht. Tetapi ketika saya bayar dengan uang 500 baht dia kembalikan 100 baht. Pak Sulaiman ini ada-ada saja.

***
Check in berjalan lancar. Kartu kredit yang belum pernah satu kali pun saya pakai untuk transaksi di Indonesia, ternyata diterima dengan baik di Bangkok.

Jadi saya tidak perlu diposit dengan uang cash seperti waktu ke Australia dua tahun lalu. Hari itu pun bisa kuakhiri dengan tidur nyenyak di kamar 0714 Grand Hyatt Erawan, Bangkok. Alhamdulillah.

15 April 2008

Lebih murah di Bandung

Sabtu pekan lalu saya berjalan-jalan ke Istana BEC, Bandung. Cukup kaget melihat banyak sekali toko yang menjual Eee PC. Harga yang ditawarkan antara Rp4,1 juta-Rp4,25 juta untuk versi 4GB dengan webcam. Dalam paket penjualan itu ditambahkan case, screen protector, dan sebagainya, tergantung tokonya.

Adapun versi termurah dijual Rp2,9 juta untuk 2GB Surf. Akan tetapi saya hanya menemukan unit model ini di satu toko dan stoknya tinggal satu buah.

Hari ini saya mencoba jalan-jalan ke Ratu Plaza, Jakarta. Ada beberapa toko yang menjual Eee PC di tengah suasana gelap karena listrik mati. Tetapi, masya Allah, mereka menjual dengan harga yang begitu tinggi. Paling murah Rp4,6 juta. Bahkan ada yang mendekati Rp 5 juta.

Saya melanjutkan jalan-jalan ke Ambassador Mall, pusat penjualan komputer dan notebook untuk Jakarta. Banyak juga toko yang menjual Eee PC. Tetapi harganya tidak berselisih jauh dengan Ratu Plaza.

Bahkan ada pedagang di Ambassador yang dengan santainya mengatakan harga Eee PC Rp4,9 juta untuk versi 4GB. Adapun untuk versi 8GB, katanya, Rp7 jutaan. Dia mengatakan itu seolah-olah calon pembelinya itu orang yang sama sekali tidak tahu menahu tentang harga notebook (hehehe)

Sangat mengherankan. Bagaimana mungkin harga barang elektronik seperti notebook kok justru lebih murah daripada di Jakarta? Apakah ini soal daya beli? Maksudnya daya beli orag Jakarta lebih tinggi sehingga bisa membeli barang yang sama dengan harga lebih mahal?

Atau orang di Bandung dianggap lebih well informed, sehingga sulit ditipu dengan harga tinggi? Entahlah.

09 April 2008

Alternatif sederhana untuk mobile office

Saya punya alternatif sederhana untuk penerapan mobile office di perusahaan koran. Saya yakin ini solusi paling efektif dan efisien berdasar ukuran saat ini, khususnya untuk mobile reporting.

1. Semua awak redaksi (reporter dan editor sampai pemred) menggunakan Blackberry Internet Service. Tentu saja kantor lah yang harus membelikan.
2. Semua pengelola halaman tetap memperoleh PC desktop.

3. Jumlah PC desktop untuk reporter dikurangi secara bertahap sampai perbandingan ideal, misalnya 1:5, satu PC desktop untuk 5 orang.
4. Perusahaan memberi bantuan/kemudahan bagi reporter untuk memiliki alat komputasi yang lebih cocok, misalnya notebook kecil. Syukur-syukur kalau bisa sekalian membelikan.

5. Semua proses komunikasi berbasis Blackberry baik BB Messenger maupun email. Semua harus mendapat pelatihan mengenai penggunaan Blackberry sebagai alat yang optimal untuk membuat mendukung kerja.
6. Reporter mendapat pelatihan mengenai bagaimana mengoptimalkan semua channel komunikasi untuk pengiriman berita. Sekali lagi, semua channel.

7. Semua pengelola halaman mendapatkan pelatihan mengenai bagaimana mengoptimalkan semua channel komunikasi untuk menerima berita. Sekali lagi, harus bisa menerima.


Catatan:
1. Hanya reporter yang sudah jadi karyawan tetap, atau punya masa kerja tertentu, memperoleh Blackberry. Bagi reporter dengan usia agak lanjut pasti kesulitan mengetik semua berita dan feature dalam layar kecil. Untuk itu, tetap perlu ada PC desktop untuk bersama.

2. Kalau ada problem dengan email kantor terutama khawatir numpuk di server, migrasi saja ke Yahoogroups. Email di server terhapus otomatis setelah dua pekan atau periode tertentu.

3. Mungkin akan muncul guncangan besar dalam satu bulan pertama yang diikuti dengan riak-riak selama enam bulan berikutnya. Tetapi setelah itu saya yakin semunya jadi stabil, kembali normal dengan cara kerja baru.


Mengapa Blackberry perlu lebih diprioritaskan daripada notebook kecil?
1. Blackberry adalah alat akses komunikasi serba bisa. Bisa browsing, mudah setting, bisa SMS, email sangat powerful, punya keyboard QWERTY.
2. Sangat ringan dibawa-bawa. Sama sekali tidak membebani.

3. Bisa digunakan sebagai alat akses informasi yang sangat powerful. Misalnya mengakses banyak sekali mailing list, langganan RSS tertentu terkait bidang liputan/penguasaan.
4. Keren

Wallahu alam.

02 April 2008

Membayar telepon sesuai penggunaan saja?

Dilihat dari sisi konsumen, terdapat dua variabel yang menentukan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk membayar jasa telekomunikasi seluler.

Variabel pertama adalah kuantitas penggunaan atau usage yang ditentukan oleh berapa sering pengguna melakukan panggilan telepon, berapa lama komunikasi berlangsung, berapa banyak SMS telah dikirimkan, serta berapa kb data yang dipakai.

Adapun variable kedua yaitu periode aktif. Bagi pengguna kartu prabayar, hal ini ditentukan oleh lamanya periode aktif setelah melakukan isi ulang pulsa. Adapun bagi pengguna pascabayar, hal ini ditentukan oleh abodemen atau batas penggunaan minimum yang harus dibayarkan setiap bulan.

Dalam pengumuman mengenai tarif promosi, umumnya operator telekomunikasi mengutak-atik masalah tarif yang tergantung usage.

Ada yang Rp600 sampai puas. Ada yang Rp480 sampai puas pada jam-jam tertentu di tengah malam. Ada juga telepon lima menit bayar dua menit, dan seterusnya.

Tetapi sangat sedikit yang benar-benar mengoptimalkan manipulasi periode aktif. Hal ini pernah dilakukan Indosat misalnya melalui Raja Voucher Panjang Umur. Utak-atik lain paling-paling menurunkan denominasi voucher pulsa menjadi semakin rendah, bahkan sampai Rp1.000 untuk sekali isi ulang.

Secara umum utak-atik semacam ini belum lazim dilakukan. Akibatnya, banyak orang yang memiliki usage rendah tetapi dia tetap harus membeli voucher isi ulang karena masa aktifnya sudah habis.

Memang bisa dipahami bahwa penentuan masa aktif itu digunakan oleh operator telepon untuk mempertahankan ARPU alias pendapatan per pelanggan.

Lalu, selama masalah periode aktif masih diberlakukan, bisakah kita benar-benar membayar biaya telepon sesuai dengan usage saja?

Dari sisi operator mungkin mengapuskan periode aktif ini repot karena nomor yang aktif tetap membebani jaringan. Mereka juga harus mencari cara untuk memperoleh justifikasi penghangusan kartu prabayar.

Tetapi benarkah bisa menetapkan tarif ke pelanggan semata-mata berdasarkan usage tanpa batas periode lagi? Benarkah?